Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) menyarankan pemerintah untuk menggunakan instrument koperasi untuk menyelematkan dan optimalisasi dana desa. Dekopin pun merasa perlu adanya perubahan sistem alokasi penggunaan dana desa.
Ketua Harian Dekopin Agung Sudjatmoko merinci, pecah sistem penyaluran menjadi empat bagian, yaitu untuk pembangunan infrastruktur desa, pendidikan pelatihan, operasional, dan modal bergulir di pedesaan. Itu pertama, lanjut Agung, lantas kedua, masing masing bagian di atas dimasukan ke rekening institusi yang berbadan hukum di desa sesuai dengan peruntukan. Ketiga lakukan pengawasan penggunaan anggaran secara demokratis dengan melibatkan rakyat desa.
“Khusus untuk modal bergulir, Dekopin menganjurkan agar pemerintah menggunakan instrumen koperasi untuk menyelamatkan dan optimalisasi dana desa,” tulis Agung dalam rilisnya, Jumat (11/8).
Kenapa harus menggunakan koperasi? Menurut Agung, karena dengan koperasi dana desa tersebut dapat digulirkan ke kelompok sasaran di desa, masyarakat desa tercatat sebagai anggota, koperasi di desa yang ditunjuk mempunyai syarat koperasi yang sehat dan akuntabilitas penggunaan dana desa di koperasi akan dipertanggung jawabkan dengan mekanisme yang jelas di rapat anggota.
Dimana kemajuan, perkembangan dan permasalahan diungkap secara umum pada rapat anggota. Dengan demikian dana desa tersebut dapat digunakan secara optimal. “Dekopin siap untuk membangun transparansi penggunaan dana desa khusunya untuk alokasi modal bergulir pemberdayaan masyarakat desa selama koperasi diberi peran yang benar dan proporsional untuk mengurai carut marut masalah dana desa,” tulisnya.
Diakuinya, munculnya kebijakan dana desa memberikan angin segar untuk pembangunan masyarakat desa. Ini bukan kebijakan baru di jaman Presiden Soeharto telah ada program IDT, di zaman Presiden SBY ada dana PNPM sampai PNPM Mandiri. Ke semua kebijakan itu pasti ber muara pada upaya untuk mendorong pemberdayaan rakyat di desa menuju kesejaheraan.
“Akan tetapi apa yang terjadi masih banyak penyimpangan penggunaan dana desa untuk keperluan di luar pemberdayaan rakyat desa. Malah sebagian dikorup oknum pemerintah di daerah dan desa,” sindirnya.
Berkaca pada kasus yang terjadi korupsi dana desa di Pamekasan, kutip Agung, ini merupakan puncak gunung es kasus penyimpangan dana desa. “Mereka sedang apes saja dengan Rp100 juta, ditangkap KPK, tapi saya yakin masih banyak penyimpangan yang dilakukan perangkat desa dan daerah dari dana desa itu. Karena juga ada di Pangkep, Bone, dan Luwu yang sudah muncul di media,” kutip anak muda kader partai ini.
Apakah kasus penyimpangan dana desa ini akan terselesaikan? Agung menilai, rasanya sulit diberantas karena sistem dan budaya koruptif telah menggerogoti bangsa ini dari pusat sampai di satuan penyelenggara pemerintah terkecil di desa.
Penggelontoran dana ke desa sejak tahun 2015 dimulai dengan uang Rp20,76 triliun (untuk 74.093 desa), tahun 2016 sebesar Rp46, 98 triliun (untuk 74.754 desa), dan 2017 sebesar Rp60 triliun (untuk 74.954 desa), bahkan direncanakan dana desa tahun 2018 dianggarkan sebesar Rp120 triliun.
“Angka yang sangat besar untuk alokasi anggaran pembangunan di desa. Jika dana ini dilaksakanakan dengan baik untuk peningkatan infrastruktur desa, operasional pembangunan desa, program dana bergulir maka akan menpercepat pembangunan desa sesuai sengan Nawacita Presiden yang ketiga membangun Indonesia dari pinggiran,” ungkapnya.
Namun sayang seiring dengan penggelontoran itu seakan memindahkan “pusaran korupsi” dari pusat sampai ke pedesaan. Inilah masalah kebangsaan kita bahwa mentalitas aji mumpung koruptif telah membuat proses pembangunan seakan berjalan di tempat. Ada pembangunan tetapi kue pembangunan hanya dinikmati sekelompok orang, tidak ada pemerataan pendapatan, ketimpangan sektor dan daerah, serta berbagai sampak sistemik lambatnya proses pengentasan kemiskinan, kemelaratan, ketertinggalan mutu pendidikan dan penciptaan lapangan pekerjaan/mengurangi pengangguran.
Pada Desember 2016, ICW mencatat sebanyak 122 Kades atau Ketua Asosiasi Kades menjadi tersangka. Pada Januari 2017 ada 363 laporan penyimpangan dana desa yang masuk ke KPK, sebanyak 87 laporan yang layak ditindaklanjuti. Sementara itu Kemendes kementerian yang bertanggung jawab atas permasalahan ini, pada Agustus 2017 menyerahkan 60 laporan penyelewengan dana desa ke KPK. Sedangkan untuk pelanggaran administrasi ada 200 laporan.
Kalau menilik permasalahan yang ada penyimpangan dana desa disebabkan oleh: 1, kesalahan administrasi, 2. penyelewengan dana karena korupsi, atau 3. belum sempurnanya sistem, mekanisme dan prosedur perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan atas dana desa tersebut. Tetapi apapun faktor yang menyebabkan dana desa itu karena mentalitas dan kualitas para penyelenggara negara sampai di tingkat desa. (lin)