Dinilai Untungkan Rumah Sakit, Rapid Test Bagi Penumpang Digugat ke MA

salah seorang sedang ikut melakukan rapid test oleh petugas dari Gugus Tugas. foto: dok Pleno PWI DKI

Pengunjung Car Free Day (CFD) atau hari bebas kendaraan ramai mengantre untuk menjalani pemeriksaan rapid test gratis di depan area Istora Senayan, Jakarta Selatan Minggu pagi (21/6/2020). Setidaknya dua orang ditemukan reaktif ketika diperiksa.

semarak.co– Syarat wajib melakukan rapid test virus corona jenis baru penyebab Covid-19 digugat ke Mahkamah Agung (MA), pada Kamis (25/6/2020) karena dianggap menguntungkan rumah sakit (RS). Syarat yang tertuang dalam Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 7 Tahun 2020 tentang Kriteria dan Syarat Perjalanan Orang ini digugat pemohon bernama Muhammad Sholeh.

Bacaan Lainnya

Dalam gugatannya, Sholeh merasa keberatan dengan syarat wajib rapid test bagi penumpang yang akan bepergian menggunakan pesawat, kereta api, mau pun kapal laut selama masa pandemi Covid-19.

“Pertama, apa yang menjadi dasar calon penumpang harus mempunyai rapid test? Rapid test bukan vaksin, hanya mengetahui seseorang terserang virus atau tidak. Bisa jadi orang dengan hasil reaktif karena sakit flu atau lainnya bukan karena Covid-19,” ujar Sholeh melalui keterangan tertulis yang dikutip cnnindonesia.com.

Selain itu, Sholeh mengatakan hasil rapid test juga hanya berlaku tiga hari. Selain rapid test, penumpang juga dapat melakukan tes dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) yang berlaku tujuh hari.

Menurut Sholeh, hasil uji rapid test itu tak menjamin penumpang pasti terpapar saat bepergian. “Patut diduga masa berlaku hasil tes PCR dan rapid test yang pendek itu menguntungkan rumah sakit. Sebab dalam setiap hari banyak puluhan ribu orang bepergian dan mengajukan rapid test,” katanya.

Sholeh menilai kebijakan itu juga tak konsisten dalam penerapan di lapangan. Misalnya ketika seorang penumpang melakukan cek suhu tubuh di bandara atau stasiun dan ternyata hasilnya di atas 38 derajat maka orang tersebut tak boleh bepergian.

Padahal hasil rapid test non reaktif. “Pertanyaannya yang menjadikan calon penumpang bisa bepergian itu hasil rapid test atau tes suhu badan?” tutur Sholeh.

Ia juga menilai kebijakan itu diskriminatif lantaran orang-orang yang bepergian menggunakan mobil ke luar kota tidak diwajibkan rapid test. Padahal orang-orang tersebut juga termasuk kelompok yang rentan terpapar Covid-19. “Rapid test ini juga berbiaya mahal dan sangat merugikan penumpang, sebab tidak semua penumpang orang kaya,” ucapnya.

Sholeh mencontohkan biaya rapid test bagi penumpang dari Surabaya yang akan naik kapal menuju NTT. Biaya untuk rapid test membutuhkan Rp350 ribu. Sementara biaya untuk naik kapal sendiri hanya membutuhkan Rp312 ribu. “Kalau orang yang pergi banyak tentu akan memberatkan calon penumpang,” kata dia.

Sholeh menuturkan, kewajiban rapid test itu bertentangan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.

Surat Edaran tersebut diterbitkan gugus tugas pada 6 Juni lalu. Dalam surat tersebut mengatur sejumlah syarat bagi penumpang yang akan bepergian di tengah pandemi covid-19. Penumpang wajib membawa hasil non reaktif dari rapid test yang berlaku tiga hari dan negatif tes PCR yang berlaku tujuh hari.

 

sumber: cnnindonesia.com di WA Group Pleno PWI DKI 2019-2024

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *