Oleh: Budiawan, Cangkrukan
Semarak.co – Penjarahan Besar di Negeri Kaya: Dari Sawit, Tambang, hingga Laut yang Dicuri. (“Rakyat kecil bisa ditangkap karena sebutir beras, sementara para penguasa merampok hutan, gunung, dan laut selama puluhan tahun dengan tenang.”)
Beberapa minggu lalu, kita lihat sendiri: rumah anggota DPR dilempari, kediaman pejabat dijarah. Viral, heboh, semua stasiun TV serentak mengecam. Polisi bergerak cepat, pelaku diburu, dalam hitungan hari sudah ada yang ditangkap. Negara bertindak tegas. Itu penjarahan versi rakyat kecil. Cepat disorot, cepat dihukum.
Tapi mari jujur: ada penjarahan yang jauh lebih besar, lebih sistematis, dan lebih biadab. Bedanya, penjarahan ini tidak di pasar, tidak di rumah pejabat—melainkan di hutan, gunung, laut, dan tanah air kita. Dan pelakunya? Justru mereka yang duduk di kursi empuk, lengkap dengan payung hukum dan aparat bersenjata.
Definisi Sempit ala Negara
Pejabat selalu bilang penjarahan itu mencuri barang dari rumah, toko, atau gudang. Ya, definisi ini benar tapi konyol. Karena kalau bicara jujur, penjarahan paling brutal justru dilegalkan lewat undang-undang investasi, izin tambang, dan kebijakan perkebunan. Aparat bersenjata yang seharusnya melindungi rakyat malah jadi satpam perusahaan.
Hukum kita jelas: tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Penjarahan Kecil vs Penjarahan Besar
* Penjarahan kecil: spontan, rakyat lapar, cepat viral, langsung dipenjara.
* Penjarahan besar: terstruktur, pakai tanda tangan pejabat, jalan bertahun-tahun, legal di atas kertas, dan nyaris tak tersentuh hukum.
Pertanyaannya sederhana: siapa sebenarnya kriminal di negeri ini?
Peta Penjarahan Nusantara
- Sumatra – Sawit merajalela. Greenpeace (2023) mencatat Indonesia kehilangan 650 ribu hektar hutan dalam 10 tahun. Bahkan suaka margasatwa di Aceh ikut digunduli.
- Jawa (Tumpang Pitu, Banyuwangi) – Gunung emas dikoyak. Warga menolak, malah dikriminalisasi (Mongabay, 2021).
- Nusa Tenggara (Pulau Komodo) – Kawasan konservasi dijual jadi proyek wisata “premium”. UNESCO (2020) sudah memperingatkan, tapi siapa peduli?
- Sulawesi & Maluku – Tambang nikel dan smelter. WALHI (2022) catat kerusakan pesisir, konflik agraria, air laut jadi keruh.
- Papua (Raja Ampat, Mimika) – Freeport sudah mengeruk emas sejak 1967. Human Rights Watch (2021) bilang: rakyat Papua tetap miskin di atas tambang emas terbesar dunia.
- Kalimantan – Sawit dan batubara jadi raja. Auriga Nusantara (2022): 70% hutan Kalimantan lenyap. Rakyat tinggal di tepi lubang tambang, minum air keruh.
Air Mata yang Tak Pernah Masuk Televisi
* Seorang ibu di Sulawesi berteriak histeris, anaknya tewas ditembak saat demo anti-tambang.
* Di Papua, seorang anak menangis karena ayahnya dipenjara hanya karena menolak hutan adat ditebang.
* Di Kalimantan, seorang istri hidup sendiri karena suaminya dituduh kriminal setelah protes pencemaran sungai. Itu potret nyata. Tapi TV kita lebih suka menayangkan pejabat pakai rompi tambang sambil tersenyum meresmikan proyek “strategis”.
Suara Perlawanan
“Ini bukan tanah saya pribadi. Ini soal masa depan anak cucu kita,” ujar warga Tumpang Pitu yang melawan tambang emas (Mongabay, 2021).
Suara seperti ini biasanya hanya terdengar lirih, lalu tenggelam di tengah gegap-gempita pembangunan versi negara. Tapi justru di situlah letak perlawanan sejati. Rakyat kecil melawan dengan tubuh, sementara elit melawan dengan undang-undang.
Kontras yang Menyakitkan
* Rakyat miskin mencuri beras Rp50 ribu → 2 tahun penjara.
* Korporasi merampok hutan senilai triliunan → dapat tax holiday.
* Aktivis lingkungan orasi → ditangkap.
* Pejabat tandatangan izin tambang → naik pangkat.
Kalau ini bukan penjarahan besar-besaran, lalu apa namanya?
Penutup: Mau Jadi Penonton atau Ikut Melawan?
Kita boleh sepakat: penjarahan kecil itu salah. Tapi jangan lupa: penjarahan besar lebih jahat. Ia merampas masa depan bangsa, menghisap kekayaan alam, dan meninggalkan generasi miskin di negeri yang katanya kaya raya. Pertanyaannya tinggal satu: mau sampai kapan kita diam jadi penonton, sementara negeri ini terus dijarah depan mata?
—
Referensi Data & Fakta
* Greenpeace Indonesia (2023), Laporan Kehilangan Hutan Sawit.
* Mongabay (2021), Investigasi Tambang Emas Tumpang Pitu.
* WALHI (2022), Catatan Lingkungan Hidup Indonesia.
* Auriga Nusantara (2022), Data Hilangnya Hutan Kalimantan.
* UNESCO (2020), Warning Letter Pulau Komodo.
* Human Rights Watch (2021), Papua and Freeport Report.
* Freeport McMoRan Annual Report (2022).
Sumber: WAGroup Relawan Pengusaha Amin (RELAPENA), (postJumat5/9/2025/)