Budaya Politik Kita

Grafis yang diidentikan sebagai ternak mulyono (Termul). Foto: internet

Oleh Hasbi Indra *)

Semarak.co – Budaya politik baru yang mungkin hanya ada di negeri di dunia ketiga yang cenderung terbelakang yang sepertinya memperkaya khazanah budaya yang tak seharusnya ada di bangsa yang berfalsafah Pancasila ini.

Bacaan Lainnya

Ada istilah yang muncul kini yakni istilah “termul” alias ternak Mulyono  yang dalam pandangan penulis mengarah menjadi budaya karena telah melibatkan tahta lalu, namun selayaknya bangsa ini mengarahkan dirinya  pada  istilah  “terbang” yakni ternak bangsa.

Kreatifitas bangsa ini tinggi di bidang politik selain buzzer hal itu pula yang menandai tumbuh sejalan dengan ditingkatkanya jumlah rakyat miskin yang massal. Setelah tahta lalu yang melakukannya dan kini masih fenomena, apakah akan sangat mewarnai suatu partai dan hal itu sedang disaksikan.

Fenomena termul adalah jalan pembiakan manusia malas, dan pembentukan mentalitas ketergantungan untuk jalan kehidupannya dan diri yang menjadi beban bangsa. Termul adalah sebuah ironi politik bangsa yang rasanya telah mementahkan misi pendidikan yang telah mengeluarkan ratusan trilyun untuk meraih tujuan pendidikan nasionalnya.

Berbagai sisi kehidupan di bangsa telah sampai pada tingkat budaya, seperti pendidikan, demokrasi dan konon budaya buruk seperti korupsi telah menjadi budaya, atau dengan kata lain hal yang dianggap sesuatu yang biasa dan sisi lain yakni termul juga menjadi hal yang biasa dan tidak malu berada di kolam itu.

Dalam tulisan ini budaya dikaitkan dengan termul yang juga sama dengan penyakit korupsi yang jumlahnya kini ribuan trilyun angka kumulatifnya dan layaknya tahta pembuat termul    harus  dianggap  telah melakukan kejahatan yang luar biasa.

Kejahatan luar biasa yang menyebabkan ada sejumlah anak bangsa yang mengalami mentalitas kemunduran yang memprihatinkan.  Itu karya manusia Indonesia dalam politik yang bermetamorpose menjadi budaya bangsa yang sedang membangun dirinya yang implikasinya sangat menghinakannya.

Termul bukan saja terkatagori manusia malas, penjilat tapi juga penyuka karuptor dan penyuka tahta machiavelli dan korup. Menciptakan termul yang bisa saja dari kucuran uang negara yang dikorup yang jumlahnya jumbo itu atau uang dari prilaku kejahatan lainnya untuk menutupi noda pribadi dan noda kebijakan politik tahta yang membebani bangsa saat ini.

Untuk menutupi bau busuk yang dirasakan meniscayakan mereka menghadirkan termul di bangsa yang berpancasila ini. Fenomena termul yang kini menjadi budaya yang menyertai budaya lainnya menjadi fenomena di bangsa ini yang kemudian berikutnya akan menjadi fenomenon?

Akan ditulis dalam lintasan sejarah politik bangsa sebagai gambaran  keburukan atau kejahatannya bukan budaya yang memulyakan yang patut dicatat.

“Ternak tuannya”

Tahta di suatu masa ada dalam citarasa ternak tuannya yang telah memberikan  pil pahit dalam perjalanan sebuah bangsa yang mengalami kemunduran. Berawal ada ternak tuannya yakni tahta yang kemudian menciptakan termul untuk kuasanya, tahta yang telah dicatat karena berbagai kebijakan yang penuh kontroversial dan kini malah menjadi beban bangsa.

Termul membudaya yang disinyalir telah mengalir di berbagai tempat, ada di kabinet, di parlemen dan di instrumens berbangsa dan bernegara seperti di partai tertentu dan juga di tengah rakyat yang lagi miskin dan menganggur massal kondisi yang memungkinkan munculnya banyak termul.

Tapi itu bukan alasan untuk menjadikannya budaya politik bangsa. Istilah termul yang kini sangat populer. Istilah yang menggambarkan manusia yang mengambil sikap Asal Bapak Senang (ABS) kepada tuannya atau mereka hidup dari Membela Bapak yang Membayar (ABM) yang jumlahnya semakin massal.

Manusia yang seperti itu bisa disiapkan oleh instrumens berbangsa dan bernegara untuk mengisinya guna menjadi termul bergenerasi di negeri ini yang hidupnya membebani bangsa. Mereka tak peduli apakah bangsa berburuk rupa, apakah rakyat semakin massal dalam kehidupan yang nestapa.

Yang penting darahnya terus mengalir dan mereka bagian yang nenikmati keironian yang terjadi di bangsa. Menjadikan hal itu sebagai budaya akan menodai perjalanan bangsa di mana ada tahta yang mengembangbiakkan dalam citarasanya.

Menjadikannya budaya akan menambah variabel hitam di bangsa ini dan langit bangsa akan terus semakin gelap.  Bangsa sangat mungkin akan menuju kegagalannya sebagai bangsa yang bermartabat.

#Blue print#

Itu bukan blue print pendidikan tapi bisa jadi tak disadari terjebak juga ke jalan itu, namun hal itu secara tersurat maupun tersirat telah menjadi blue print ekonomi, politik dan hukum kini. Manusia Indonesia kini dalam ekonomi di citarasa kapitalistik bukan lagi semu tapi sudah gamblang di dalam citarasa Max Weber itu.

Juga dibentuk citarasa  politik dan hukum yang machiavelli yang dipayungi pancasila. Citarasa yang dibentuk bukan di citarasa ekonomi politik-hukum pancasila. Citarasa “ekopohuk” itu yang mungkin masih   diutarakan dan berbunyi di ruang ibadah dan gedung penjaga Pancasila.

Adapun di Instrumens bangsa apakah itu di pemerintahan, di partai dan ormas tak lagi bicara tentang bagaimana ekonomi, politik hukum bercitarasa Pancasila karena lembaga itu cenderung banyak diam di dalam gedungnya  dan Pancasila hanya menempel menjadi visi dan misi yang usang.

Di bangsa kini ada lembaga negara dan instrumens lainnya telah diisi oleh mereka yang hanya bertujuan pragmatis hanya sebagai penjamin kehidupan dan bahkan demi ke kemewahannya. Pesan agama atau pesan Pancasila rupanya hanya ada dalam kitab suci dan buku pancasila.

Budaya termul ke depan akan semakin berkarat di mana jumlahnya akan semakin massal yang di dalam hati dan otaknya, itu jalan yang mudah untuk menjalani hidupnya. Jalan berdemokrasi disalahgunakan   hanya untuk menjadikan politik, hukum, dan ekonomi bercitarasa itu.

Budaya termul akan marak dan massal karena telah menyentuh berbagai instrumens yang ada seperti di KPK, KPU, dan MK, dan alat negara dari pusat hingga ke pelosok desa. Langit bangsa telah diwarnainya yang telah diketahui digerakkan oleh mereka yang menguasai kekayaan alam dan asset ekonomi.

Mereka yang berada di kolam itu sedang menikmati bangsanya yang hobi berhutang untuk pembangunan dan mereka juga menikmati hasilnya, dan mereka pula yang terus tega menikmati bangsa yang buruk rupa dan rakyat yang nestapa yang jumlahnya massal.

Termul yang berada dalam ruang gelap tanpa lentera dan pelita yang menerangi sekalipun ada akal dan nuraninya. Hal itu akan terus dirasakan generasi ke generasi berikut bila anak bangsa terus membiarkannya.

Rupanya pesan mulia dari nilai agama dan Pancasila yang kandungannya mendorong untuk menjadikan manusia yang seutuhnya bukan manusia termul yang mengabdi pada tahta dan tuan tanah dan air di negeri ini. Bangsa yang menjadikan dirinya berbudaya termul hanya menjadi bahan tetawan bangsa lain atas keironian yang ada.

“Karya tahta termul”

Catatan hitam untuk tahta termul yang lalu sedang dirasakan karyanya:

*Bangsa yang di tahta lalu telah masuk katagori terkorup di dunia hasil investigasi OCCRP.

*Bangsa yang tergambar ada manusia-manusia korup yang jumlahnya ribuan trilyun kumulatif;

*Bangsa yang tergambar kemiskinan dan pengangguran dalam ratusan juta;

*Bangsa yang berpolitik dan hukum tuna morals dan etika;

“Bangsa yang tengah ditandai oleh prilaku termul yang tidak produktif.

“Termul yang juga telah mewarnai partai tertentu wadah untuk regenerasinya yang diduga ada bungker uangnya.

Kondisi itu sebagai hasil tahta ternak tuannya sang pemilik kekayaan jumbo dan kaki tangannya di tahta, tengah menyusup di instrumen bangsa lainnya adalah sebenarnya musuh dalam selimut dan pengkhianat bangsa.

Itulah hasil mereka beternak tahta dan tahta beternak termul demi pelayanannya dan juga demi harta dan tahta pewarisnya yang dititipkannya.

“Pelanjut ternak”

Tahta bercorak itu adalah benalu dan kutu busuk bangsa yang tega menjadi pelayan tuannya demi harta dan tahta dan mereka sungguh tak berguna untuk rakyat. Kaum termul terus mengintip kapan waktunya meneruskan aksinya kembali.

Mereka bukan saja anak ideologis tahta termul yang berlanjut tapi juga anak biologis yang terus dipelihara. Anak biologisnya yang kelayakan pendidikannya sedang di soal yang mungkin sedang bingung untuk apa tahta diduduki, apakah hanya untuk penghias saja?

Dari anak biologis sudah ada aksinya, konon sudah terbit bukunya yang menggambarkan diri yang sangat layak di tahta puncak itu, diri yang layak menjadi panutan rakyat dan bahkan panutan ribuan profesor, jenderal dan agamawannya.

Diri yang bisa menundukkan mereka hanya dengan pamer membuat buku yang ditulis oleh termulnya, diri yang sering ke pasar, rajin turun menyapa rakyat dan satu ketika nanti membagi uang dan melemparnya ketika mobil berjalan.

Itulah mungkin citarasa bangsa besar ini yang merdeka dengan korban jutaan nyawa, lalu ada lembaga negara yang terhormat dan banyak anak bangsa terdidik tinggi di mana umumnya mereka dan umumnya rakyat.

Mereka sangat senang melihat populisme yang bercorak machiavelli yang malah dimunculkan dari dana rakyat dan di danai oleh oligarki sebagai tuannya dan dipandang sebagai langkah politik yang mengagumkan darinya dan sebagai bentuk prestasi dan kesuksesan besar dalam bekerjam.

Maka, perlu diberi tepuk tangan untuknya dan penghargaan di tahta puncak. Bangsa besar dan sudah banyak yang terdidik tinggi karenanya menjadi bangsa yang naif. Termul seperti menjadi profesi hidup bagi elitnya untuk menjaga kemewahan hidupnya dan bagi rakyat untuk terus terjaga kemiskinan dan kebodohannya.

Bangsa akhirnya tercitra hanyalah kumpulan manusia yang sedang sakit menikmati karya tahta termul  dan kaki tangannya yang menjadikan bangsa dalam budaya itu, bangsa sepertinya sedang sakit tengah menikmati  hasil dari berbagai INSTRUMENs  yang ada yang telah banyak menguras dana untuk menghidupinya.

Tahta termul sedang menitip warisanya di tahta yang seolah bekerja untuk rakyat tapi sepertinya hanya untuk dirinya ke depan, baiknya bila menjadi beban rakyat selayaknya segera diselesaikan. Menyelesaikannya secara konstitusional sangatlah diperlukan oleh bangsa ini, bila tidak bangsa akan terus meniti jalan yang mundur dan menuju ke kondisi yang tak diharapkan seperti terjadi di negara lain.

Bogor Oktober 2O25

 

Sumber: WAGroup PENGAWAL PERUBAHAN UNTUK NKRI (postRabu15/10/2025/)

Pos terkait