Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Basilio Dias Araujo mengaku bingung atas permintaan China kepada Indonesia untuk menyetop pengeboran minyak dan gas (migas) di blok Tuna, Natuna yang diklaim wilayah miliknya.
semarak.co-Anak buah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan ini menilai permintaan itu disampaikan secara diplomatik. Hal ini sebenarnya biasa di bidang diplomatik antarnegara. Hanya saja, ia juga mengaku bingung dengan permintaan tersebut.
Sebab, kata Dias, Indonesia tidak melanggar ketentuan hukum laut apa pun. Kegiatan pengeboran atau eksplorasi dilakukan di dalam wilayah landas kontinen yang menjadi hak Indonesia. Indonesia, balas Dias, tidak mempunyai perbatasan laut langsung dengan negara China.
“Saya tidak paham dasar hukum yang digunakan China untuk protes kegiatan eksplorasi minyak di dalam landas kontinen Indonesia,” ungkap Basilio kepada sekaligus dilansir CNN Indonesia/Jumat, 03 Dec 2021 17:28 WIB.
Kendati begitu, Dias mengungkapkan pemerintah akan menanggapi permintaan Negeri Tirai Bambu sesuai ketentuan hukum laut internasional. “Ya kita tanggapi biasa saja sesuai ketentuan hukum laut internasional bahwa kita melakukan kegiatan eksplorasi di dalam wilayah landas kontinen kita,” imbuhnya.
Di sisi lain, ia memastikan SKK Migas dan Premier Oil selaku kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tetap bisa meneruskan aktivitas pengeboran migas di Laut Natuna, tepatnya Blok Tuna. Apalagi, keduanya baru saja menemukan cadangan migas baru di perbatasan Indonesia-Vietnam itu. “Ini tidak mengancam keberlangsungan eksplorasi SKK Migas yang sedang berlangsung di situ. Jalan terus karena itu wilayah kita,” katanya.
Namun, ia menyatakan pemerintah tetap memberi penjagaan di Laut Natuna. Pemerintah telah mengerahkan TNI Angkatan Laut dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk mengamankan kegiatan pengeboran migas di Natuna.
Senada, Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno menyatakan eksplorasi tetap berjalan dan belum ada perintah untuk menghentikannya di tengah kabar permintaan China tersebut. “Sejauh ini, belum ada perintah untuk menghentikan operasi di Laut Natuna,” kata Julius.
Seperti diberitakan Kompas.com – 02/12/2021, 20:21 WIB/Pemerintah China menuntut Indonesia untuk menghentikan kegiatan pengeboran minyak dan gas alam di wilayah perairan Kepulauan Natuna. Wilayah maritim tersebut memang diklaim kedua negara.
Dilansir Kontan, Kamis (2/11/2021), permintaan yang belum pernah terjadi dan belum pernah dilaporkan sebelumnya itu, meningkatkan ketegangan antara China dan Indonesia di wilayah strategis tatkala ekonomi global juga sedang bergejolak.
Sebuah surat dari Diplomat China kepada Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia dengan jelas mengatakan kepada Indonesia untuk menghentikan pengeboran di rig lepas pantai sementara karena lokasinya berada di wilayah yang dianggap milik China.
Indonesia mengatakan ujung selatan Laut Cina Selatan adalah zona ekonomi eksklusifnya di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Indonesia menamai wilayah tersebut dengan Laut Natuna Utara pada 2017.
China keberatan dengan perubahan nama dan bersikeras bahwa jalur air itu berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut China Selatan yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus berbentuk U alias dash nine line.
Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut (Unclos), Indonesia memiliki hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di ZEE dan landas kontinennya.
Pasal 73 juga memberikan kewenangan kepada Indonesia untuk menegakkan hukum dan peraturan nasionalnya terhadap kapal asing yang menangkap ikan secara ilegal di ZEE Indonesia tanpa persetujuan Indonesia.
Pemerintah Indonesia sendiri telah mencoba terus meningkatkan keberadaan kapal nelayan penangkap ikan lokal di Natuna Utara. Kehadiran warga sipil di Natuna Utara, dalam hal ini nelayan lokal, akan menguatkan klaim Indonesia atas kepemilikan perairan yang rawan sengketa itu.
Namun, sebagian besar nelayan lokal di Natuna adalah operator skala kecil, sehingga berlayar hingga 200 mil laut di zona ekonomi eksklusif tetap menjadi tantangan. Pemerintah juga punya rencana untuk mengirim kapal penangkap ikan yang lebih besar dari Jawa untuk menangkap ikan di Laut Natuna Utara. Namun, tampaknya rencana itu menimbulkan gesekan dengan nelayan lokal di Natuna.
Sebelumnya, kabar China meminta Indonesia menyetop pengeboran migas di Laut Natuna diungkapkan Anggota Komisi I DPR Muhammad Farhan. “Jawaban kami sangat tegas bahwa kami tidak akan menghentikan pengeboran karena itu adalah hak kedaulatan kami,” ungkap Farhan seperti dikutip dari Reuters.
Surat itu sedikit mengancam, nilai Farhan, karena itu adalah upaya pertama diplomat China untuk mendorong agenda nine-dash line mereka terhadap hak-hak kami di bawah hukum laut. Kendati begitu, katanya, Pemerintah Indonesia memilih diam terhadap permintaan China. Sikap diam diambil karena tidak mau isu ini berujung menjadi insiden diplomatik.
Sementara itu dilansir dari media terkemuka Malaysia, The Star, China menuntut Indonesia menghentikan kegiatan pengeboran minyak dalam nota diplomatik dengan alasan bahwa itu terjadi di wilayah yang diklaim Beijing sebagai bagian dari perairan tradisional milik mereka.
Nota protes China dikirim beberapa bulan lalu saat kapal penelitiannya melintasi bagian Laut China Selatan yang menurut Indonesia adalah bagian dari zona ekonomi eksklusifnya di lepas pantai Kepulauan Natuna.
“Argumen China adalah bahwa lokasi pengeboran melanggar batas Nine-Dash Line. Tentu saja pemerintah Indonesia menolak (klaim) itu karena kami berpegang pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut,” kata anggota DPR Muhammad Farhan, merujuk pada jalur yang digunakan China untuk mengklaim sebagian besar Laut China Selatan.
Indonesia tidak melihat dirinya sebagai pihak dalam bersengketa di Laut China Selatan, karena menganggap memiliki klaim hak maritim di perairan lepas Kepulauan Natuna. Kapal Indonesia dan China beberapa kali mengalami gesekan di perairan di bagian selatan Laut China Selatan.
Pada tahun 2017, Indonesia mengganti nama wilayah Laut Natuna Utara, memicu protes dari China, yang menyatakan bahwa itu adalah daerah penangkapan ikan tradisionalnya. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, menolak mengomentari hal itu dan mengatakan bahwa catatan diplomatik bersifat rahasia. (net/kpc/cnn/smr)
sumber: kompas.com/cnnindonesia.com di WAGroup ANIES FOR PRESIDEN 2024 (postSabtu4/12/2021/adnanalham)