Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus berupaya mencari jalan untuk mengatasi defisit keuangannya. Yang terbaru, BPJS Kesehatan berencana melibatkan peserta mendanai biaya perawatan (cost sharing) untuk penyakit yang butuh perawatan medis lama dan berbiaya tinggi (katastropik)
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, pembiayaan perawatan penyakit katastropik selama ini cukup menguras kantong BPJS Kesehatan. Setidaknya ada delapan penyakit katastropik yang akan dipilih untuk dibiayai dengan skema cost sharing. Yakni, jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hepatitis, thalasemia, leukimia dan hemofilia.
Untuk penyakit jantung misalnya, sepanjang Januari-September 2017 saja ada 7,08 juta kasus dengan total klaim mencapai Rp 6,51 triliun. Pada tahun 2016, ada 6,52 juta kasus dengan total biaya Rp 7,48 triliun. Bahkan sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini, ada 10,80 juta kasus dari delapan penyakit katastropik yang menguras biaya BPJS Kesehatan sebesar Rp 12,29 triliun.
“Jumlah itu setara dengan 19,68% dari total biaya pelayanan kesehatan yang BPJS Kesehatan hingga September 2017. Cost sharing ini harus kami sampaikan supaya masyarakat tidak kaget,” kata Fahmi, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (23/11).
Meski begitu, Fahmi masih belum merinci porsi pendanaan perawatan (cost sharing) yang akan dibebankan kepada peserta BPJS Kesehatan. Pasalnya, hingga kini BPJS Kesehatan masih menghitung rincian beban yang akan dibagi bersama peserta jaminan kesehatan nasional (JKN).
Yang pasti, kata Fahmi, cost sharing ini tidak akan berlaku bagi seluruh peserta BPJS Kesehatan. Cost sharing hanya akan berlaku bagi peserta JKN dari golongan mampu atau peserta mandiri. Per 1 November 2017 total peserta JKN 183,57 juta orang. Hingga akhir 2017 diperkirakan peserta BPJS 183,13 juta orang.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay meminta BPJS Kesehatan membuat simulasi terkait dampak kebijakan tersebut terhadap defisit BPJS Kesehatan. Masalahnya, jika berbagi beban, mestinya bebas antrean dan tak menjadi program wajib.“Kami di DPR meminta agar jangan seluruh biaya perawatan (katastropik) dibayar BPJS semua,” ujar Daulay.
Lain hal Daulay mengatakan, DPR menunggu penjelasan dari BPJS Kesehatan, terkait ada 164 RS yang klaim biaya perawatan pasiennya belum dibayar BPJS. “Ada 164 RS yang kayanya mau menuntut pembayaran, itu belum dijawab BPJS,” katanya, Jumat (24/11).
Dalam waktu dekat Komisi IX akan menjadwalkan ulang rapat dengan pihak BPJS. Pihaknya sengaja memberikan waktu kepada Direksi BPJS untuk menjelaskan kenapa itu bisa terjadi, hal itu agar jawaban yang diberikan BPJS bisa memuaskan. “Pokoknya dalam masa sidang ini harus ada jawaban. Jangan-jangan uangnya memang gak ada,” ucapnya.
Selain itu pula, ada beberapa hal lagi yang dipertanyakan dewan terhadap kinerja BPJS. Terkait masih ada BUMN yang tidak ingin mendaftar BPJS, padahal UU nya sudah jelas, bahwa pekerja di BUMN harus terdaftar sebagai anggota BPJS. BPJS Kesehatan belum memutuskan pembagian beban biaya pengobatan penyakit berat kepada pasien. Pihak DPR Komisi IX kata Saleh juga masih mempelajari skema tersebut. “Masih usulan BPJS Kesehatan. Komisi IX masih membutuhkan waktu untuk mempelajarinya,” ungkapnya.
Politisi PAN itu ingin BPJS Kesehatan membuat sebuah simulasi pembiayaan baru untuk penyakit yang berat. Tujuannya agar BPJS tidak defisit anggaran untuk pengobatan. Simulasi itu sangat diperlukan untuk melihat dampaknya, baik secara sosial maupun financial.
Saleh menambahkan jika BPJS Kesehatan langsung memutuskan tidak ingin mengobati penyakit berat, hal itu berdampak terhadap protes masyarakat. “Mungkin perlu sosialisasi untuk meyakinkan masyarakat. Selain itu, kita juga perlu mengetahui apakah kebijakan itu benar-benar dapat menutupi defisit BPJS Kesehatan,” paparnya. (tbc/ipo/lin)