Oleh Hamid Awaludin *)
semarak.co-DEBAT cawapres pada 21 Januari 2024 malam, sontak mengingatkan saya pada kejadian tanggal 23 November 2022 di Qatar. Ketika itu, pada putaran dan pertandingan awal dalam kejuaraan sepak bola dunia, memperhadapkan kesebelasan Saudi Arabia dan Argentina.
Tak ada yang menyangka, Argentina dikalahkan Saudi Arabia dengan skor 2-1. Dunia geger, para penonton dan pemirsa televisi geleng-geleng kepala. Kok Argentina yang memiliki maha bintang, Lionel Messi bisa dipecundangi kesebelasan yang tak pernah menorehkan prestasi tingkat dunia?
Usai pertandingan, para pendukung Saudi Arabia meloncat kegirangan. Berteriak penuh olok kepada Messi. Seorang pendukung Saudi Arabia terkena kamera televisi. Ia membungkukkan badan, kepalanya dimiringkan ke kanan dan ke kiri, lalu ke bawah.
Tangannya ditaruh di pelipis seolah mencari sesuatu. Ia berkata, saya sedang mencari Messi, tetapi ia tidak ada. Ia sudah habis. Messi finishes, katanya. Dengan sabar, tim Argentina menerima kenyataan itu. Messi, sebagai bintang dan kapten tim, fokus pada pertandingan berikutnya.
Kesabaran, keuletan dan evaluasi dilakukan sehingga terjadi rekonsiliasi diri. Dalam debat cawapres hari Minggu malam itu, sebagai calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, meniru persis gaya pendukung Saudi Arabia yang mencari Messi itu.
Membungkukkan badan, menggoyang kepala ke kiri dan ke kanan, sembari menaruh telapak tangan di kening, mencari jawaban cawapres nomor tiga Mahfud MD, lawan debatnya. Gibran mengolok Mahfud, seolah tak mampu menjawab pertanyannya.
Gibran memang hebat, seorang pelajar yang mudah sekali menyerap ilmu dari orang lain. Dalam perjalanan, kesabaran, keuletan dan tekad yang membara, Messi memimpin kawan-kawannya menggilas semua lawannya. Tak ada yang tersisa. Argentina akhirnya keluar sebagai pemenang.
Argentina jadi juara dunia sepak bola yang ketiga kalinya. Messi dikukuhkan sebagai pemain terbaik, sekaligus jadi sang legenda. Para pendukung Saudi Arabia, yang menghina dan mengolok Argentina, terbungkam luar biasa. Penuh sesal.
Sebagai tim, Saudi Arabia tidak melangkah lebih jauh, sebab ia keok di putaran berikutnya. Saya pun membangun imajinasi liar. Peradaban Gibran dalam debat publik tersebut, pas dengan peribahasa kuno: “Siapa yang menabur angin, dia akan menuai badai.”
Dengan gerakan badan yang defisit akhlak dan substansi tersebut, Gibran merontokkan dirinya sendiri. Persepsi publik langsung anjlok terhadap dirinya. Padahal, dalam debat cawapres sebelumnya, Gibran sudah menunjukkan kelasnya.
Siapa yang bisa menjamin, keinginan Gibran untuk menohok lawan-lawan debatnya itu dengan cara yang tidak etis akan memenangkan dirinya kelak? Justru mungkin terjadi, perangai dalam debat tersebut, membuat lawannya memenangkan pertandingan dan jadi juara. Faktanya jelas.
Argentina, terutama Messi, dihinakan dengan bahasa badan dari pendukung Saudi Arabia, justru memimpin Argentina menjadi juara dunia. Para penghinanya, justru menghinakan diri mereka. Kemenangan Saudi Arabia atas Argentina, tertutup seketika, ditimbun oleh debu gurun sahara Qatar.
Jejak Gibran pupus di saat itu, ditimbun oleh rasa superior. Akhlakul karimah memang harus diutamakan dalam kehidupan. Dalam perdebatan capres dan cawapres, diperkirakan ditonton sekitar 80 juta orang.
Inilah cara kampanye yang paling efekltif dan murah, dibanding kampanye-kampanye konvensional: bertemu dengan massa. Lalu, kita sebagai rakyat, sungguh-sungguh mendambakan perdebatan berkualitas dari para calon pemimpin, yang menggunakan media televisi.
Kami butuh kesungguhan dan kejernihan pikiran dari para peserta debat. Apa paradigma, visi dan misi serta rencana aksi Anda semua bila terpilih kelak? Kami tidak butuh atraksi fisik di atas panggung. Kami bisa menonton atraksi fisik panggung yang jauh lebih bermutu daripada atraksi fisik dalam debat cawapres.
Ikhwal pengaruh debat di televisi atas keterpilihan dan ketidakterpilihan seseorang, terutama di Amerika Serikat, memang sungguh luar biasa. Pada 1960, untuk kali awal di dunia ini, dilakukan debat televisi calon presiden Amerika Serikat: antara Richard Nixon berhadapan John F. Kennedy.
Ketika itu, Nixon mengenakan jas berwarna abu-abu, sementara Kennedy mengenakan jas warna hitam pekat. Penonton melihat bahwa secara fisik, Kennedy kelihatan lebih elegan dan berwibawa dibanding Nixon yang mengenakan pakaian berwarna pucat.
Singkatnya, warna pakaian yang dipakai dalam berdebat pun, ikut menentukan persepsi penonton terhadap calon. Tatkala Michael Dukakis berhadapan dengan George Walker Bush dalam debat presiden di awal 1990-an, Dukakis bertanya ke Bush dengan niat menjatuhkan Bush.
“Bagaimana mungkin Anda mau berbicara tentang pengentasan kemiskinan di Amerika Serikat, sementara Anda tidak pernah merasakan kehidupan orang miskin. Anda kan adalah keturunan orang kaya,” kata Dukakis.
Dengan enteng Bush menjawab: “Untuk merasakan derita dan nestapa orang yang mengidap penyakit kanker, Anda tidak perlu ikut-ikut mengidap penyakit kanker,” tegas Bush.
Jawaban singkat yang logis tersebut, membuat pemirsa dan pemilih Amerika Serikat, menjatuhkan pilihan kepada Bush. Bukan ke Dukakis. Pada 2014, terjadi perdebatan cawapres antara Hatta Rajasa yang berpasangan dengan Prabowo Subianto, berhadapan dengan Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Jokowi.
Hatta Rajasa bertanya ke Jokowi dengan nada pertanyaan yang pedas dan menohok: “Anda kan dua periode jadi Wali Kota Solo, tetapi Anda tidak pernah menerima penghargaan Kalpataru. Apa prestasi Anda kalau begitu?” tegas Hatta. Mendengar itu, Jusuf Kalla meminta Jokowi agar dirinyalah yang menjawab pertanyaan itu.
Jusuf Kalla pun langsung menjawab: “Penghargaan Kalpataru itu ditujukan untuk individu yang berjasa di bidang lingkungan. Mungkin yang dimaksudkan Pak Hatta adalah penghargaan Adipura, yang khusus diperuntukkan pada kota yang sukses. Karena pertanyaannya salah, maka saya pun tidak perlu menjawabnya.”
Jelas dengan logika yang tepat, penonton televisi memberi penilaian bahwa Jusuf Kalla memang cerdas, cekatan dan detail. Cocok memimpin bangsa. The power of logic, not the power of attraction. Kami butuh kemampuan menjelaskan dengan logika, bukan dengan aksi panggung yang minus akhlak.
Dalam catatan saya, Gibran juga mengarahkan tohokannya pada cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar dengan cara menyebut nama Tom Lembong beberapa kali, yang memang masuk dalam tim pemenangan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Cara menyebut nama Tom Lembong lalu dikaitkan dengan Muhaimin, jelas kental dengan motif sinisme. Yang pasti, seingat saya, Tom Lembong itu, untuk beberapa tahun lamanya, aktif memberi masukan dan malah, katanya, ikut menulis presentase serta pidato-pidato Presiden Jokowi, ayah Gibran. Nah, gimana yang ini?
*) Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia
sumber: kompas.com – 22/01/2024, 14:55 WIB di WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO (postSenin22/1/2024/aleksono)