Oleh Kamsul Hasan *)
semarak.co-Tim Kesekjenan DPR RI ingin lakukan fungsi pengawasan pelaksanaan perundang-undangan. Selain meminta data kepada organisasi kewartawanan tim juga akan mewawancarai Dewan Pers dan ahli pers.
Mengawali pertanyaan mereka mengatakan apakah masih ada disharmonisasi terkait pelaksanaan di lapangan. Mereka menganggap UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah Lex Specialis karena yang dibaca adalah amar putusan kasasi MA.
Seperti dalam putusan No. 1608 tahun 2005 yang ditetapkan pada 9 Februari 2006, Prof. Bagir Manan kabulkan kasasi Tempo atas putusan pengadilan di bawahnya. Ketua MA saat itu Prof. Bagir Manan yang menjadi Ketua Majelis A mengabulkan kasasi Tempo atas Tommy Winata.
Dalam amar putusannya memang dikatakan MA mengadili sendiri karena baik PN maupun PT di Jakarta salah menerapkan hukum. Seharusnya yang digunakan Pasal 5 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat (2) UU Pers terkait asas praduga tak bersalah.
Bukan Pasal 310 KUHP karena UU Pers harus diutamakan. Putusan inilah yang kemudian menyimpulkan UU Pers Lex Specialis. Namun Hakim Agung Artidjo Alkostar yang menjadi Ketua Majelis H menolak kasasi Risang Bima Wijaya.
Artidjo tetap menghukum dengan KUHP sesuai yang digunakan PN Bantul dan PT Yogyakarta. Putusan ini membantah UU Pers bersifat Lex Specialis. Kedua kasus di atas adalah sengketa pemberitaan pers yang berawal di pengadilan negeri Jakarta dan Yogyakarta pada tahun yang sama.
Kedua pengelola perusahaan pers dihukum dengan KUHP dan tetap dihukum pada tingkat pengadilan tinggi. Saat kasasi, Tempo dikabulkan dan Risang ditolak. Jadi di mana Lex Specialis UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers?
Masih banyak kasus yang putusannya menghukum dengan KUHP dan atau UU ITE karena putusan kasasi MA berbeda-beda. Bila benar UU Pers ingin atau jadi direvisi harus ada penegasan tentang sifat Lex Specialis itu agar tidak ada lagi penggunaan hukum lain untuk sengketa pemberitaan.
Bukti lain adalah SKB Implementasi UU ITE yang hanya melindungi produk pers dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pers tidak dilindungi SKB dan tetap membolehkan diproses bila menyangkut SARA dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Disharmoni PT Perseorangan
Salah satu masalah saat CV tidak boleh lagi menjadi badan hukum pers karena asetnya tidak terpisahkan. Prof. Bagir Manan khawatir kekayaan pribadi dieksekusi untuk menutup denda putusan hukum.
Pemerintah melalui UU Cipta Kerja membuat trobosan dengan mensahkan PT Perseorangan untuk UMKM yang boleh didirikan seorang diri. Menjadi persoalan atau disharmoni baru karena untuk menjadi badan hukum pers PT Perseorangan tidak memiliki akta notaris.
Padahal untuk menjadi badan hukum perusahaan pers tidak semata telah memiliki badan hukum tetapi juga harus memenuhi persyaratan lainnya. Nah, Pasal 1 angka 2 mensyaratkan badan hukum pers tidak boleh bercampur dengan usaha lainnya. Untuk memastikan itu terdapat pada Pasal 3 akta notaris.
Inilah disharmoni baru terjadi lagi pada satu sisi ada Pasal 1 angka 2 UU Pers. Pada sisi lainnya ingin memberikan kemudahan dengan PT Perseorangan. Inilah yang menyebabkan Dewan Pers masih belum menerima PT Perseorangan sebagai badan hukum perusahaan pers.
Terima kasih, selamat akhir pekan, semoga nanti ada jalan keluar.
Jakarta, 26 Agustus 2023
*) penulis Ahli Pers Dewan Pers dan Penasehat semarak.co
sumber: copas dari media sosial facebook akun pribadi @kamsulhasan