Menteri BUMN dan Menteri Desa yang meluncurkan perusahaan PT MBN (Mitra Bumdes Nusantara) yang sahamnya 90% dimiliki Bulog dan 10% Kopelindo. Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) menilai, ini merupakan bentuk pelecehan terhadap eksistensi ekonomi rakyat.
Ketua Harian Dekopin Agung Sudjatmoko mengatakan, roh ekonomi masyarakat desa yang masih menggunakan kearifan lokal akan tercerabut dengan dibentuknya PT MBN. Kegotong-royongan akan hancur karena nilai-nilai ekonomi kapitalistik di desa akan tergerus. Semula niatnya mamberdayakan ekonomi desa dan membina bumdes, tapi semangat MBN yang profit akan menghalalkan segala cara mengeruk kekayaan ekonomi desa.
“Hanya kelompok elit desa yang berdaya, tapi masyarakat desa kebanyakan akan menjadi penonton dan tetap miskin. Eksploitasi ekonomi di desa akan menggerus nilai kesatuan dan kebersamaan di desa. Gotong royong di desa akan tergerus oleh materialistik karena pendekatan pembangunan kapitalistik yang diterapkan di desa oleh pemerintah,” ujar Agung dalam pesan elektroniknya, Minggu (20/8).
Kebijakan privatisasi ini, nilai Agung, jelas tidak sesuai dengan semangat membumikan Pancasila. Dan sangat pertentangan dengan nawacita Presiden Jokowi, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memberdayakan ekonomi domestik. “Pendekatan kapitalistik di desa akan merusak kehidupan di desa. Privatisasi di desa akan memperluas ketimpangan penguasaan sumber daya ekonomi dan pendapatan kelompok masyarakat. Bumdes yang semula akan memberdayakan rakyat desa akan berubah menjadi agen privatisasi usaha di desa,” tulisnya.
Dekopin menolak keras kebijakan privatisasi usaha di desa seperti ini. Dekopin meminta kepada Presiden untuk turun tangan meluruskan praktek ekonomi yang akan menghancurkan kearifan lokal. “Jangan jadikan desa hanya sebagai objek ekonomi, sebab desa merupakan penyangga keberagaman dan kearifan lokal. Kemiskinan di desa terjadi bukan hanya ekonomi, tapi banyak faktor yang menyebabkan terutama ketidakadilan dan pemerataan akses sumber daya pembangunan dan kualitas sumber daya manusia,” ujarnya.
Bumdes di bangun dengan dana dari APBN. Bumdes harusnya digunakan untuk dana bergulir dan menyediakan infrastruktur di desa, untuk menggerakan masyarakat desa. Dana negara yang dikucurkan ke desa tidak boleh dikonversi jadi saham atas nama perorangan atau badan usaha yang pengurusnya atas nama jabatan. “Saya menduga kebijakan ini salah kaprah dan akan menghancurkan ekonomi desa. Atau mungkin ini kebijakan pesanan yang dapat menjadi pemicu perpecahan bangsa,” imbuhnya.
Koperasi Desa vs privatisasi
Sesuai karakteristik pedesaan, lanjut Agung, bumdes sangat tepat berbadan usaha koperasi. Karena koperasi sebagai bentuk konsolidasi sosial yang sekaligus ekononi bagi komunitas atau masyarakat. Koperasi membangun kebersamaan dan pemerataan serta keadilan. “Koperasi tidak eksploitatif dalam berusaha tetapi sesuai dengan potensi ekonomi, sosial dan budaya anggotanya. Koperasi menjamin transparansi karena demokrasi dibangun di koperasi,” kecamnya.
Menteri BUMN dan Menteri Desa tidak perlu alergi pada koperasi, sambung dia, kalau ada koperasi yang tidak baik dalam beroperasi itu lebih pada motif kelompok di dalam koperasi. Tapi masih banyak koperasi yang hebat membangun usahanya dengan kemandirian tanpa banyak fasilitasi pemerintah seperti koperasi kredit, KUD yang basis usahanya produk unggulan di desa dll. Kesalahan memberdayakan koperasi karena salah pembinaan dan salah niat pengurusnya.
Jika di desa bumdes di privatisasi akan menjadi legitimasi kapitalisasi desa. Jika pemerintah tetap melaksanakan agenda ini akan menghancurkan nilai gotong royong dan kearifan lokal di pedesaan. Pada saatnya nanti akan menghancurkan keutuhan negara. Pemberdayaan bumdes yang paling tepat adalah melalui koperasi. Dekopin bersama Kementerian Koperasi siap memfasilitasi untuk pemberdayaan bumdes berbadan hukum koperasi. (lin)