Induk organisasi cabang olahraga sudah berhubungan langsung dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) sebagai pemegang anggaran. Sehingga fungsi dan peran KONI selama ini seperti dikebiri.
Ketua PWI Pusat Atal S. Depari melihat posisi KONI sudah tidak mendapatkan posisi yang sangat strategis. Padahal KONI berhubungan langsung dengan induk organisasi cabang olahraga.
“Kondisi ini jelas tidak sehat karena KONI Pusat tak bisa memonitor perkembangan cabang olahraga itu sendiri,” ujar Atal dalam diskusi olahraga nasional di Gedung PWI Pusat Jalan Kebun Sirih Jakarta Pusat, Senin (1/7/2019).
Diskusi menghadirkan calon Ketua umum KONI Pusat periode 2019-2023 Letjen TNI (Purn) Marciano Norman dan pemerhati olahraga Hifni Hasan menyebut, fungsi utama KONI adalah pengendali pembinaan olahraga prestasi.
Wartawan olahraga senior mengatakan, KONI Pusat juga harus dibenahi ditata organisasinya. Karenanya, Ketua Umum KONI Pusat mendatang harus mampu menata organisasi yang bisa menjawab tantangan ke depan yang semakin berat.
Satu hal lagi diingatkan Atal, tolok ukur olahraga itu adalah prestasi. Sebagus apa program yang dibuat oleh KONI Pusat tak akan bernilai kalau tak ada prestasi.
Marciano Norman mengatakan pembinaan olahraga prestasi ada di cabang olahraga bersangkutan. Oleh sebab itu, jika terpilih menjadi Ketua Umum KONI Pusat mendatang, Marciano tetap menjadikan cabang olahraga berada di garda terdepan.
“Saya sepakat dan setuju sekali jika fungsi KONI sebagai pengendali pembinaan olahraga prestasi dikembalikan. Karena secara organisatoris KONI Pusat itu membawahi cabor-cabor dan KONI Provinsi sebagai perpanjangan tangan,” kata Marciano.
Dengan pengalamannya memimpin PB.TI (Taewondo) selama dua periode, Marciano mengaku jeritan para cabor kadang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Ia kemudian mencontohkan pelatnas taekwondo menghadapi Asian Games 2018 lalu, tujuh bulan tidak mendapat dukungan pendanaan dari Kemenpora.
Semestinya, menurut mantan Kepala BIN ini, jeritan cabor itu bisa dimediasi oleh KONI Pusat untuk diperjuangkan kepada pemerintah dalam hal ini Kemenpora.”Makanya KONI Pusat itu harus menjalin hubungan baik dengan pemerintah karena pemerintahlah sebagai pemegang anggaran,” tambahnya.
Pemerhati olahraga Hifni Hasan juga mengakui ke depan, peran KONI Pusat harus kuat terutama dari sisi organisasi. Melemahnya KONI selama ini, menurut dia bukan karena adanya Undang Undang Sistim Keolahragaan Nasional (UUSKN) No.3 Tahun 2005.
“UUSKN itu prinsinya sudah benar, hanya saja orang yang menjalankan amanah UUSKN tidak benar. Jika semua pelaku olahraga taat azas saya kira tak ada masalah dalam mengurus olahraga,”tandasnya.
Mantan Sekjen KOI itu juga merasa heran kok banyak orang berambisi menjadi pengurus olahraga termasuk menjadi Ketua Umum KONI Pusat. Ambisi itu seperti diakui Hifni dikarenakan mereka hanya menggantungkan pendanaan dari pemerintah.
Padahal dalam aturan mainnya, tak ada dana yang gratis untuk olahraga. Yang lazim itu adalah menjual program, nah program inilah dibuat oleh KONI Pusat.
Diskusi yang dimoderatori Ketua Siwo PWI Pusat AA Gungde Ariwangsa itu akhirnya mengambil kesimpulan bahwa olahraga Indonesia butuh sosok pemimpin yang mampu membawa organisasi berwibawa, mandiri dan profesional. (trigan)