Detik-detik Terakhir Indonesia Menuju Punah?

Anton Permana. Foto: ist

Oleh Anton Permana *

semarak.co-Tak ada lagi yang diharapkan dari sebuah negara ketika kebohongan sudah menjadi watak kekuasaan. Tak ada lagi harapan sebuah negara akan maju apabila para cukong, politisi dan aparatnya sudah bersekongkol dalam tindak kejahatan secara terbuka tanpa rasa malu, tanpa rasa berdosa, dan tanpa rasa apa-apalagi atas nama sebuah azas dan norma demi kepentingan kelompoknya.

Bacaan Lainnya

Kasus Harun Masiku, Djoko Tjandra, dan penganiayaan terhadap penegak hukum Novel Baswedan adalah gambaran kecil nyata bagaimana negeri ini sudah tidak berdaya lagi. Tapi itulah tipikal bangsa Indonesia yang ‘hypokrit melowdramatic’. Mudah marah, mudah iba, mudah simpatik, euh pakewuh, tapi juga mudah melupakan.

Ibarat menuangkan air kebohongan ke dalam gelas, kalau kebohongannya satu, dua dan tiga jumlahnya akan mudah diingat. Tapi kalau kebohongan yang dituangkan ratusan, ribuan, bahkan sengaja dicampur dengan menajemen berita hoax? Maka yang akan tercipta kebingungan, kejenuhan, yang akhirnya lahirlah masyarakat yang apatis tak tahu lagi mana yang benar dan salah.

Itulah yang disebut “post truth”. Hasil rekayasa “logical fallacie” yang sistematis dan agitatif. Kebenaran dan kemungkaran akan bertukar tempat. Yang benar akan jadi salah. Yang salah jadi benar. Orang baik akan dibuat jadi penjahat. Si penjahat dicitrakan seperti malaikat.

Ibarat obat bulat jadi tahi kambing, tahi kambing bulat jadi obat. Otak kosong diadu dengan kotak kosong. Hari ini kita dihebohkan dengan makar secara terang-terangan terhadap Pancasila yang selama ini begitu sakral bagi kehidupan bernegara bangsa Indonesia.

Gelombang protespun tidak terelak-kan setiap hari dari berbagai lapisan masyarakat. Pancasila diubah menjadi Eka Sila. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Pancasila yang sudah final dirumuskan dan disepakati sebagai konsensus falsafah negara Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Di mana sila Pancasila disahkan sejalan dengan pembacaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, mau dirombak kembali menjadi Pancasila versi 1 Juni 1945. Versi satu orang saja seakan Indonesia ini milik satu orang saja. Secara konstitusional ini sudah bisa dikatakan sebagai “makar” terhadap Pancasila. Secara hukum, inipun sudah cukup memenuhi unsur pidana perbuatan melawan hukum luar biasa “extraordinary crime”.

Tapi sayang, rezim hari ini seakan tidak peduli dan tutup mata. Bahkan tidak cukup di situ. RUU HIP malah berubah “ujug-ujug” menjadi RUU BPIP. Ini justru lebih parah dan berbahaya lagi. Secara prosedur hukum sudah cacat prosedur, karena disahkan masuk pembahasan prolegnas 2020 tanpa melalui usulan dan tahapan badan legislasi serta paripurna.

Artinya secara prosedur hukum, RUU BPIP ini jelas cacat prosedur. Cacat azas. Secara muatan hukum. Kita tentu belum bisa melupakan bagaimana statemen ketua BPIP beberapa bulan lalu, secara lantang mengatakan agama adalah musuh utama Pancasila.

Hari ini, sejalan dengan komentar ketua BPIP itu, menteri agama secara terang-terangan tanpa rasa takut dan malu, juga telah menghapus 155 buku dan mata pelajaran Islam di sekolah Islam seperti MAN dan MTsN. Dengan alasan radikalisme.

Kalau zaman Soeharto sekolah MAN dan MTsN dibuat untuk mereduksi sekolah Islam kultural menjadi sekolah Islam nasional. Hari ini rezim menghapus kurikulum dasar Islam. Namanya sekolah Islam, tapi yang diwajibkan bahasa Cina, Bahasa Arab dihapuskan. Aneh bukan?

Artinya apa yang kita tangkap dari semua ini ? Jawabannya adalah ; Indonesia sudah berada pada titik nadir kehancuran sebagai bangsa yang berPancasila sesuai dengan Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945. Atau lebih konkritnya lagi, kalau kita jujur Indonesia itu sebenarnya sudah tak ada lagi.

Dalam artian Indonesia yang sesuai konstitusi kita yaitu Indonesia yang berkedaulatan rakyat, Indonesia negara hukum, dan Indonesia ber-Pancasila. Karena faktanya hari ini, Indonesia sudah berubah menjadi berkedaulatan partai politik-cukong-penguasa.

Indonesia negara kekuasaan. Dan Indonesia negara sekuler yang memisahkan jauh agama dari kehidupan negara. Betul bukan? Saat ini, secara sistematis dan terbuka jelas sudah ada kekuatan besar yang ingin mengubah Indonesia secara “super radikal”.

Revolusi dan makar terhadap Indonesia sedang terjadi. Tapi bukan melalui senjata. Tetapi melalui proses politik, proses hukum yang seakan konstitusional. Jadi menguasai Indonesia itu tak perlu kirim tentara dan peralatan perang. Dimulai dari fitnah tokoh utamanya agar di benci rakyat. Ubah konstitusinya agar liberal.

Ciptakan pemilu berbiaya mahal bagi kandidat. Siapkan pemodal. Rebut kekuasaan dengan cara apapun. Tempatkan pejabat yang manut dan mata duitan (mudah disogok). Buat media untuk bangun opini tipu menipu untuk menutupi kerusakan. Kendalikan aparat keamanan. Penjarakan siapa saja yang melawan.

Dan terakhir ubah ideologi negara agar jauh dari pengaruh agama. So, silahkan jarah negeri ini sepuas-puasnya. Inilah yang terjadi hari ini. Sebuah upaya mengubah Indonesia menuju sebuah arah kebebasan, tanpa nilai, tanpa hukum, tanpa ada lagi kedaulatan rakyat dan nilai Pancasila. Polanya bisa beragam kita lihat.

Ada yang meniru pola Attaurk style ketika merontok-kan Khilafah Utsmaniyah di Turkey menjadi Turkey Sekuler. Menjadikan sekulerisme menjadi dasar konstitusi, melarang penggunaan symbol agama, azan berbahasa arab, dan membuang mata pelajaran Islam dari sekolah dan madrasah.

Dengan alasan modernisasi dan kemajuan nasional. Atau juga Mao Tse Tung style. Melalui alibi “revolusi kebudayaan”, mengubah sesuatu yang tabu berupa aturan luhur konservatif budaya dan ajaran agama apapaun dibuat tunduk di bawah kaki revolusi kebudayaan. Bagi yang tak sepaham dibunuh dan dibantai.

Malalui kekuasan tunggal partai komunis setelah menumbangkan sistem negara demokratis melalui kudeta. Cara ini pernah dua kali coba dilakukan di Indonesia pada tahun 1948 dan 1965. Ratusan ribu nyawa para ulama, santri, kiyai, pejabat, raja nusantara, hingga para jendral tentara dibantai dengan sadis oleh PKI.

Apapun itu metoode dan polanya, yang jelas kita dapat merasakan hari ini sedang terjadi sebuah kerusakan tatanan bernegara yang selama ini dengan susah payah dibangun dan dipertahankan oleh para pendahulu kita. Secara prinsip ilmu ketahanan nasional kasat mata, bangsa kita hari ini sangat rapuh dan sudah tak berdaya lagi.

Secara ideologi, Pancasila sudah dikebiri. Secara politik, yang berkuasa adalah oligharki trio kombinasi antara cukong-politisi- aparat. Secara ekonomi sudah terjadi ketimpangan yang luar biasa. Kekayaan 10 orang terkaya di Indonesia sama dengan 75 persen penduduk dewasa Indonesia menurut Global Wealth Organization 2019. 2 persen orang terkaya Indonesia menguasai hampir 80 persen ekonomi nasional.

Secara hukum, tak perlu dijelaskan lagi bagaimana bobroknya wajah sistem hukum kita hari ini. Diskriminasi dan ketidakadilan terjadi secara terbuka. Korupsi di mana-mana. Narkoba meraja lela.

Secara budaya juga tak kalah parah. Tak ada lagi jati diri bangsa Indonesia. Budaya nusantara hanya simbol ketika upacara dan hari besar nasional. Budaya K-Pop, hedonisme, Tik-Tok, dan liberalisme dominan menguasai budaya anak muda kita.

Secara kedaulatan ekonomi, sumber kekayaan alam rusak dan parah. 90 persen sumber kekayaan alam negeri ini dikelola dan dikuasai asing-aseng. Baik itu tambang nikel, emas, migas, bahkan hasil perkebunan dan perikanan, hampir 90 persen juga dikuasai dan dijarah asing.

Hutang sudah menggila. Melampaui batas normal neraca anggaran negara. BUMN strategis tergadaikan dan mulai lepas satu persatu seperti Garuda dan Bukopin. Miris dan mengerikan. Tapi lihatlah respon dan reaksi masyarakat. Banyak yang tahu, marah dan protes tapi itu hanya sebatas di sosial media semata.

Banyak di negeri ini orang yang pintar, pakar, dan mengetahui kerusakan yang terjadi. Tapi lebih banyak bungkam dan diam. Takut dipenjara karena UU ITE biang keroknya. Banyak para pejabat yang hebat, sekolah tinggi, pangkat jabatan mentereng, tapi tutup mata dan ikut menikmati kondisi hari ini sebagai bahagian dari kekuasaan. Bersuara benar, takut lepas jabatan.

Tinggallah rakyat, para ulama, cendikiawan, aktifis, purnawirawan tentara yang dengan gigih tetap berjuang menyuarakan kebenaran dan peringatan bahwa ; negeri ini sedang mengalami “sakaratul maut”. Menuju kepunahan.

Indonesia hari ini, sedang menuju sebuah tatanan Indonesia baru berhaluan super liberalis dan baru selanjutnya menjadi negara komunis. Tinggal satu tahapan lagi. Mengganti Pancasila 18 Agustus 1945, menjadi Pancasila 1 juni 1945, adalah bukti nyata upaya penghapusan entitas keagamaan dari kehidupan bernegara Bangsa Indonesia.

Ini nyata agenda komunis. Pergantian RUU HIP menjadi RUU BPIP juga adalah sebuah bentuk arogansi rezim hari ini terhadap negara. Mengabaikan aspirasi politik mayoritas rakyat Indonesia demi kepentingan segelintir kelompok elit politik. Di sinilah anasir neo-komunisme dari para anak-anak PKI itu menyusup dan bermain.

RUU BPIP tak lain adalah sebagai bentuk penguatan atas kelembagaan BPIP. Kenapa ini berbahaya? Karena, setelah RUU BPIP ini disahkan, maka BPIP akan mempunyai kewenangan penuh dalam menafsirkan Pancasila sesuai kepentingannya dan penguasa.

BPIP akan menjadi tukang jagal ideologi, plus alat pemukul sekaligus hakim yang “membajak” Pancasila sesuai keinginannya. BPIP secara otomatis menjadi lembaga resmi negara yang dapat mendikte, mengatur, memaksa, bahkan mempidanakan siapa saja yang di anggapnya melanggar Pancasila.

Sangat aneh bukan? Namanya BPIP tapi prilaku dan orientasinya bisa mengarah pola komunisme. Dan sudah dapat dipastikan sasaran utamanya nanti adalah kelompok agama yaitu Islam. Artinya kedepan, BPIP dapat mengintervensi kehidupan beragama rakyat Indonesia secara total full power.

Lembaga sekelas MUI pun dengan mudah bisa mereka bubarkan. Apakah itu symbol, ajaran, dan ibadah ummat beragama atas nama Pancasila. Di sinilah titik berbahayanya. Pancasila akan mudah dijadikan alat gebuk dan alat pukul terhadap kelompok yang bertentangan dengan penguasa.

Tinggal kita lihat apakah teknis implementasinya meniru pola attartuk style atau Mao Tse Tung style. Di mana memberangus kehidupan agama dari kekuasaan negara. Agama akan dibuang jauh dan menjadi ancaman musuh negara.

Lalu bagaimana tindakan rakyat Indonesia yang masih ingin setia pada Pancasila dan beragama ? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Diam menerima apa adanya. Atau bangkit melawan sebagaimana para pendahulu kita merebut kemerdekaan.

Berharap kepada TNI-Polri sebagai tulang punggung negara? Hmmmm… berat dan hampir tidak mungkin. Karena dua institusi ini sudah mereka kunci dan pecah menjadi alat kekuasaan. Ada sedikit harapan kepada TNI. Tapi sayang, secara institusi mereka terkunci oleh UU Nomor 34 tahun 2004.

Secara individual mereka terkunci oleh Sapta Marga Prajurit. Kecuali rakyat yang memintanya. Saya yakin TNI masih setia bersama rakyat dan Pancasila. Yang pro pada penguasa hanya segelintir elitnya saja. Namun semua tetap kembali dan tergantung kepada rakyat Indonesia. Karena sejatinya negara ini adalah milik rakyat.

Bukan para cukong dan partai politik. Masih hidup bersama kita hari ini para ulama sholeh, para santri yang hebat, para jawara dan pendekar-pendekar sejati. Masih banyak di negeri ini para pejuang, aktifis, purnawirawan dan mahasiswa yang cinta pada negeri ini.

Masih banyak hidup bersama kita para raja nusantara dan para tentara, polisi, pejabat yang secara personal cinta Indonesia. Tinggal merangkainya, tinggal menghimpunnya, tinggal saling seiya sekata, untuk kompak bersama bangkit melawan semua kerusakan ini. Sebelum terlambat.

Selagi matahari masih terbit dari timur, insyaAllah bumi nusantara ini akan kembali kita rebut dari tangan-tangan jahil para pengkhianat Pancasila. Mari bung rebut kembali Indonesia. Salam Indonesia Jaya!

*) penulis adalah Tanhana Dharma Mangruva Institute
Jakarta, 20 Juli 2020

 

sumber jernihnews.com/20 Juli 2010 09:33 WIB di WAGroup INDONESIA ADIL MAKMUR (postMinggu17/7/2022/)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *