Dampak Perang Ukraina

Tank-tank pasukan Rusia konvoi menuju medan pertempuran dalam menginvasi Ukraina. Foto: internet

Oleh Radhar Tribaskoro *)

Semarak.co – Selalu ada kesunyian tertentu sebelum sejarah berubah arah. Di antara dentum artileri dan debat para diplomat, perang di Ukraina sebenarnya dimulai dari sesuatu yang lebih sunyi: kebutuhan akan keamanan nasional. Dua negara bertetangga, dua ketakutan yang saling meniadakan.

Bacaan Lainnya

Di satu sisi Ukraina, yang merasa dirinya hanya akan selamat bila bernaung di bawah payung NATO. Di sisi lain Rusia, yang percaya bahwa keselamatannya justru bergantung pada satu hal: Ukraina tetap netral, tetap menjadi ruang penyangga yang tidak dipenuhi instalasi militer Barat.

Dua kebutuhan yang bertabrakan itu awalnya masih berada dalam ranah argumen. Hingga Amerika Serikat dan NATO masuk, mengatakan kepada Ukraina bahwa impian itu mungkin—bahwa pintu menuju NATO dapat ditembus dengan cukup kemauan dan keberanian.

Mereka berjanji mendukung “selama diperlukan”, as long as it takes, sebuah janji yang diulang seperti ritus. Tetapi Rusia tidak gentar. Diplomasi yang rapuh itu retak. Dua negara yang berkonflik tidak lagi menemukan ruang untuk berbicara; mereka harus menyelesaikan persoalan keamanan nasionalnya melalui perang, seperti bangsa-bangsa yang kehilangan pilihan di masa lampau.

Dan hari ini, seperti sebuah panggung yang lama-lama kehilangan ilusi, kenyataan mulai menampakkan dirinya. Rusia bergerak perlahan namun pasti, memotong garis logistik Ukraina, menguasai langit, dan mengubah ketidakseimbangan persenjataan menjadi keunggulan strategis.

Ukraina mundur setapak demi setapak, kehilangan wilayah, kehilangan personil tempur yang andsl, kehilangan waktu. Dengan jatuhnya kota dtrategis Pokrovsk dan Kupyanks, Rusia sebenarnya telah menang. Kemenangan Rusia sulit diucapkan oleh Barat.

Dalam dunia geopolitik, mengakui kekalahan adalah menyerahkan hak menentukan masa depan kepada lawan. Tetapi Amerika Serikat—dengan realisme politik yang seringkali tidak dibicarakan dengan suara keras—mulai menyadari sesuatu yang lebih dingin: perang yang dilanjutkan hanya membuat Ukraina kehilangan lebih banyak nyawa dan wilayah.

Secara simbolik Donald Trump mengatakan kepada Zelensky, “Anda tidak punya kartu.” Sebuah tamparan dari kawan sendiri. Lalu datanglah Proposal Perdamaian 28 Poin dari AS: rancangan yang, dalam banyak elemen, mengadopsi tuntutan Rusia.

Sebuah pengakuan halus bahwa peta kekuatan telah berubah. Ukraina murka. Uni Eropa pun tersinggung. Friedrich Merz menuduh AS—dan Trump—telah menjual Ukraina kepada Rusia. Lantas UE/NATO menjawab dengan satu langkah yang menandai era baru: menyita aset Rusia senilai USD140 miliar yang tersimpan di Euroclear.

Uang itu akan dipakai membiayai perang dua hingga tiga tahun ke depan—cukup, kata mereka, untuk memperkuat kembali mesin militer Barat sebelum menghadapi Rusia secara langsung bila nanti diperlukan.

Tapi penyitaan aset itu menembus sebuah batas yang sejak lama dianggap sakral. Bahkan ketika Perang Dunia I dan II menghancurkan kota-kota, sesuatu tetap dihormati: simpanan uang di bank. Sistem keuangan internasional selama berabad-abadbbertahan karena satu kesepakatan tak tertulis: bahwa uang, betapapun negara-negara bertikai, adalah benda netral.

Kini garis itu dilanggar.

Dan sebuah dunia bergeser.

Rusia marah. Tentu saja. Tetapi kemarahan dalam politik internasional jarang berhenti pada kata-kata. Ada tujuh konsekuensi dapat disebutkan—dan barangkali lebih banyak lagi yang kini bergema diam-diam di ruang-ruang pertemuan tertutup Kremlin.

Pertama, Rusia kemungkinan besar akan memperluas mandat Special Military Operation. Yang sebelumnya hanya mencakup empat oblast—Luhansk, Donetsk, Zaporizhzhia, dan Kherson—akan diperluas hingga mencapai seluruh wilayah timur Sungai Dnieper, plus Odessa.

Bila Odessa jatuh, Ukraina akan terputus dari Laut Hitam—sebuah tragedi geopolitik yang jarang terjadi pada negara modern: kehilangan laut berarti kehilangan masa depan ekonomi.

Sementara itu penguasaan sisi timur Dniepr akan memberikan Rusia pertahanan alamiah, dan lebih penting dari itu Kyiv hanya sepelemparan tangan saja.

Kedua, penyitaan aset akan digantikan dengan sesuatu yang lebih dalam dampaknya: hilangnya kepercayaan negara-negara non-Barat terhadap bank-bank Eropa.

Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Oman, Aljazair, Mesir—semua negara penyimpan cadangan devisa raksasa itu kini bertanya-tanya: “Apakah uang kami aman?” Dan ketika pertanyaan itu muncul, keputusan untuk memindahkan aset hanyalah soal waktu. Pasar global pun ikut bergetar, sebab kapital tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga perlindungan.

Ketiga, BRICS bergerak lebih cepat daripada yang mungkin diinginkan Eropa. Dedolarisasi bukan lagi teori; kini ia menjadi naluri bertahan hidup.

Dunia keuangan Barat, dengan menjadikan dolar dan euro alat pemerasan geopolitik, secara tidak sengaja menciptakan musuh bagi dirinya sendiri. Namun ada konsekuensi lain yang lebih tak terduga—dan mungkin lebih mengubah dunia.

Keempat: lahirnya doktrin geopolitik baru — “keamanan tanpa Barat”. Selama tiga dekade, negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin hidup dalam keyakinan bahwa stabilitas global dipelihara oleh tatanan finansial yang dikendalikan Barat.

Kini mereka melihat bukti bahwa tatanan itu dapat digunakan sebagai palu. Maka lahirlah gagasan baru: bahwa keamanan nasional bukan hanya soal militer, tetapi soal tempat penyimpanan uang, kredit perdagangan, dan mata uang cadangan.

Kelima: Eropa sedang berjalan menuju konfrontasi yang tidak siap ia hadapi. Eropa yakin punya waktu dua-tiga tahun untuk membangun kembali industri militernya. Tetapi Rusia tidak perlu menunggu.

Penyitaan aset adalah deklarasi permusuhan yang ditujukan untuk efek jangka panjang, sementara Rusia beroperasi dengan logika jangka pendek: bergerak cepat sebelum NATO siap.

Keenam: Ukraina perlahan berubah dari negara, menjadi simbol.

Simbol selalu indah dalam kata-kata, tetapi rapuh ketika menghadapi sejarah. Ukraina kini terjebak dalam dua realitas: Barat membutuhkannya sebagai alasan untuk mereformasi NATO; Rusia membutuhkannya sebagai garis pertahanan terakhir dari ekspansi Barat. Di antaranya, Ukraina berdarah—bukan sebagai entitas aktif, tetapi sebagai medan tempat kekuatan besar menguji tekad.

Ketujuh: Seluruh sistem hukum internasional retak.

Jika aset negara dapat disita, maka kekebalan diplomatik, hukum laut, bahkan aturan perang akan sulit bertahan. Dunia terlempar kembali ke era Pax Britannica, ketika kekuatan menentukan hukum. Tetapi kali ini tidak ada satu imperium yang mendominasi; ada banyak, dan mereka bergerak dalam arah yang berbeda.

Ketika semua itu berlangsung, dunia bertanya: bisakah perang ini dihentikan? Jawabannya, seperti biasa, tidak berada di meja perundingan, tetapi di medan perang. Rusia tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan penghalang strategis yang ia anggap aman.

NATO tidak akan berhenti sampai Rusia memahami bahwa agresi tidak boleh dihadiahi wilayah. Dua arah berlawanan itu hanya punya satu titik temu: kehancuran yang cukup besar untuk menghentikan keduanya.

Kita melihat sebuah tragedi yang tumbuh pelan-pelan, seperti badai yang sudah terlihat dari kejauhan namun tak seorang pun bisa menghentikannya. Di masa depan, barangkali para sejarawan akan bertanya: pada titik mana dunia memilih jalan yang salah?

Apakah ketika NATO membuka pintu bagi Ukraina? Apakah ketika Rusia mengirim tank melewati perbatasan? Apakah ketika Amerika menawarkan perang “selama diperlukan”? Atau ketika Eropa menyita uang yang bukan miliknya?

Jawabannya mungkin lebih sederhana: dunia terseret oleh logika kekuatan. Ketika ketakutan menjadi bahasa utama, diplomasi berhenti berbicara. Dan perang, seperti selalu terjadi, mengambil alih. Di tengah reruntuhan itu, hanya satu hal yang tersisa: waktu. Rusia telah memperpanjangnya.

NATO mencoba membelinya. Ukraina kehabisan. Dunia menunggu, dengan napas tertahan, ke mana sejarah akan bergerak setelah ini. Selebihnya, seperti biasa dalam gaya tragedi klasik, manusia hanya menjadi penyaksi. Dunia yang berubah tidak menunggu persetujuan siapa pun.===

Cimahi, 7 Desember 2025

*) Pengamat Luar Negeri

 

Sumber: WAGroup FORUM DISKUSI CERDAS (postMinggu7/12/2025/apblegalconsultant)

Pos terkait