Produksi minyak dan gas (Migas) Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.Ini tidak sejalan dengan kebutuhan minyak bangsa saat ini. Sehingga membuat pemerintah harus melakukan impor minyak dari negara luar. Pasalnya, untuk mengejar penurunan produksi itu, dibutuhkan waktu minimal 10 atau minimal 6 tahun dan biaya yang cukup mahal.
Kepala Devisi Formalitas SKK (Satuan Kerja Khusus) Migas Didi Sasono Setyadi mengatakan, menurunnya produksi Migas dari tahun ke tahun ini membuat pemerintah harus berputar otak untuk mengatasi kebutuhan minyak saat ini. Untuk menyatakan ada atau tidaknya minyak, kata Didi, harus lewat pengeboran atau eksplorasi di lepas pantai.
“Sisi produksi Migas kita dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Sementara konsumsi makin naik pada sektor minyak. Tidak hanya impor minyak meningkat, menurunnya produksi Migas ini juga berpengaruh pada dicabutnya subsidi bagi rakyat yang sudah berjalan pada pemerintahan yang sudah-sudah. Kalau kayak gini, otomatis menjadi beban bagi negara. Jangan kita berpikir kalau meminta subsidi dari negara, jika hal ini terus terjadi. Maka harga impor minyak akan terus naik,” ujar Didi saat menjadi pemateri pada diskusi publik dengan Tema ‘Tata Kelola Migas untuk Kedaulatan Negeri’ yang diselenggarakan media online Monitor, kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Kamis sore (26/10).
Tugas, pokok dan pungsi (Tupoksi) SKK Migas, kata Didi, hanya sebatas survei dan mencari titik-titik sumber minyak sampai ke hulu. Sementara produksi minyak adalah tugas pihak lain. “SKK Migas itu tugasnya sampai di hulu saja. Mencari sumber minyak itu tugas kami, sementara produksi tugas yang lain pula. Nah, ada yang harus diluruskan pada asumsi masyarakat tentang alasan pemerintah memberikan eksplorasi pada kontraktor asing,” ujar Didi didampingi pembicara lain, seperti Pengamat/Direktur Energy Watch Mamit Setiawan, Arya Dwi Paramita, Manager Comunication Eksternal PT Pertamina, dan Ayende, Deputi Direktur Of Oil Kementerian ESDM.
Kepastian investasi pada kontraktor rencana kegiatan usaha pengeboran pun, kata Didi, jadi tantangan bagi pemerintah. Pengeboran lepas pantai itu mahal dan makan waktu sehingga risiko gagal dalam recovery sangat besar. “Bayangkan, begitu investasi untuk pengeboran, harus dicari dulu lepas pantai yang ada cadangan minyaknya. Ini gambling. Kalau tidak ditemukan adanya minyak, maka otomatis akan hilang uang investasinya. Nah, investor local tidak berani ambil risiko. Jadi harusnya kita berikan kepercayaa investor asing,” ungkapnya.
Tapi, keluh Didi, baru melakukan eksplorasi saja sudah dicurigai bahwa pihak asing menguasai wilayah kerja Migas. Pemahamannya harus diluruskan bahwa namanya kedaulatan tetap milik Indonesia. Namanya investasi tentu harus ada pengembalian dari hak investasinya. Tapi statusnya tetap kontraktor. Kalau sudah habis kontraknya, tentu akan dikembalikan pada Indonesia. “Sementara eksplorasi sekarang kelihatan malas. Akibatnya produksi terus menurun dan krisis minyak. Solusi impor pun dipermasalahkan,” sindirnya.
Padahal dari sisi regulasi, pemerintah daerah pun berbeda dengan pemerintah pusat. Jadi tidak satu pintu. Akibatnya berbelit-belit dan memakan waktu bisa setahun bahkan lebih. “Makanya, saya yakinkan bahwa untuk satu proyek eksplorasi pengeboran bisa memakan waktu 6-10 tahun dan cost recovery sangat mahal. Inilah yang membuat mengejar penurunan produksi minyak jadi sulit,” keluhnya.
Tetapi, tambah Didik, urusan gas adalah tugasnya SKK Migas dari produksi hingga pada tingkat penjualan. “Kalau gas itu tugas SKK Migas. Dari produksi hingga jual, karena gas setelah diproduksi harus langsung dijual, tak bisa disimpan seperti minyak,” jelas Didik.
Direktur Energy Watch, Mamit Setiawan, mengimbau kepada masyarakat untuk mengubah pola pikirnya, yang selalu menyebut bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan kekayaan minyak. “Jadi di sinilah pola pikir kita bahwa hari ini Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki cadangan minyak negara paling besar harus diubah,” imbuhnya Mamit.
Hampir senada dikatakan Mamit. Saat ini, untuk mendapatkan minyak di Indonesia sangat tidak mudah, mulai dari perizinannya yang sangat panjang hingga pelaksanaannya yang belum tentu berjalan sesuai dengan yang direncanakan. “Mencari minyak itu susah sekali, mulai dari perizinan yang terbelit dan panjang sampai dengan pelaksanaannya, belum lagi hasilnya kita yang kadang-kadang tidak menghasilkan apa-apa. Jadi uang jutaan dolar untuk mencari migas akhirnya hilang. Dan itu menjadi beban perusahaan,” jelasnya.
Oleh karena itu, kata dia, Indonesia sudah saatnya untuk melakukan gerakan hemat energi, dimana salah satu cara adalah dengan menggunakan energi baru terbarukan. “Saatnya kita mengatakan bahwa kita harus hemat energi, salah satu cara adalah mulai mencoba dengan energi baru terbarukan yang saat ini masih menjadi anak tiri dari pemerintah. Dari kementerian ESDM coba tolong untuk energi terbarukan bukan menjadi anak tiri tapi ini sudah menjadi primadona,” pungkasnya. (lin)