Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Asosiasi BP PTS) menggelar seminar nasional bertajuk Strategi Perencanaan Pajak PTS Menyongsong Era Baru Perpajakan untuk kali pertama, di Hotel Borobudur, kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Kamis (30/11). Seminar ini sekaligus mengakomodir keberatan sejumlah anggota Asosiasi BP PTS atas pemberlakuan sanksi denda pada dana sisa lebih dari hasil usaha.
Seperti diketahui, pemberlakuan Tax Amnesty tahun 2008, ada peraturan perpajakan yang khusus bagi penyelenggara BP PTS. Salah satunya peraturan yang menyatakan bahwa sisa lebih dari hasil usaha bisa diendapkan paling lama dalam empat tahun. Kalau tidak digunakan untuk investasi dalam empat tahun atau lebih dari, maka akan dikenakan pajak.
Direktur Eksekutif Sulistiawati Toelle mengatakan, terkait tata cara melaporkan dana sisa lebih yang diendapkan selama empat tahun ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak boleh keliru. Sebab bisa berimplikasi pada finalti beruipa denda pajak yang cukup besar. Itu yang menimpa sedikitnya empat PTS, Yarsi, Bina Nusantara (Binus) Jakarta, Wijaya Kusuma Surabaya, dan Yayasan Pawiyatankita Patria Surabaya juga.
“Dari seminar ini, ada narasumber best practice yang menyampaikan pengalaman yang menimpa lembaga masing-masing. Ini diwakili Yayasan Binus, Yayasan Pawiyatankita Patria Surabaya. Kalau Yarsi sudah beres. Karena dilakukan perhitungan-perhitungan kembali sehingga denda yang dikenakan tidak sebanyak yang ditetapkan. Ini bukan untuk menyembunyikan pajak. Ini kekelirusan dalam administrasi saja.
Diakui Sulistiawati, Binus dan Wijaya Kusuma mengalami suatu masalah dimana dinyatakan kena sanksi kewajiban untuk membayar pajak dalam jumlah dalam ratusan miliar. Sanksi itu, lanjut Sulistiawati, tidak sampai ke PT-nya. Jadi lebih pada peraturan-peraturan yang menyangkut PT. “Kalau yang kena sanksi itu badan penyelenggaranya, yaitu yayasan. PTS itu kan badan hukumnya yayasan. Jadi yayasan yang kena,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Trisakti.
Asosiasi BP PTS yang berdiri sejak 2003 ini, lanjut dia, mengusulkan jangka waktu pengendapan empat tahun dirubah menjadi delapan tahun. Karena terlalu pendek untuk proses mengumpulkan uang. Jumlah uangnya tanggung karena belum terkumpul, sudah harus investasi. “Makanya, dari seminar ini kami harapkan pemerintah mau merubah jangka waktu itu dan pada anggota agar menjaga pelaporannya dengan benar supaya tidak kena sanksi,” imbuh dosen STIE Trisakti.
Rektor Universitas Balikpapan Piatur Pangaribuan mengusulkan agar pajak bagi PTS bisa diterapkan saat sebuah universitas berhasil mencapai akreditasi A. “Saya merekomendasikan agar diterapkan ketika masing-masing kampus terakreditasi A, karena masing-masing kekuatan finansialnya berbeda-beda. Jangan sampai karena harus bayar pajak, justru mengganggu stabilitas keuangan kampus swasta. Karena sudah ada 250 PTS yang ditutup,” kata Piatur peserta seminar.
Ketua umum Asosiasi BP PTS Prof Thomas Suyatno mengatakan, rangkuman hasil seminar akan disampaikan pada instansi-instansi terkait. Bukan hanya Kementerian Keuangan, tapi juga DPR dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Ini khusus berkaitan dengan pajak bumi dan bangunan (PBB). “Karena terus terang terjadi kegelisahan luar biasa dari anggota kami di seluruh Indonesia. Pasalnya mereka telah merasakan pajak atas bumi dan bangunan itu sangat variatif antara satu tempat dengan tempat lain,” ujar Thomas.
Penentuan PBB oleh Dispenda untuk suatu kota berbeda dengan PBB di satu kabupaten, padahal masih di provinsi yang sama. “Karena sekarang beban PBB ini sudah dialihkan dari Kemenkeu Cq Dirjen Pajak pada Pemda, maka inilah alasan mengajukan rekomendasi kami ke Kemendagri,” ungkap mantan Rektor Universitas Atmajaya tahun 1995.
Sedangkan hal-hal yang berkaitan perundang-undangan yang sekarang ada di Prolegnas DPR, maka dikirim surat rekomendasinya ke pimpinan DPR. “Tapi kalau hal-hal mengenai perpajakan baik projective mapun subjective, kami rekomendasinya ke Kemenkeu. Kami buka menolak, tapi menyampaikan beberapa keberatan dengan alasan-alasan yang bisa dapat dipertanggungjawabkan,” tepis Thomas.
Pada hakikatnya semua yayasan tunduk pada peraturan perundangan yang ada. Tidak ada alasan lain, kata Thomas, tapi berbagai faktor tadi, maka perlu diadakan peninjauan kembali. “Contoh sisa hasil dari kegiatan usaha. Pada 1995, harga tanah dan biaya bangun kampus dan atau sarana pendidikan yang lain, jauh dibanding harga setelah 22 tahun.
“Harga tanah di 1995, hanya puluhan juta per meter, sekarang sudah ratusan juta per meter. Karena itu, salah satu rekomendasi nanti mohon diadakan peninjauan dari empat tahun menjadi delapan tahun. Itu berdasarkan alasan-alasan subjective bahwa perbandingan 22 tahun lalu berbeda jauh,” usulnya.
Kondisinya di lapangan memang meresahkan sejumlah PTS, lanjut Thomas, ada beberapa hal yang perlu disampaikan tak hanya kepada kementerian keuangan, tapi juga kepada DPR dan Kemendagri. Karena memang ada kegelisahan bagi para PTS terkait pajak. Sebagai contoh penerapan besaran Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang berbeda antara kota dan kabupaten di provinsi yang sama. Hal itu berpengaruh juga kepada lokasi perguruan tinggi swasta,” ulangnya.
Konsultan Pajak Yustinus Prastowo menambahkan, kita butuh koordinasi yang lebih baik untuk kebijakan antara PTS yang berkontribusi sangat besar pada kemajuan pendidikan dan kualitas SDM Indonesia juga mendapatkan perhatian oleh pemerintah. Menurut Prastowo, follow up yang konsisten dari semua pihak yang mau terbukauntuk kemajuan bangsa, diharapakanlah dukungan DPR.
“Jadi ini tidak menuntut insentif baru, tapi minta diperjelas supaya di lapangan perlakukanya lebih adil, fair, sehingga membawa keuntungan tidak saja PTS, tapi juga masyarakat pada umumnya,” ujar Prastowo pada sesi press conference.
Kepala Seksi Peraturan PPH Bandan, Direktorat Jendral Perpajakan Riztiar Arinta mengatakan, perbaikan-perbaikan peraturan memang perlu dilakukan guna mendukung kemajuan PTS dalam membangun Bangsa dan Negara. “Memang kita butuh harmonisasi kebijakan yang lebih baik supaya Perguruan Tinggi Swasta yang berkontribusi besar kepada kemajuan pendidikan dan kualitas SDM Indonesia juga mendapatkan perhatian dari Pemerintah,” katanya.
“Jadi ini sebenarnya tidak meminta insentif baru, hanya yang ada agar diperjelas supaya di lapangan perlakuannya lebih adil, lebih fair, sehingga akan membawa keuntungan, bukan hanya kepada PTS, tetapi juga pada masyarakat. Jadi saya harap ini followup yang konsisten, karena untuk masyarakat, bahkan keluhan dari DPR juga cukup penting,” tambahnya.
Untuk diketahui, PTS yang pada umumnya berbentuk yayasan, peraturan perundang-undangan yang dimaksud menimbulkan kebingungan dan kesulitan dalam pelaksanaannya, di antaranya terkait pajak penghasilan, yayasan sebagai Wajib Bayar Pajak Penghasilan, Yayasan sebagai Wapu PPh, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Merah, Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD), serta Peraturan daerah tentang PBB.
“Memang sebuah badan yang bergerak di bidang pendidikan tak dikenakan pajak. Meski begitu tak serta merta hal itu melekat pada PTS di Indonesia. Kalau ada peranggapan dunia pendidikan ngga kena pajak, sebetulnya semangat itu sudah ada dalam undang-undang. Tapi bukan secara eksplisit dia tidak kena pajak. Tadi saya sampaikan, badan atau yayasannya itu subjek pajak,” ujarnya.
“Apakah uang registrasi dan kuliah itu penghasilan? Dalam undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 1 itu disebutkan anggaran kemampuan ekonomis dalam bentuk dan nama apapun. Artinya, itu kami artikan termasuk penghasilan. Namun, keuntungan sebuah PTS yang dijadikan sebagai objek pajak bisa tak dikenakan pajak selama digunakan untuk pembangunan sarana pendidikan,” tutupnya.
Kasubdit Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh dan PPh Orang Pribadi Sulistiyo Wibowo menambahkan, prinsipnya semangatnya bisa memberikan fasilitas insentif kepada PTS. Cuma memang menggunakan mekanisme dan kalau mekasnisme itu dijalankan akan terpenuhi apa yang diharapkan para PTS. Karena di dalam UU sudah dikecualikan.
Jadi sepanjang PTS bisa menjalankan prosedur yang dilakukan seharusnya bisa diperoleh insentif itu. Pasal 4 ayat 3, disebut sisa lebih itu tidak dikenakan pajak sepanjang ditanamkan kembali dalam sarana prasarana insfrastruktur pendidikan. Tapi kalau ditempatkan lain, maka tidak memenuhi criteria dan itu kena pajak. Tempat lain, seperti buka unit usaha. Padahal semangat dari memberikan insentif itu adalah mendorong dunia pendidikan. Bukan terus bukan untuk kegiatan usaha.
Pengawasan dilakukan ke tempat lain, karena pihaknya bukan maksudnya melarang untuk melakukan kegiatan usaha misalnya. Walau itu ada konsekwensinya. “Artinya apa saja yang jadi objek pajak dan yang bisa kena pajak yang terlihat dari laporannya. Jadi tujuannya bukan melarang yang bisa mengekang kebebasan, tapi untuk mendorong pendidikan dengan investasinya ke dalam sarana prasarana pendidikan. Itu dikasih insentif,” kilahnya.
Untuk usulan jangka waktu yang diatur UU, Sulistiyo mengataka, tentu harus melakukan pembahasan detail lagi. “Utamanya di internal di Kemenkeu. Ini antara kami dengan Badan Kebijakan Fiskal. Tentu dengan dasar masukan dan data yang disampaikan PTS kenapa delapan tahun. Misalnya masuk akal dan diperlukan karena biar uptodate,” pungkasnya. (lin)