Maraknya kasus kekerasan terhadap anak di lembaga pendidikan yang terintegrasi dengan asrama, khususnya di pesantren sudah sangat mengkhawatirkan. Untuk itu, diperlukan aksi nyata melalui sinergi dan kolaborasi seluruh pihak dalam menerapkan sistem perlindungan anak yang terpadu dan pengasuhan ramah anak di satuan pendidikan berasrama tersebut, termasuk pesantren, madrasah, sekolah Khatolik, sekolah Kristen, dan sekolah lainnya.
semarak.co-Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Agustina Erni mengungkapkan penerapan disiplin positif dalam sistem pendidikan yang sudah dilakukan di beberapa sekolah, sangatlah tepat untuk direplikasi dan dicontoh lembaga pendidikan lainnya.
Pada sistem ini, anak diberi kesempatan untuk bersuara dan didengarkan oleh pendidik atau guru. Hal ini sesuai dengan konvensi hak anak yang mengatur pentingnya memenuhi hak anak untuk berpartisipasi.
“Semua lembaga pendidikan harus memberikan kesempatan bagi anak untuk bersuara, guru harus bisa memahami suara anak,” ujar Erni dalam acara Penandatanganan Pernyataan Bersama Peningkatan Pengasuhan Ramah Anak di Satuan Pendidikan Berasrama dalam Rangka Pencegahan Kekerasan terhadap Anak antara Menteri PPPA Bintang Puspayoga dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, kemudian dilanjut Webinar Pengasuhan Ramah Anak di Lembaga Pendidikan Berasrama secara virtual melalui zoom meeting dan kanal Youtube KemenPPPA48, Senin (13/12/2021).
Hadirnya guru pendamping yang memahami kondisi anak dan bisa berkomunikasi baik dengan anak, lanjut Erni, juga sangat penting di satuan pendidikan. “Para guru harus memiliki kualifikasi khusus dan harus bisa memahami kondisi anak, serta memahami suara anak,” tegas Erni.
Berbagai kebijakan dan regulasi telah dibentuk pemerintah. Hal ini merupakan wujud hadirnya negara sebagai komitmen dalam melindungi dan memenuhi hak anak. Mengacu pada kebijakan tersebut, perlu dibuat pedoman teknis untuk dilaksanakan dalam satuan pendidikan.
“Pedoman teknis ini sangat penting dan akan kita perbanyak. Tidak hanya Pemerintah, peran organisasi masyarakat, perguruan tinggi, media massa, dan masyarakat luas juga begitu penting. Jika kita berkolaborasi dan berjejaring hingga ke daerah maka akan menjadi kekuatan besar, dengan begitu bersama kita bisa melindungi anak-anak,” ungkapnya.
Saat ini, kata dia, Kementerian PPPA sedang menyusun Pedoman Pesantren Ramah Anak, untuk kemudian disebarluaskan dan diakses masyarakat guna menghadirkan pondok pesantren yang ramah anak. “Upaya ini harus terus dilakukan dan diharapkan menjadi langkah awal kita untuk terus berkoordinasi dan bersinergi dengan meningkatkan kompetensi masing-masing,” ujar Erni.
Erni menambahkan peran masyarakat melalui Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) juga sangat penting untuk digerakan, sehingga seluruh pihak dapat bersama-sama melindungi anak sebagai generasi penerus bangsa yang sangat berharga, sehingga anak terlindungi, Indonesia Maju.
Pada kesempatan yang sama, Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan dan Lingkungan, Rohika Kurniadi Sari menuturkan Kementerian PPPA mendukung upaya pemberian hukuman dengan efek jera bagi pelaku kekerasan, melalui publikasi identitas pelaku di media massa.
Hal ini merupakan wujud upaya Kementerian PPPA dalam mendorong perubahan ketiga atas Undang-Undang Perlindungan Anak. Upaya menghadirkan sistem pendidikan perlindungan terpadu dan pengasuhan ramah anak di satuan pendidikan berasrama, menjadi pekerjaan rumah bersama seluruh pihak, melalui sinergi dan kolaborasi.
Karena itu, pentingnya keterlibatan seluruh pihak, seperti forum anak yang berperan penting dalam menyadarkan sesama anak di sekitarnya, hingga pendekatan wilayah melalui hadirnya Kota/Kabupaten Layak Anak dan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak yang sangat penting dalam mencegah kekerasan pada anak di daerah baik provinsi, kabupaten/ kota, hingga desa.
Sementara itu, Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan, Abdul Ghaffar Rozin atau Gus Rozin menuturkan banyaknya kasus kekerasan terhadap anak di lembaga pendidikan keasramaan, menjadi persoalan masa depan bangsa.
Menurut Gus Rozin kekerasan terjadi karena proses pengasuhan dan pendidikan tidak diimbangi dengan pemahaman pengasuh ponpes terkait isu ramah anak. Menindaklanjuti hal ini, pihaknya telah membuat wadah komunikasi bagi lebih dari 24 ribu pesantren di seluruh Indonesia.
Dari proses tersebut, diketahui adanya kesenjangan pemahaman di antara para pendidik dan pengasuh di pesantren. Beberapa sudah sangat paham terkait pengasuhan disiplin positif dan ramah anak, serta penanganan kekerasan, namun banyak pendidik yang belum paham.
Gus Rozin juga menyampaikan langkah menutup pesantren bukan satu-satunya solusi, melainkan lebih tepat jika mengganti pengasuh dan pendidiknya, serta adanya sistem blacklist secara nasional sebagai tanda khusus bagi predator seksual, agar mereka tidak dapat kembali beraktivitas secara sosial kegamaan dan mengulangi kejahatannya.
“Saya sepakat jika pendidik ataupun pengasuh di lembaga pendidikan anak harus memiliki kualifikasi khusus dan pemahaman tentang disiplin positif, pengasuhan ramah anak, serta kesadaran untuk menangani kekerasan seksual dan bullying,” ujarnya.
Isu pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan keasramaan merupakan isu bersama mengingat banyaknya jumlah lembaga pendidikan keasramaan khususnya pesantren di Indonesia. “Saya berharap upaya ini bukan hanya respon sesaat, tapi juga respon jangka panjang yang melibatkan semua pihak dengan pendekatan komprehensif,” terang Gus Rozin.
Deputi Program, Dampak dan Kebijakan Yayasan Sayangi Tunas Cilik (Save the Children) Tata Sudrajat mengungkapkan lembaga pendidikan berasrama memiliki tanggung jawab dan peran pengasuhan kepada anak-anak di lembaganya. Mereka menjadi orangtua pengganti sementara sepanjang anak ditempatkan di lembaga itu.
“Kekerasan pada anak dengan segala bentuknya di lembaga pendidikan tidak bisa ditolerir. Tidak ada lembaga yang steril dari kekerasan terhadap anak, sehingga indikator zero kasus lembaga pendidikan harus diganti dengan setiap kasus ditangani secara profesional dan proporsional, bukan ditutupi atau dijustifikasi,” ungkapnya.
Anak korban kekerasan, pinta dia, harus mendapatkan layanan perawatan dan dukungan psikososial yang layak, jika mereka tidak direhab dengan baik maka akan menjadi pemangsa bagi anak lain.
Tata juga menegaskan informasi kekerasan bukan untuk konsumsi publik, karena korban harus dilindungi, dijaga kerahasiaan dan privasinya. Tetapi, tidak berarti pelaku dibiarkan bebas. Pelaku harus dihukum setimpal.
“Kekerasan pada anak jangan diatasi dengan cara perdamaian karena pelaku menjadi bebas dan memangsa anak-anak lain. Ini yang menyebabkan kekerasan pada anak terus terjadi,” tegas Tata masih dirilis humas Kementerian PPPA melalui pesan elektronik redaksi semarak.co, Senin petang (13/12/2021).
Komisioner KPAI Bidang Pengasuhan Rita Pranawati menjelaskan pentingnya mengajarkan dan menerapkan budaya kritis namun tetap sopan dan santun pada anak. Hal ini dapat menjadi bentuk resiliensi anak agar terhindar dari segala bentuk kekerasan.
Rita juga menekankan pentingnya orangtua membangun kelekatan dengan anak, khususnya saat menjalani pendidikan di pesantren atau lembaga pendidikan keasramaan lainnya, seperti tetap mengunjungi anak dan menjalin komunikasi dengan anak untuk memantau kondisinya karena sejatinya anak hanya dititipkan di lembaga pendidikan itu.
Hadir pula para pengurus dan pendidik lembaga pendidikan keasramaan di antaranya yaitu Pengurus Pesantren Al Awal Rembang, Nawal Arafah Yasin yang menjelaskan bahwa pihaknya telah menerapkan sistem pendidikan dengan pengasuhan disiplin positif.
Dimana turut melibatkan para santri dalam menentukan sanksi yang tepat dan baik untuk membangun mereka ke arah yang lebih positif. “Kami sudah menerapkan pengasuhan positif melalui kampanye Pesantren Ramah Anak, serta melatih beberapa fasilitator dan melaksanakan workshop terkait disiplin positif,” imbuh Nawal.
Membuat modul disiplin positif pesantren bersama UNICEF dan Yayasan SETARA, sambung dia, melaksanakan pemilihan agen perubahan pesantren dalam mencegah bullying dan memberikan pendampingan kepada korban bullying. Pada intinya, kami berusaha menyebarluaskan disiplin positif untuk pesantren-pesantren yang saling mengajarkan kasih sayang pada sesama,” terang Nawal.
Pendidik lembaga pendidikan keasramaan yang hadir lainnya, yaitu Pengurus Asrama Putri Van Lith Muntilan, Christi Siti yang menyampaikan, lembaga pendidikannya telah menerapkan sistem pendidikan dengan peraturan berdasarkan poin, untuk menentukan anak bisa lulus dengan baik atau tidak.
“Selain itu, tentunya dengan pola asuh yang menerapkan pendampingan religius secara katolik berdasarkan kurikulum pengembangan karakter baik pada anak,” tutup Siti dalam rilis yang sama.
Menteri PPPA Bintang Puspayoga menegaskan, pemerintah tidak tinggal diam dengan meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di lembaga pendidikan berasrama berbasis agama.
Kementerian PPPA bersama Kementerian Agama membuat sebuah penguatan melalui Penandatanganan Komitmen Bersama Peningkatan Pengasuhan Ramah Anak di Satuan Pendidikan Berasrama, demi melindungi anak dari kekerasan dan mewujudkan pengasuhan berbasis hak anak, termasuk di lembaga pendidikan berasrama berbasis agama.
“Sebagai generasi penerus bangsa, anak tentunya perlu mendapatkan perlindungan yang utuh dan menyeluruh. Hal ini juga merupakan bagian dari mengimplementasikan syariat agama dalam mewujudkan kemaslahatan untuk umat serta masyarakat, bangsa dan negara,” ujar Menteri Bintang.
Penghapusan kekerasan tentunya sejalan beriringan dengan misi agama, kata Menteri Bintang, yakni menghadirkan kedamaian, cinta kasih, dan membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan.
Terkait dengan banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan berasrama berbasis agama akhir-akhir ini, Menteri Bintang menuturkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah termasuk Aparat Penegak Hukum telah melakukan berbagai langkah cepat untuk memastikan penuntutan hukum yang sepadan dengan memaksimalkan hukuman pada pelaku.
Kementerian Agama, dalam hal ini juga telah mengambil langkah tegas dengan mencabut ijin lembaga pendidikan berasrama yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak dan menyusun Pedoman Lembaga Pendidikan Berasrama yang Ramah Anak.
“Pendidikan berasrama berbasis agama menjadi alternatif pendidikan yang banyak diminati masyarakat, oleh sebab itu harus diimbangi dengan perubahan paradigma di dalamnya dengan penerapan pengasuhan positif berbasis hak anak,” ujarnya.
Penerapan pengasuhan positif berbasis hak anak lebih menekankan pada komunikasi efektif dengan siswa dan tidak menggunakan pendekatan kekerasan dalam mendisiplinkan anak-anak.
Melalui pengasuhan ini, diharapkan orang dewasa sebagai gatekeeper, baik orang tua/wali, guru/pendidik, pengasuh lembaga, otoritas agama, dan bahkan pejabat pemerintah, memiliki kapasitas untuk melindungi anak.
“Pada kesempatan ini, Saya ingin mengajak kita semua untuk bersama-sama membangun sinergi yang kuat dan menatap satu tujuan bersama, yaitu dunia yang ramah dan aman bagi anak-anak,” ungkap Menteri Bintang.
Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kemenag Prof. H. Moh. Isom Yusqi mendukung langkah dan upaya perkuat komitmen bersama melaui Penandatanganan Komitmen Bersama Peningkatan Pengasuhan Ramah Anak di Satuan Pendidikan Berasrama, demi melindungi anak dari kekerasan dan mewujudkan pengasuhan berbasis hak anak, termasuk di lembaga pendidikan berasrama berbasis agama.
“Sering kita sampaikan kalau norma-norma secara umum yang secara umum itu bisa kita sepakati bersama untuk menjaga tidak terjadi pelecehan seksual maupun non-seksual di lembaga pendidikan yang berasrama,” papar Prof Isom.
Hal ini juga dilakukan untuk memberikan rasa aman dan nyaman sehingga tidak hanya keagamaan saja yang non keagamaan di perguruan tinggi juga sudah ada norma-normanya. Aturan itu bisa menaungi semua sekaligus memperbaiki dan memberikan pencerahan kepada semua untuk menjadi manusia manusia yang beradab sehingga Indonesia menjadi bangsa yang punya peradaban yang maju baik secara teknologi, sosial, dan budaya,” ujar Prof. Isom.
Saat ini banyak pemberitaan terkait dengan kekerasan terhadap anak di satuan pendidikan yang terintegrasi dengan asrama, khususnya di pesantren. Berbagai kasus kekerasan yang terjadi, baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini, dinilai sangat mengkhawatirkan.
“Padahal, semua satuan pendidikan, termasuk dengan model berasrama, harus menjadi tempat yang ramah dan aman bagi siswa siswinya untuk menimba ilmu. Semua anak ingin meraih pendidikan terbaik, oleh karenanya harus didukung dan diwujudkan bersama melalui implementasi sistem perlindungan anak yang terpadu di satuan pendidikan berasrama, termasuk pondok pesantren/madrasah/sekolah katolik/sekolah kristen, dan sekolah dari agama lainnya,” ujar Prof. Isom. (smr)