Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengaku pernah menegur kader PDIP Saeful Bahri yang meminta uang ke Harun Masiku untuk mengurus Pergantian Antar Waktu (PAW) di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
semarak.co -Hasto menyampaikan hal itu menggunakan sarana “video conference” untuk terdakwa Saeful Bahri yang berada di rumah tahanan (rutan) KPK di gedung KPK lama, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, majelis hakim, dan sebagian penasihat hukum berada di Pengadilan Tipikor Jakarta.
“Apakah saudara pernah mengetahui Pak Harun Masiku menyiapkan dana operasional untuk mengurus biaya operasional di KPU?” tanya JPU Ronald Worotikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (16/4/2020).
Di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan, kawasan Jagakarsa Jakarta Selatan, Kamis (16/4/2020), Hasto mengatakan, dalam satu kesempatan dirinya pernah dengar terdakwa meminta dana kepada Harun Masiku kemudian ia klarifikasi dan memberikan teguran terkait hal tersebut
Saeful Bahri yang juga merupakan kader PDIP didakwa bersama-sama Harun Masiku ikut menyuap mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebesar Rp600 juta agar mengupayakan PAW anggota DPR RI daerah pemilihan Sumatera Selatan (Dapil Sumsel) I kepada Harun Masiku.
PAW itu dilakukan sesuai dengan rapat pleno PDIP pada Juli 2019 yang memutuskan Harun Masiku sebagai caleg pengganti terpilih yang menerima pelimpahan suara dari Nazaruddin Kiemas karena Nazaruddin sudah meninggal dunia.
Dalam dakwaan disebutkan Harun Masiku lalu meminta Saeful agar Harun dapat menggantikan Riezky Aprilia dengan capa apapun yang kemudian disanggupi Saeful.
DPP PDIP mengirimkan surat nomor 2576/EX/DPP/VIII/2019 kepada KPU RI pada 5 Agustus 2019 berisi permintaan Nazarudin Kiemas dialihkan suara sahnya kepada Harun Masiku.
Namun KPU membalas surat DPP PDIP itu dengan menyatakan tidak dapat mengakomodir permohonan DPP PDIP karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. “Ada komunikasi lain penyampaian terdakwa bahwa Pak Harun geser 850 tanggal 23 Desember?” tanya JPU KPK Takdir Suhan.
“Saya tidak ingat persis tapi setelah saya tegur dan klarifikasi persoalan terdakwa minta dana kepada Harun Masiku setelah itu komunikasi saya bersifat pasif sehingga ketika ada ‘whatsapp’ dari terdakwa saya jawab ‘OK sip’, artinya saya membaca tapi tidak menaruh atensi terhadap hal tersebut,” jawab Hasto.
Dalam dakwaan disebutkan pada 26 Desember 2019, Harun lalu meminta Saeful mengambil uang Rp850 juta dari Patrick Gerard Masako. Uang itu digunakan untuk operasional Saeful sejumlah Rp230 juta, untuk Donny Tri Istiqomah sebesar Rp170 juga dan kepada Agustiani Tio sejumlah Rp50 juta sedangkan sisanya Rp400 juta ditukarkan menjadi 38.350 dolar Singapura untuk DP kedua kepada Wahyu Setiawan.
“Saya menegur dengan cara menelepon, saya tegur karena hal tersebut tidak dibenarkan partai tidak membenarkan hal tersebut,” ungkap Hasto.
Atas teguran tersebut, menurut Hasto, Saeful lalu meminta maaf dan melakukan klarifikasi. Hasto pun mengaku tidak tahu Harun tetap memberikan uang ke Saeful. “Saya tidak tahu Harun memberikan uang ke Saeful, tidak tahu ada pertemuan antara Saeful dan Wahyu,” kata Hasto.
Hasto mengaku Saeful adalah stafnya saat menjabat sebagai anggota DPR. “Saeful pernah jadi staf saya saat saya jadi anggota DPR, saya mengenalnya sekitar tahun 2003-2004, pada saat saya berproses jadi caleg DPR RI,” ungkap Hasto.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 9 Januari 2020, Harun hingga saat ini belum ditemukan dan sudah dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) atau buron.
Soal pertemuan terakhirnya dengan kader PDIP Harun Masiku yang saat ini buron, Hasto mengatakan, terakhir bertemu saat itu awal Desember 2019, yang bersangkutan datang dan mengundang dirinya untuk acara Natalan, tapi karena sifatnya personal saya tidak menghadiri acara itu,” kata Hasto, di Kantor DPP PDI Perjuangan.
Dalam dakwaan disebutkan Harun Masiku lalu meminta Saeful, agar Harun dapat menggantikan Riezky Aprilia dengan cara apa pun yang kemudian disanggupi Saeful. “Memang dalam rapat DPP partai yang memutuskan hal Harun Masiku yang menggantikan Pak Nazarudin, dan salah satu pertimbangannya rekam jejak saudara Harun Masiku,” ujar Hasto.
Sedangkan terkait perkenalannya dengan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Hasto mengaku pertama kali bertemu saat penetapan parpol peserta pemilu. “Kalau bertemu dengan Pak Wahyu itu selalu bersama dengan Komisioner KPU atas undangan resmi KPU. Pertemuan pertama seingat saya saat penetapan parpol sebagai peserta pemilu, proses verifikasi parpol,” ujar Hasto.
Setelah itu, pertemuan lain adalah pada rapat pleno penetapan calon terpilih anggota DPR. “Karena saya mewakili partai saat tahapan-tahapan pemilu di KPU, tidak pernah ada pembicaraan di luar acara resmi dengan Wahyu paling di sela-selanya saat ishoma,” kata Hasto.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 9 Januari 2020, Harun hingga saat ini belum ditemukan dan sudah dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron.
Sekjen PDI-Perjuangan Hasto menjelaskan alasan partainya memberikan suara Nazarudin Kiemas yang mendapat suara terbanyak di Dapil Sumsel I kepada Harun Masiku.
Menurut Hasto, setelah partai mendapat legalitas dari putusan Mahkamah Agung (MA), dalam rapat itu kami melihat pelimpahan suara dari Bapak Nazarudin Kiemas ke Harun Masiku.
“Mempertimbangkan yang bersangkutan punya latar belakang profesi yang dibutuhkan partai, yaitu lulusan internasional ekonomic law dan dapat beasiswa dari Inggris dan dalam rekam jejak yang bersangkutan tahun 2000 ada dalam kongres pertama juga terlibat dalam penyusunan AD/ART partai,” kilah Hasto di kantor DPP PDI-P.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa meski Nazaruddin Kiemas sudah meninggal dunia, namun ia tetap mendapat suara tertinggi di dapil Sumsel I yaitu 34.276 suara dalam pileg.
Pada Juli 2019 rapat pleno PDIP memutuskan Harun Masiku yang hanya mendapat suara 5.878 sebagai caleg pengganti terpilih yang menerima pelimpahan suara dari Nazaruddin Kiemas.
“Saat rapat pleno dilaporkan perolehan suara dari setiap caleg di dapil tersebut saya lupa berapa suara Harun Masiku tapi diputuskan itu. Atas keputusan partai tersebut, Harun siap melakukan tugas sebagai anggota DPR. Respon Harun siap menjalankan tugas sebagai petugas partai,” ungkap Hasto.
Atas keputusan rapat pleno DPP PDIP tersebut, Hasto lalu meminta Donny Tri Istiqomah selaku penasihat hukum PDIP untuk mengajukan surat permohonan ke KPU RI. Namun KPU membalas surat DPP PDIP itu dengan menyatakan tidak dapat mengakomodir permohonan DPP PDIP karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
“Yang kami ingat saat itu ada perbedaan tafsir KPU dengan partai. KPU hanya berpendapat bahwa surat Nazarudin Kiemas diberikan kepada parpol tetapi tentang pelimpahannya itu menurut KPU tidak ada ketentuan hukumnya,” tambah Hasto.
DPP PDIP juga meminta fatwa kepada Mahkamah Agung agar KPU bersedia melaksanakan permintaan DPP PDIP. “Dalam surat yang kami kirmkan pada pertengahan September 2019 tentang permohonan fatwa, kami memang menegaskan untuk memberikan suara Nazaruddin Kiemas kepada Harun,” ungkap Hasto.
DPP PDIP mengirim pada 13 September 2019 perihal Permohonan Fatwa Terhadap Putusan MA-RI Nomor 57P/HUM/2019 19 Juli 2019 yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang pada pokoknya DPP PDIP meminta fatwa kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia agar KPU RI bersedia melaksanakan permintaan DPP PDIP sebagaimana yang tercantum dalam amar putusan.
“Jadi fatwa MA itu menegaskan bahwa terhadap caleg terpilih yang berhalang tetap sebagaimana konsideran hukum di dalam hukum putusan MA diserahkan ke parpol untuk diberikan kepada kader partai yang dari caleg di dapil tersebut yang dinilai terbaik,” jelas Hasto.
Namun dalam surat fatwa itu tidak disebutkan siapa nama yang akan menduduki posisi sebagai anggota DPR. “Kami menunjuk Donny sebagai pemegang kuasa dalam uji materi, maka kami tugaskan yang bersangkutan untuk menjalankan putusan MA itu ke KPU namun dalam perjalanannya KPU menolak dalam rapat pleno 30 Agustus 2019 karena KPU tidak mengindahkan putusan MA,” ungkap Hasto.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 9 Januari 2020, Harun hingga saat ini belum ditemukan dan sudah dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron. (net/lin)