Diskusi PWI Jaya dan Brand Politika: Kredibilitas Lembaga Survei Diragukan Bila Tak Punya Ahli Statistik

Tampil sebagai pembicara (kanan ke kiri) Direktur Eksekutif Brand Politika Eko Satiya Hushada, Ketua PWI DKI Jakarta Sayid Iskandarsyah, dan Direktur Riset Brand Politika Asep Saepudin. Foto: dok PWI Jaya

Persatuan Wartawan Indonesia DKI Jakarta (PWI) dan Lembaga Survei Brand Politika mengadakan Kelas Membaca Statistik Temuan Survei Opini Publik yang digelar di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa siang (13/9/2022). Tampil Direktur Eksekutif Brand Politika Eko Satiya Hushada, Ketua PWI DKI Jakarta Sayid Iskandarsyah, dan Direktur Riset Brand Politika Asep Saepudin.

semarak.co-Melalui acara ini, Eko mengatakan pihaknya ingin membantu para wartawan untuk lebih bisa mengeksplorasi hasil survei yang diolah untuk berita dan melihat beberapa hal yang sering dianggap salah, seperti penggunaan istilah.

Bacaan Lainnya

“Kita mencoba bagaimana secara kritis menggali sebuah hasil survei. Sekali lagi saya terima kasih kepada Pak Sayid atas kerja samanya. Semoga ini bukan kerja sama terakhir dari sisi pemberitaan atau apa pun,” kata Eko yang mantan Pemimpin Redaksi (Pimred) Indopos.

Ketua PWI Jaya Sayid Iskandarsya mengatakan, memang diperlukan sebagai wartawan untuk mendapat masukan dalam menyajikan berita yang baik untuk pembaca. Karena itu, PWI bekerja sama dengan Brand Politika karena sangat mendukung kegiatan dalam bidang pendidikan.

Sayid menginginkan agar para wartawan mendapat masukan dari setiap rilis survei yang dilakukan lembaga-lembaga survei sehingga bisa menjadi wartawan yang mampu melaksanakan tugas dengan baik. “Dalam satu atau dua tahun ke depan, forum politik juga mulai.

Sangat disayangkan, kata Sayid, kalau mendapat bahan bagus tetapi salah dalam penyajiannya. “Semoga kegiatan ini, harap Sayid lagi, bermanfaat untuk kita semua, paling tidak memperkuat kita dalam rangka memperkuat penyajian berita di media masing-masing,” harapnya.

Dalam kelas ini, Direktur Riset Brand Politika Asep Saepudin menyebut, survei opini publik dibutuhkan. Khususnya dalam momen saat ini menjelang 2024 saat pemilihan presiden (Pilpres), pemilu legislatif (Pileg), dan pemilihan kepala daerah (Pilkada).

“Bagi jurnalis ketika survei itu dirilis maka akan ikut disibukkan dengan liputan. Oleh karena itu, sangat penting sekali dalam membaca hasil survei. Keberadaan lembaga survei kian dibutuhkan menjelang pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan kepala daerah serentak tahun 2024,” papar Asep.

Untuk itu, sambung Asep, kredibilitas lembaga survei mesti terbangun agar menghasilkan hasil survei yang berkualitas dan terpercaya. Salah satu kredibilitas lembaga survei terlihat dari sumber daya manusianya.

Kalau tidak punya tenaga ahli statistik maka kredibel lembaga survei itu diragukan. Sebab, kalau tidak punya ahli statistik, bagaimana bisa membaca hasil survey? Pemahaman penyelenggara di dalam menggunakan metode survei yang tepat sesuai karakteristik ruang lingkup risetnya.

“Nah, di dalam pelaksanaan survei opini publik sangat dibutuhkan sdm spesialis (statistician) di dalam mendesain survei agar tepat metodologi dan dalam melaksanakan survei dilakukan dengan management secara benar,” paparnya.

Asep mengungkapkan faktor lain dalam menentukan integritas hasil survei umumnya karena kualitas sumber daya manusia yang rendah, instrumen bermasalah, penentuan pertanyaan yang salah atau menggiring, jumlah pertanyaan yang terlalu banyak, pertanyaan tidak jelas dsb.

Lalu dana sangat minim, lanjut Asep, waktu yang terbatas, dan pengawasan yang lemah. Survei dilakukan untuk mengukur opini publik yang dikuantitatifkan dalam bentuk angka. Survei tidak harus menanyakan opini seluruh masyarakat.

“Melalui teknik ilmiah, surveyor cukup menarik sampel dari populasi yang merepresentasikan opini seluruh masyarakat. Kesalahan pengukuran survei dengan karakteristik populasi bisa berbeda asalkan masih sesuai metodologi karena data persepsi, bukan manipulasi atau berbohong,” terang dia.

Kesalahan survei bisa terjadi karena faktor metode dan faktor non metode. Asep menegaskan hasil survei bukan semata-mata ditentukan dari metodologi, tapi bagaimana kuesioner itu disusun. “Pertanyaan itu disusun menyangkut kepentingan, dari penyelenggara atau pemilik lembaga survei untuk mendukung kandidat atau netralitas,” tutupnya. (smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *