Oleh Zulkifli S Ekomei *
semarak.co–“Tidak ada kejahatan yg sempurna. Para pelaku niscaya meninggalkan jejak kejahatanya.” Inilah adagium di dunia kriminal yg dianggap oase di tengah kehausan para pencari kebenaran dan keadilan, bahwa kejahatan pasti akan terungkap. Entah kapan, itu hanya soal waktu saja.
Demikian pula jejak kejahatan kaum pengkhianat yg telah mengobrak-abrik UUD 45 Naskah Asli melalui amandemen empat kali (1999, 2000, 2001, 2002). Akibat amandemen dimaksud, karya agung the founding fathers kini justru pro-oligarki, tidak lagi pro-rakyat.
Kaum komprador dalam melakukan kejahatan (pengkhianatan)-nya saat mengubah UUD 45 Naskah Asli, pintu masuknya melalui pasal 37 UUD 45. Singkat kata, pasal 37 dimaksud ada 5 ayat (silahkan di- googling). Inti pokoknya, UUD dapat diubah MPR dihadiri 2/3 anggota dan dilakukan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota dari MPR.
Itulah celah alias pintu masuk yg dimanfaatkan oleh para pengkhianat bangsa. Akan tetapi, mereka lupa pada pasal 3 UUD 45 Naskah Asli: “Majelis Permusyawaratan Rakyat MENETAPKAN Undang-Undang Dasar dan Garis Besar daripada Haluan Negara.”
Barangkali diburu deadline sehingga mereka mengabaikan pasal 3 ini dan gilirannya pasal tsb menjadi kunci dalam menguak tabir kejahatan kaum pengkhianat terhadap konstitusi. Lantas, mana jejak kejahatan kaum pengkhianat itu? Tidak ada kejahatan yg sempurna. Pengkhianatan kaum komprador tsb meninggalkan dua jejak besar.
Antara lain sebagai berikut:
Pertama, sampai hari ini tidak ada satu pun produk hukum (entah Tap MPR, atau UU, dll) yg mengesahkan berlakunya UUD NRI 45 Hasil Amandemen (empat kali). Dengan demikian, sejatinya ada UUD/konstitusi berlaku di Indonesia, yakni 1) secara de jure adalah UUD 45 Naskah Asli; 2) secara de facto adalah UUD NRI 45 Hasil Amandenen;
Kedua, sejak awal era reformasi, rezim penguasa tidak lagi menjalankan GBHN. Maka dalam UUD NRI 45 Hasil Amandemen, selain Presiden bukan lagi selaku Mandataris MPR, jadi tidak ada mekanisme pertanggungjawaban setiap 5 tahun di depan MPR, tidak ada Sidang Istimewa jika Presiden melanggar hukum, juga Presiden tidak melaksanakan politik GBHN.
Politik Rakyat. Artinya, kebijakan Presiden bukan berdasar politik rakyat atau GBHN, tetapi cenderung menjalankan politiknya sendiri yg berbasis kepentingan kaum oligarki yg membiayainya dalam pemilu bermodel one man one vote yg memang cenderung high cost politics.
Seiring waktu, potret perjalanan para pengkhianat ini bisa dikelompokkan ke dalam tiga golongan. Antara lain:
Golongan Pertama ialah mereka yg terlibat langsung dalam amandemen bahkan kini justru meneruskan kejahatanya, contohnya para mantan anggota Panitia Ad Hoc MPR periode 1999 – 2004 membentuk kelompok yg dinamakan Forum Konstitusi.
Beberapa waktu lalu, mereka menghadap ke Mahkamah Konstitusi (MK) meminta dukungan dana untuk sosialisasi UUD NRI 45 Hasil Amandemen. No free lunch, sir! sekarang mereka tengah menikmati hasil kejahatan.
Golongan Pertama ini paling berbahaya. Karena selain berkhianat dan kini menikmati hasil kejahatannya, lebih jauh lagi sebagian dari mereka justru terlibat dalam pembuatan produk (UU) turunan dari UUD NRI 45 Hasil Amandemen.
Golongan Kedua adalah kaum pengkhianat yg tidak meneruskan kejahatannya. Beberapa nama sudah almarhum atau bertobat setelah menyadari kejahatannya berdampak buruk pd bangsa dan negara, terutama masa depan generasi berikutnya. Bagi almarhum namun belum sempat bertobat, diucapkan duka cita mendalam, semoga arwahnya diterima pemilik modal.
Golongan Ketiga adalah mereka yg tidak terlibat tetapi turut menikmati. Dalam pilpres ataupun pilkada langsung (one man one vote) contohnya, mereka terpilih menjadi Gubernur, Walikota atau Bupati, bahkan jadi Presiden akibat kolaborasi jahat antara oligarki ekonomi dan politik.
Pertanyaan mendasarnya, apakah ketiga golongan pengkhianat tsb terus dibiarkan menikmati hasil kejahatanya atau dihentikan?
#RebutKedaulatanRakyat
#TolakUUD45Palsu
#GanyangParaPenghianat
sumber: WAGroup INDONESIA ADIL MAKMUR (postSabtu30/7/2022/)