Diamnya Ulama Seperti pada Kezaliman, Runtuhnya Keadilan

ilustrasi grafis kezaliman penguasa terhadap rakyatnya. Foto: mediaharapan.com

Oleh Anonym *)

Semarak.co-“Dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah: 42).

Bacaan Lainnya

Di tengah derasnya arus hukum prosedural yang kian menjauh dari nurani publik dan nilai ilahiyah, masyarakat menoleh: di manakah para ulama? Apa sikap dan Mana Fatwa MUI? Apakah diam mereka kini menjadi pembenar dari penyimpangan hukum yang terang-benderang?

Dalam banyak kasus hukum akhir-akhir ini, keabsahan prosedural dijadikan tameng untuk menutupi kezaliman substansial. Produk hukum yang lahir dari proses yang cacat etik bahkan terang-terangan bertentangan dengan nilai keadilan substantif, tetap dibiarkan berlaku.

Yang lebih mengkhawatirkan bukan hanya keberanian para penguasa untuk melanggarnya, melainkan juga diamnya mereka yang seharusnya menjadi penjaga moralitas umat: para ulama dan cendekiawan.

Rasulullah SAW telah bersabda: “Sesungguhnya manusia apabila melihat kemungkaran tetapi tidak mencegahnya, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan azab kepada mereka secara menyeluruh.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Diam dalam konteks ini bukanlah sikap netral. Ia adalah pembiaran terhadap kezaliman dan dalam Islam, pembiaran terhadap kezaliman adalah bentuk dosa sosial yang berbahaya. Ketika para ilmuwan agama memilih diam atas penyimpangan hukum, mereka sedang mencederai maqam kenabian yang diwariskan kepada mereka.

Al Quran juga mengingatkan dengan keras: “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfal: 25)

Ayat ini menegaskan bahwa ketika kezaliman terjadi dan orang-orang baik memilih diam, maka bencana tidak hanya akan menimpa pelaku kezaliman, tetapi juga mereka yang membiarkan. Dalam sejarah Islam, para ulama bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga pelurus kekuasaan.

Imam Nawawi berani menolak hadiah dari Sultan karena khawatir melemahkan suara kebenarannya. Imam Malik bahkan pernah dicambuk karena menolak fatwa yang memihak penguasa. Lalu di mana posisi ulama kini?

Mengapa sebagian justru membungkam ayat-ayat Allah demi menjaga posisi atau kedekatan dengan kekuasaan? Menjadi ulama bukan sekadar memiliki ilmu. Dalam Islam, ulama adalah waratsatul anbiya, pewaris para nabi. Maka diamnya ulama atas kebijakan yang menabrak keadilan berarti mematikan cahaya kenabian dalam masyarakat.

Dan itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah ilmu. Jika para ulama dan cendekiawan tidak lagi bersuara ketika hukum menyimpang, maka jangan salahkan jika umat kehilangan arah, dan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap nilai-nilai agama.

Ini bukan soal keberanian personal, tapi soal tanggung jawab kolektif terhadap amanah Allah dalam menegakkan kebenaran di muka bumi. Sudah saatnya para ulama dan cendekiawan kembali menjadi suara langit di tengah hiruk-pikuk dunia. Jangan biarkan hukum terus dikhianati atas nama prosedur.

Diam hari ini bisa jadi bencana esok hari. Sebab Allah telah memperingatkan: “Takutlah kalian pada bencana yang tidak hanya menimpa orang zalim saja di antara kalian.” (QS. Al-Anfal: 25).

Jika hukum telah melenceng dari kebenaran Allah, dan ulama memilih bungkam, maka sesungguhnya keruntuhan moral bangsa ini tinggal menunggu waktu. Dan ketika murka Allah turun, tidak hanya pelaku zalim yang binasa, tapi juga mereka yang tahu namun memilih diam.

*) penulis belum ditemukan sampai artikel ini ditayangkan. Jika kelak ditemukan siapa penulisnya otomatis akan dilakukan koreksi. Redaksi

 

Sumber: WAGroup PRAMARIN (postSabtu16/4/2025/)

Pos terkait