Pada musim kemarau masih terdapat potensi awan untuk dilaksanakan hujan buatan. Untuk mengejar waktu penyemaian awal diusulkan dibangun beberapa posko di beberapa titik strategis.
Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Tri Handoko Seto mengatakan, ketika musim kemarau, awan biasanya tumbuh secara sporadis, baik temporal maupun perlokasi. Untuk itu, lanjut dia, perlu disiagakan beberapa posko di titik-titik strategis untuk percepatan penyemaian awan.
“Pada musim kemarau umumnya masih ada awan meskipun tidak setiap hari dan merata di seluruh Indonesia. Namun bagi kami, kondisi tersebut tetap merupakan peluang untuk operasi TMC (teknologi modifikasi cuaca-red) agar dapat turunkan hujan untuk mengatasi masalah karhutla maupun kekeringan yang saat ini terjadi,” tegas Handoko di Jakarta, Sabtu (17/8/2019) seperti dirilis Humas diterima semarak.co.
Dengan memperhatikan sifat pertumbuhan awan di musim kemarau saat ini, lanjut Handoko, TMC harus disiagakan di beberapa titik dengan dukungan armada pesawat berdaya jangkau luas. Awan, lanjut dia, biasanya tumbuh akibat gangguan atmosfir berupa gelombang atmosfir.
Seperti, kutip dia, fenomena MJO (Madden-Julian Oscillation), Kelvin wave, dan lain-lain. “Jadi kurang tepat kita bicara bulan sekian sampai bulan sekian tidak ada awan, dan baru akan ada awan setalah bulan Oktober. Karena definisi musim kemarau menurut BMKG bukan berarti tidak ada hujan melainkan curah hujan di bawah 150 mm dalam sebulan,” tegasnya.
Tri Handoko Seto mencontohkan, penanganan di karhutla di Riau yang masih berjalan hingga saat ini. BBTMC BPPT membangun satu posko di Pekanbaru dengan dilengkapi pesawat CASA 212 yang memiliki daya jangkau hanya wilayah-wilayah di Provinsi Riau saja. “Memasuki minggu kedua Agustus pertumbuhan awan di Riau cukup baik,” ujarnya.
Data laporan TMC di Riau pada 13 hingga 16 Agustus 2019, mampu menjatuhkan air hujan hingga capai 47,7 juta M3. Sementara itu, untuk penanggulangan karhutla (kebakaran hutan dan lahan), kata Seto, perlu disiapkan satu posko di Sumatera dan satu posko di Kalimantan.
Sedangkan, untuk penanggulangan kekeringan, lanjut dia, perlu disiagakan satu posko utama di Halim Perdanakusuma dan posko tambahan di Jawa Timur serta Nusa Tenggara. Sedangkan, armada pesawat untuk keperluan TMC selama musim kemarau ini, lanjut dia, diperlukan sekelas CN-295 yang memiliki daya jangkau luas. “Pesawat sejenis ini akan sangat penting untuk bisa sewaktu-waktu memburu awan yang tumbuh,” ujarnya.
Khusus penanggulangan karhutla, Jon Arifian, peneliti madya BBTMC-BPPT mengatakan, strategi TMC tidak hanya difokuskan untuk pemadaman titik api, tapi juga untuk melokalosir hotspot dengan melakukan pembasahan lahan di sekitar titik api (dalam jangka radius tertentu).
“Strategi tersebut tidak hanya mencegah api menjalar, tapi juga untuk membersihkan kolom udara. Jika TMC hanya difokuskan untuk memadamkan titik api maka kondisi atmosfer di atas titik api akan cenderung stabil dan pertumbuhan awan menipis untuk dapat memadamkan api tersebut.
Hal ini, kerap menimbulkan salah presepsi tentang TMC. Pembasahan lahan (gambut-red) menjadikan peluang kebakaran menjadi lebih kecil dan hal itu dapat diperhitungkan dalam audit nantinya,” papar Jon Arifian
Memasuki akhir September, kata Jon, potensi awan TMC akan semakin meningkat sehingga diperlukan tambahan posko dan pesawat utk mengefektifkan pelaksanaan TMC guna menpercepat penyelesaian masalah karhutla dan kekeringan tahun ini.
Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan, langkah terbaik semestinya TMC dilaksanakan secara masif sejak awal tahun di semua wilayah yang diperkirakan akan terjadi kekeringan dan karhutla agar ketika memasuki musim kemarau semua waduk terisi penuh dan semua lahan gambut tergenang air.
Selain itu, Hammam Riza juga mengingatkan perlunya tambahan armada pesawat untuk pelaksanaan TMC di Indonesia agar bencana hidrometeorologi terutama kekeringan dan karhutla bisa diantisipasi lebih awal untuk strategi preventif. (hms/lin))