Densus Alat Politik Islamofobia

M Rizal Fadillah. foto: internet

By M Rizal Fadillah *

semarak.co-Jika dihimpun data tentang penanganan terorisme di Indonesia maka hampir seluruhnya “prestasi” Densus 88 ini berhubungan dengan umat Islam, baik organisasi, atribut, isu, aktivis maupun tokoh yang disasar.

Bacaan Lainnya

Terakhir Munarman Sekretaris FPI, Ustad Farid Oqbah Ketua Umum PDRI, DR. Ahmad Zain An Najah Anggota Komisi Fatwa MUI, dan DR. Anung Al Hamat Dosen Universitas Ibnu Khaldun. Cara menggerebek Densus 88 dinilai tidak layak, semestinya jika niat baik bukan karena sensasi, ketiganya dapat dipanggil oleh pihak Kepolisian dengan panggilan hukum.

Demikian juga dengan Munarman yang Advokat terkenal. Wajar akhirnya orang mempertanyakan kinerja Densus 88, institusi penegak hukum atau alat kepentingan politik. Islamofobia yang menjadi sorotan dari kepentingannya.

Anggota DPR Fraksi Gerindra Fadli Zon menyarankan agar lembaga berbiaya besar ini sebaiknya dibubarkan saja. Islamofobia tidak boleh menjadi basis kerja Densus 88. Masyarakat membandingkan tidak bekerjanya Densus menangani KKB Papua yg nyata-2 teroris.

Terorisme yg membahayakan bangsa dan negara. Sehingga muncul ejekan Densus itu beraninya hanya kepada kotak amal dan pohon kurma tetapi kepada senjata mengkerut.

Terorisme sebagai Isu Politik

Sejak “penyerangan” kepada menara kembar WTC di New York memerangi terorisme menjadi isu politik global. Target yg disasar juga organisasi, atribut, isu, aktivis dan tokoh Islam. Sentral “musuh bersama” yg dijadikan hantu adalah Al Qaida.

Dunia Islam dilumpuhkan dgn mengendalikan pemimpin Negara Islam dgn hantu terorisme dan nina bobo alokasi pembiayaan. Proposal penanganan aksi kelompok teroris di berbagai negara Islam bertebaran. Bom-bom car bermunculan.

Akhir dari isu politik global adalah diselesaikannya tugas Osama Bin Laden yang menyisakan buntut ISIS pimpinan Abdurrahman Al Baghdadi yg ujungnya diselesaikan juga. Amerika pun hengkang.

Disisakan aksi-aksi buatan di tingkat regional ataupun lokal. Ketika biaya besar berat pada aksi buatan dan jaringan maka isu pengganti yg lebih murah disiapkan di antaranya radikalisme dan intoleransi. Isu politik yg menarik dan tetap berfondasi pada Islamofobia.

Kembali pada penangkapan tiga pendakwah atau ulama baru baru ini di samping dipertanyakan cara penanganan hukum dan sensasi Densus 88, juga profil yang bersangkutan yg mudah dibandingkan dgn definisi terorisme menurut UU No 5 tahun 2018.

“Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yg menimbulkan rasa takut secara meluas yg dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yg strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dgn motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”

Nah bagi yang mungkin pernah mendengarkan da’wah, pandangan keagamaan, serta perilaku/akhlak para aktivis dan ulama seperti Munarman, Ustad Farid Oqbah, DR Ahmad Zain An Najah, dan DR Anung Al Hamat adakah sedikit saja bersesuaian dengan definisi UU No 5 tahun 2018 tersebut?

Penegakan hukum atau motif politik di ruang Islamofobia? Atau pengalihan isu oleh para koruptor dan predator bangsa dan negara? Para radikalis, teroris, dan penjahat oligarkhi penguasa negeri yang melindungi diri dengan menyerang hantu terorisme yg sengaja dibuatnya sendiri.

Bandung, 18 Nopember 2021

*) penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan

 

sumber: hajinews.id/2021/11/18/densus-alat-politik-islamofobia di WAGroup PAMEKASAN GERBANG SALAM (post19/11/2021/moelawaran)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *