Bukan Suku Tionghoa, Orang Cina yang Dukung Anies Sandi

Tokoh masyarakat KSMTI Jusuf Hamka mengimbau atas keinginan politisi dan tokoh masyarat Tionghoa Lieus Sungkharisma yang kembali minta dipanggil sebutan Cina. Pengusaha keturunan Tionghoa muslim ini mengaku, dirinya bersama teman-teman yang pada waktu Kerusuhan Mei 98, sebagai deklarator atas panggilan Suku Tionghoa, pada Juni 1998 di Departemen Penerangan bersama-sama Akwet, Lieus Sungkharisma, Verawati Fajrin.

Saya agak terkejut dan kaget atas keputusan Lieus itu. Namun setelah mengetahui alasan Lieus, saya dapat mengerti dan memahaminya, kutip Bambang Sungkono, temannya Jusuf Hamka membacakan pesan elektronik yang diterimanya saat ditemui www.semarak.co di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, Sabtu (8/4).

Bambang kembali mengutip, Jusuf adalah warga Tionghoa yang waktu Kerusuhan Mei 98, sebagai orang Cina Muslim pertama berani mendirikan Partai Politik bernama PARPINDO (partai pembauran Indonesia). Kemudian diikuti Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) oleh Lieus, Partai Bhineka Tunggal Ika (Nurdin Purnomo). Setelah pendirian Partai Parpindo, saya bahu membahu dengan teman-teman termasuk Lieus meminta penguasa baru untuk menghapus diskriminasi terhadap teman-teman warga Cina, termasuk panggilan dengan kata Cina. Pasalnya menurut para sesepuh Cina Indonesia, kata Cina mengandung konotasi penghinaan, kutip Bambang, mantan pembalap motor dan pendiri Partai Padi.

Maka, lanjut Jusuf, untuk mengakomodir para pinisepuh Cina, Jusuf Hamka mengambil inisiatif untuk bertemu Pemerintah Orde Reformasi dan menelpon sahabatnya Yunus Yosfiah, yang waktu itu menjadi Menteri Penerangan untuk audiensi dalam rangka merubah sebutan kata Cina menjadi Tionghoa. Dan Jenderal Yunus Yosfiah langsung menjadwalkan keesokan harinya. Kemudian saya mengajak Lieus, Akwet, Verawati, dan Nurdin untuk menemani dalam permintaan kepada Pemerintah Orde Reformasi yang saat itu diwakili Jendral Yunus Yosfiah sebagai Menteri yang juga membidangi informasi, terangnya.

Singkat kata, masih Jusuf, karena persahabatannya dengan Yosfiah sudah puluhan tahun sehingga Yosfiah saat itu juga menerima permintaan Jusuf untuk sejak hari itu, Juni 1998, menyetujui untuk teman-teman Cina dipanggil Suku Tionghoa. Bahkan Jendral Yosfiah langsung memanggil para wartawan dan menyampaikan sebagai berikut, “Bahwa pemerintah tidak keberatan dan untuk itu meminta seluruh teman-teman media mulai saat itu juga memanggil teman-teman Cina menjadi Suku Tionghoa, ulas Jusuf yang juga pengusaha di bidang jalan tol.

Saat ini, tulis Jusuf, rupanya orang-orang yang tidak sealiran dengan Ahok, tidak diperkenankan menyebut dirinya orang Tionghoa dan ada keharusan khusus untuk orang yang mengaku dirinya orang Tionghoa harus mendukung Ahok. Maka orang yang tidak dukung Ahok, tidak boleh sebut dirinya orang Tionghoa, kecam Jusuf, seperti ditirukan Bambang, pengusaha otomotif.

Maka, kata Bambang, tidak ada jalan lain bagi dirinya dan teman-teman terpaksa harus menyebut dirinya orang Cina lagi. Menurut saya ada baiknya juga ini. Mengingat zaman order lama orang Tionghoa sudah jelas terbagi dua golongan kanan dan kiri. Tentu mereka harus menerima risiko masing-masing akibat peristiwa PRRI, Permesta, dan G-30S, ujar Bambang.

Seperti diberitakan, pernyataan Sikap Majelis Adat Budaya Tionghoa Indonesia yang mengatasnamakan masyarakat Tionghoa Indonesia, mendapat reaksi serius dari Lieus Sungkharisma. Apalagi pernyataan sikap yang ditandatangani Harso Utomo Suwito dan Chandra Kirana itu menuduh Lieus mencatut dan mendompleng nama Tionghoa untuk kepentingan pribadinya, terutama dalam setiap demo anti Ahok.

Atas adanya pernyataan sikap itu, Lieus mengatakan, meski dirinya sama sekali tak menganggap majelis adat budaya Tionghoa itu ada, namun pernyataan itu telah menyadarkannya betapa penyebutan Tionghoa saat ini telah disalahgunakan untuk kepentingan politik golongan tertentu. Apalagi lembaga majelis adat itu muncul hanya untuk mendukung Ahok agar jadi gubernur Jakarta, katanya.

Ditambahkan Lieus, pernyataan sikap semacam itu semakin menguatkan pandangannya selama ini bahwa penyebutan Tionghoa itu memang hanya untuk kamuflase belaka. Penggunaan nama Tionghoa telah digunakan untuk tujuan yang licik, tegasnya.

Karena itulah, ujar Lieus lagi, sejak hari ini ia tidak mau lagi disebut Tionghoa. Mulai hari ini panggil saya Cina. Lieus Sungkharisma adalah Cina. Saya tak cocok lagi menggunakan kata Tionghoa yang dulu ikut saya perjuangan penggunaannya, kata Lieus.

Pernyataan tegas Lieus untuk tak mau lagi disebut Tionghoa tampaknya berkaitan erat dengan situasi politik yang berkembang saat ini. Terutama sejak Ahok menggantikan Jokowi sebagai gubernur Jakarta. Penggunaan nama Tionghoa telah disalahgunakan segelintir orang untuk kepentingan politik dan ekonominya. Jadi penyebutan Tionghoa saat ini hanya untuk kamuflase saja. Pada kenyataannya orang Tionghoa itu pengkhianat, licik dan tak pandai berterima kasih. Ahok itu contohnya, kata Lieus.

Memang bukan tanpa alasan jika Lieus mengatakan sifat licik dan pengkhianatan Tionghoa itu. Dulu, kata Lieus, atas nama Tionghoa yang minoritas Ahok naik menjadi wakil gubernur Jakarta karena didukung Partai Gerindra. Tapi setelah ia terpilih dan menjabat, Partai Gerindra justru dikhianatinya.

Demikian juga dengan relawan Teman Ahok yang dibentuknya. Setelah anak-anak itu berjibaku dan bahkan menerima cacimaki dari banyak orang, Ahok justru meninggalkannya. Ini hanya dua bukti kecil dari sifat pengkhianatan Tionghoa yang identik dengan Ahok dan pendukungnya itu, jelas Lieus.

Penyebutan Tionghoa yang cuma untuk kamuflase itu, juga diungkapkan Lieus melalui sejumlah peristiwa yang terjadi selama Ahok menjabat gubernur Jakarta. Bukannya berterima kasih pada para pembantunya di jajaran Pemprov DKI, dalam hampir setiap rapat Ahok justru marah-marah dan memaki-maki mereka. Ia juga licik dengan selalu menjadikan anak buahnya tumbal untuk setiap persoalan yang terjadi di Jakarta, kata Lieus.

Karena itulah Lieus berketetapan hati untuk tidak mau lagi disebut sebagai Tionghoa. Saya Cina. Panggil saja saya Lieus si Cina. Sebab pada kenyataannya sebutan Cina saat ini lebih terhormat dari penyebutan Tionghoa, tegasnya.

Dalam sejarah politik Indonesia sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi, sebagai orang Cina Lieus memang telah melakukan banyak hal dibanding orang-orang Tionghoa yang sekarang ini sok berkoar-koar tentang persatuan dan kebhinnekaan. Lieus sudah aktif di KNPI dan merupakan salah satu eksponen 6 OKP yang keras menentang rezim Orde Baru.

Saat Reformasi ia bahkan sempat ditahan karena membela warga Mangga Besar yang tanah dan rumahnya digusur secara sewenang-wenang. Pleidoinya untuk kasus itu, Memperjuangkan Hak Tanah Untuk Rakyat yang dibacakannya dalam sidang di Pengadilan Jakarta Barat, bahkan kemudian dibukukan. Tak hanya itu, ia juga aktif menggalang aksi demo terhadap setiap kali ada kasus ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa.

Atas aktivitas dan kiprahnya itulah sejumlah media kemudian menobatkannya sebagai tokoh Tionghoa. Dan Lieus tak menolak itu. Tapi kini, setelah menyadari penyebutan Tionghoa itu tak sesuai dengan harapannya, Lieus justru menolak disebut Tionghoa. Cukup sudah saya disebut Tionghoa. Saya tak mau lagi dikelompokkan pada orang Tionghoa yang licik, pengkhianat dan tak tau berterima kasih. Tionghoa saat ini sangat bertolak belakangan dengan Tionghoa yang saya perjuangkan dulu. Sekarang panggil saja saya Cina. Itu lebih terhormat buat saya, tutupnya. (repelita.com/lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *