BMKG Catat Gempa di Mana-Mana Bahkan Ada Susulan, Ini Seolah Bumi Ikut Demo Juga

ilustrasi korban bencana. foto: internet

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan BMKG mencatat gempa magnitudo 6,3 SR terjadi di Melonguane, Kabupaten Talaud dengan kedalaman 97 kilometer.

Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono mengemukakan, gempa bermagnitudo 2,9 SR mengguncang wilayah Kuningan di Jawa Barat, Minggu (29/9/2019) pukul 08.56 WIB. Gempa tersebut diduga kuat terjadi akibat aktivitas Sesar Baribis segmen Ciremai.

“Ditinjau dari lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, tampak bahwa gempa yang terjadi merupakan jenis gempa kerak dangkal atau shallow crustal earthquake, yang dipicu sesar aktif,” ujar Daryono, Minggu (29/9/2019).

Gempa terjadi di darat pada jarak 17 km tenggara Kota Kuningan dengan kedalaman 13 kilometer dan merupakan jenis gempa kerak dangkal. “BMKG mencatat gempa mengguncang wilayah Kuningan, Cikijing, Kadugede, Sangkanurip, Kalimanggis, dan Bojong,” terangnya.

Beberapa warga di Kuningan sempat berlarian keluar rumah karena terkejut akibat guncangan yang terjadi tiba-tiba. Namun hingga saat ini belum ada laporan mengenai kerusakan bangunan sebagai dampak gempa tersebut.

Daerah tersebut dilalui Sesar Baribis, lanjut dia, tepatnya Segmen Ciremai. Segmen Ciremai memiliki potensi gempa dengan magnitudo maksimum 6,5 SR. Sesar ini juga memiliki laju pergeseran sesar 0,1 milimeter per tahun.

Berdasarkan catatan sejarah, daerah tersebut sudah beberapa kali diguncang gempa tektonik, yaitu pada 1947, 1955 dan 1973 yang melanda daerah barat daya Gunung Ciremai dan sekitarnya.

Diduga karena berkaitan dengan struktur sesar aktif yang melintas di wilayah tersebut. Catatan BMKG, ucapnya, juga menunjukkan jalur segmen sesar ini memicu gempa terakhir pada 8 Februari 2018 dengan kekuatan 3,1 SR dan 25 Juni 2019 dengan kekuatan 2,6 SR. Dua gempa ini juga dipicu aktivitas Sesar Baribis segmen Ciremai.

“Aktivitas gempa Kuningan pagi tadi dapat menjadi pengingat dan ‘alarm’ bagi masyarakat Kuningan dan sekitarnya bahwa ada potensi gempa di wilayahnya sekaligus mengokohkan pendapat ahli bahwa jalur Sesar Baribis, khususnya Segmen Ciremai, masih sangat aktif,” ujarnya.

Berdasarkan keterangan tertulis BMKG yang diterima di Jakarta, Minggu (29/9/2019), hingga pukul 10.15 WIB telah terjadi gempa bumi susulan dengan kekutaan M 3,7; M 4,2; dan M 4,5.

Hasil analisis BMKG menunjukkan informasi awal gempa bumi tektonikk yang terjadi pukul 09.02.54 WIB dan berada wilayah laut di sebelah utara Kabupaten Kepulauan Talaud berkekuatan M 6,7 selanjutnya dimutakhirkan menjadi M 6,3.

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono menyebut gempa tidak berpotensi tsunami, Minggu (29/9/2019) menyebut gempa ini akibat subduksi lempeng laut Filipina.

Episenter gempa bumi terletak pada koordinat 5,52 LU dan 126,6 BT, atau tepatnya berlokasi di laut pada jarak 166 km arah utara Kota Melonguane, Kabupaten Kepulauan Talaud, Propinsi Sulawesi Utara, pada kedalaman 97 km.

“Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, gempa bumi yang terjadi merupakan jenis gempa bumi menengah akibat aktivitas subduksi lempeng Laut Filipina,” ujar Rahmat.

Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi di wilayah laut di sebelah utara Kabupaten Kepulauan Talaud ini dibangkitkan oleh deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan sesar naik thrust fault.

Guncangan gempa bumi dirasakan di Melonguane-Talaud dengan skala IV MMI (getaran dirasakan oleh orang banyak dalam rumah), Tahuna-Sangihe dan Siau skala III MMI (getaran dirasakan nyata dalam rumah seperti truk melintas) dan di Bitung dengan skala II-III MMI (getaran dirasakan oleh beberapa orang dan benda-benda ringan yang digantung bergoyang ).

Hingga saat ini belum ada laporan dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat gempa bumi tersebut. Rahmat mengimbau kepada masyarakat agar tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Dia menyarankan agar masyarakat memeriksa kerusakan bangunan rumah untuk menghindari dari bangunan yang retak atau rusak lebih lanjut.

Seperti diketahui gempa ini memang selalu menjadi identitas bagi pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Bahkan waktu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru menjabat presiden tahun 2004, terjadi bencana alam tsunami di Aceh.

Pasangan Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) periode pertama tahun 2014, diramal bakal menghadapi ujian berat dalam dua tahun pertama pemerintahannya.

Bencana alam akan terjadi di mana-mana. Rakyat kecil akan menjadi susah karena tak bisa bertani. Selain itu, ada potensi munculnya konflik di antara Jokowi dan JK yang bisa saja mengganggu jalannya pemerintahan.

Bila Jokowi-JK tak mampu menghadapi ujian itu, kepemimpinan keduanya bisa terhenti dalam dua tahun. Sebaliknya, bila berhasil melewati ujian itu, Jokowi- JK diprediksi bakal memimpin Indonesia selama dua periode.

Ramalan itu diutarakan ahli Astrologi Putri Wong Kam Fu, merujuk pada kalender penanggalan Jawa. Dikatakan Putri, dalam dua tahun ke depan, menurut penanggalan Jawa bakal terjadi berbagai permasalahan di dalam negeri. Mulai dari bencana alam, konflik dalam negeri, dan lainnya.

Tahun pertama kepemimpinan Jokowi-JK menurut penanggalan Jawa, kata Putri, adalah tahun Ehe. Pada tahun inilah diramalkan terjadi berbagai bencana alam. Kemudian, tahun kedua setelah tahun Ehe adalah tahun Jimawal.

Pada masa ini diperkirakan rakyat kecil akan jatuh susah. Kekeringan terjadi di mana-mana, petani tidak bisa bertani, dan akhirnya tak ada penghasilan. “Saya berkata jujur, tidak mendahului kehendak Tuhan,” ramalnya.

Siapa pun yang memimpin ke depan menurut Primbon Joyoboyo, kutip Putri, begitu masuk Tahun Ehe memang ada tanda-tanda bakal terjadi bencana. “Itu nanti berlanjut sampai tahun Jimawal,” ujar Putri kepada Warta Kota, Rabu (15/10/2014).

Menurut Putri, memang dalam dua tahun awal kepemimpinan Jokowi-JK bencana tak bisa diprediksi. Akan terjadi bencana terus-menerus. Seberapa dahsyat kekuatan bencana, katanya, itu kehendak Yang Maha Kuasa. “Tapi keadaan alamnya memang seperti itu,” ujarnya.

Bencana yang akan terjadi, kata Putri, seperti banjir, gunung meletus, kekeringan berakibat petani susah menanam, dan lain-lain. Hal itu, menurutnya, tertulis dalam primbon Jawa. “Kapan dan bulan apa, itu rahasia Illahi. Tapi, dua tahun itu memang akan terjadi demikian,” ujarnya.

Di bagian lain, informasi yang membandingkan datangnya bencana alam dengan pemimpin Indonesia menyebar di grup percakapan Whatsapp. Informasi itu menyebutkan bahwa bencana alam terbanyak terjadi di masa pemerintahan Jokowi. Dalam empat tahun Jokowi menjadi presiden telah terjadi bencana sebanyak 332 kali

Jumlah bencana itu paling tinggi dibandingkan masa presiden sebelumnya. Pada masa Soeharto misalnya yang menjabat 32 tahun, hanya ada 96 kali bencana. Di masa Gus Dur ada 3 kali bencana (1 tahun 8 bulan), di era Megawati terjadi 14 kali bencana (3 tahun) dan 76 kali bencana di masa Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY (10 tahun).

Informasi itu menyertakan nama Tempo sebagai sumber rujukan data bencana. Dalam pesan itu juga memuat kesimpulan:

“Tidak ada kebetulan dalam kehidupan ini, semua tertulis dalam Kitab Lauhul Mahfuzh, Allah Maha Bijaksana dan Maha Tahu berapa kali bencana diturunkan pada masa kepemimpinan seseorang pasti ada penyebabnya. Wallahu’alam”

Untuk meyakinkan warganet, pesan berantai itu juga dilengkapi dengan kutipan dari pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, yang berbunyi:

“Perhatikan alam dan bangsamu, jika di suatu bangsa yang beriman, mereka mengaku sebagai pemimpin yang baik, namun jika terjadi kerusakan akibat bencana alam yang berturut-turut maka itu pertanda rusak pemimpinmu, jika rusak pemimpinmu, maka rusaklah tatanan masyarakatmu mereka saling memfitnah, saling menghujat, saling mencela tak bisa terhindarkan, di saat itu Allah memberi peringatan bagimu dengan berupa musibah yang tiada henti”.

Benarkah data bencana di setiap periode presiden Indonesia itu berasal dari Tempo? Dan, benarkah pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan pernah menyatakan kartan bencana dengan pemimpin?

Penelusuran fakta

  1. Sumber data hoaks

Pemimpin Redaktur tempo.co Wahyu Dhyatmika, membantah data kebencanaan itu berasal dari Tempo. “Redaksi Tempo tidak pernah merilis informasi seperti yang beredar dalam pesan tersebut,” katanya menanggapi pesan berantai di Whatsapp tersebut, Selasa 25 Desember 2018.

  1. Jumlah bencana versi BNPB

Data kebencanaan secara resmi selama ini dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Publik pun bisa mengakses data bencana setiap tahunnya melalui website http://bnpb.cloud.

Menggunakan data terbuka dari website tersebut, Tempo menelusuri jumlah bencana alam di setiap kepemimpinan sejak Orde Baru hingga Reformasi. Bencana alam itu meliputi gempa, tsunami, gunung meletus, longsor dan banjir. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Soeharto (1967-1998) = 300 kali

Gus Dur (1999-2001) = 233 kali

Megawati (2001-2004) = 1.456 kali

SBY (2004-2014) = 14.702 kali

Jokowi (2014-2018) = 8.682 kali

Dari jumlah bencana yang tercatat oleh BNPB itu jelas berbeda dengan pesan berantai yang beredar di Whatsapp.

Dari wawancara yang dilakukan Tempo, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat di BNPB, Sutopo Purwo Nugroho memberikan penjelasan, “Dulu pendataan bencana belum baik.

Dulu belum ada BNPB, BNPB baru lahir 2008, kemudian belum ada BPBD, ya sehingga pendataan belum baik. Bencana dulu sebetulnya juga banyak terjadi, tapi tidak tercatat, tidak terdata, dan tidak terlaporkan, sehingga seolah olah dulu kecil, padahal banyak.”

“Nah, sekarang dengan adanya BNPB, BPBD, perkembangan sistem informasi pendataan kemudian perkembangan komunikasi, akhirnya pendataan bencana jadi lebih baik, sehingga jumlahnya banyak,” ungkapnya.

Jadi jumlahnya banyak itu, nilai dia, lebih disebabkan karena pendataannya berjalan dengan baik, laporan dari daerah ke pusat lebih baik, karena sudah ada mekanismenya, sudah ada strukturnya.

“Dulu sebetulnya juga banyak, tapi tidak tercatat sehingga ketika dipilah-pilah, seolah-olah jaman Pak Harto sedikit, padahal juga banyak. Pendataan bencana yang baik mulai 2010 hingga sekarang. Ketika teknologi komunikasi sudah berkembang, dan BPBD sudah banyak. Kalau dulu kan belum terbentuk.”

Sutopo lalu menutup wawancara, “Terlalu naif membandingkan jumlah bencana dengan masa pemerintahan.”

  1. Pernyataan KH Ahmad Dahlan

Kutipan yang disertai gambar pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, itu ternyata telah beredar sejak Oktober 2018. Pengurus Pusat Muhammadiyah pun telah mengeluarkan pernyataan yang membantah kutipan yang beredar itu.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid, Prof Yunahar Ilyas menegaskan pernyataan itu belum terverifikasi keluar dari mulut Kiai Ahmad Dahlan. Yunahar berpendapat, sepanjang pengetahuannya, belum ada tafsiran langsung yang mengaitkan bencana alam seperti tsunami atau gempa bumi dengan seorang pemimpin yang rusak.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan bahwa bencana alam bisa saja terjadi karena keadaan alam yang mengharuskan terjadinya pergerakan yang tidak seperti biasanya. Hal itu dapat dijelaskan menurut sains secara objektif.

Dalam buku karya KRH Hadjid, Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan 7 Falsafah & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an (2018), terbitan Suara Muhammadiyah, terdapat kutipan yang serupa. Kiai Hadjid merupakan salah satu murid dan sahabat dekat Kiai Dahlan yang banyak menulis dan mendokumendasikan gagasan pemikiran Kiai Dahlan. Pada halaman 59 buku tersebut, Kiai Hadjid mengutip pernyataan Kiai Dahlan sebagai berikut;

“Apabila pemimpin-pemimpin negara dan para ulama itu baik, maka baiklah alam; dan apabila pemimpin-pemimpin negara dan para ulama itu rusak, maka rusaklah alam dan negara (masyarakat dan negara).” Kalimat di dalam kurung seolah menegaskan bahwa alam yang dimaksud adalah alam sosial atau masyarakat.”

Keterangan selengkapnya dari PP Muhammadiyah dipublikasikan di http://www.suaramuhammadiyah.id/2018/10/12/tentang-pernyataan-kiai-dahlan-yang-dikaitkan-dengan-bencana-alam/

Kesimpulan: Dari tiga fakta itu, bisa disimpulkan bahwa pesan berantai yang beredar di grup percakapan Whatsapp adalah keliru.

 

sumber: indopos.co.id/tempo.co/tribunnews.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *