Opini HM Affan Rangkuti *
semarak.co– (Kue Klepon Punya Agama?)
Saat ini akan sulit untuk mengatakan resesi tidak terjadi. Tanda-tanda mengarah ke sana begitu kuat. Daya beli masyarakat semakin hari semakin menurun, terutama pada barang dan jasa bukan pokok. Lebih condong daya beli kepada belanja bahan pangan.
Biasanya, atmosfir resesi akan terasa ketika saban hari saluran kritik yang tak penting menjadi seolah penting. Kebiasaan dan tawaran aneh di luar akal sehat agaknya akan bermunculan.
Kue Klepon benda mati saja bisa dikerek seolah jadi manusia yang harus punya agama, ngeri ya? Jadi ingat kisah SpongeBob yang mampu memainkan selembar kertas menjadi permainan dan membuat Squidward Tentacles terpancing.
Padahal permainan itu hanya hayalan Sponge saja, dan hanya dialah yang mengerti hayalannya. Haduh, sepertinya agak sia menimba ilmu dengan nilai tinggi, tapi emosional bisa terbawa ke alam hayal yang hanya diketahui dan dinikmati penghayal.
Lapar memang membuat hayalan jadi seperti kenyataan. Logika nyaris hilang dan uang seolah memperkokoh kedudukannya menjadi ‘tuhan’.
Suhu resesi mendekat, seperti kondisi salah satu rantai restoran terkemuka dan waralaba internasional kelas menengah atas yang biasanya menanti pengunjung dengan senyum manis, kini harus ikhlas memajang dan menawarkan menunya di pinggir jalan. Tak ubahnya pedagang ‘liar’ yang berseliweran di persimpangan jalan lampu merah.
Belum lagi ada usulan judi dan togel dilegalkan, bisa-bisa bisnis menggandakan uang minta dilegalkan, bisnis prostitusi, bisnis narkoba juga dilegalkan. Mengerikan sekaligus menyedihkan. Uang semakin menancapkan kekuasaannya sebagai ‘pemimpin’ dunia.
Mabuk situasi membuat perilaku aneh bisa terjadi. Bingung mau ditumpahkan kemana psikologis emosional itu. Semua tahulah, kondisi sebab Virus Corona. Mau marah sama Corona, lah tampak juga gak.
Bagaimana memarahi, menghujat, memaki, menyumpah serapahnya. Ujung-ujungnya melampiaskan psikologi itu entah kemana-mana, bahkan ke pemimpin negara yang berjuang mati-matian untuk mengatasi wabah juga kena semprot. Aneh ya, tapi nyata.
Semoga saja tak menggerutu apalagi sampai protes dan marah pada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab segala panjatan doa kemungkinan akan menjadi sandungan antara yakin dan tidak, boleh jadi ada anggapan banyak doa yang dianggap tak terkabul.
Di sinilah keyakinan dan kepercayaan dipertaruhkan. Lulus atau tidak, tak berlebihan apabila Corona boleh dikatakan sebagai alat uji sendi kehidupan saat ini.
Kembali pada resesi, negara mana yang kuat saat ini yang tak kuatir akan hantaman resesi. Semua kuatir, semua waspada dan semua berjuang. Dari pada melakukan hal aneh, kan lebih baik jika hobinya menulis maka menulislah yang bagus manatahu bisa diangkat dalam layar lebar, simenatv, sinetron atau minimal jadi buku.
Jika hobi suka pukul-memukul ya belajar bela diri siapa tahu jadi atlit. Punya hobi marah-marah ya belajar orasilah, manatahu bisa jadi orator dan politisi handal. Kan bagus bakat bisa disalurkan, bermanfaat dan berpeluang menghasilkan materi lagi.
Dunia sudah bolak-balik dihantam krisis. Sebut saja salah satunya 1920 yang mungkin sebagai satu era terjadinya hiperinflasi. Tapi itu bukan disebabkan wabah. Nah 2020 kan beda, penyebabnya wabah. Mau protes ke siapa? Protes ke Presiden Jokowi ya salah, sebab bukan hanya Indonesia yang kena. Kasihan beliau kalau terus dijadikan sasaran kegalauan hati.
Mestinya marah ke Virus Corona, oh … kan tak kelihatan. Iya memang tak terlihat, maka itu pengalihan kerisauan jangan ke protes apalagi marah. Alihkan pada rasa kebersamaan. Kalau tetangga tak ada beras, berikan dan berbagilah.
Bukankah pendidikan moral mengajarkan saling membantu. Jangan ditumpuk semua ke pimpinan negara persoalan, lah ini persoalan bersama kok. Kalau nanti pada protes, pada emosional lalu siapa yang akan jadi penengah.
Siapa yang tak bingung saat ini. Okelah kuat karena kaya raya tujuh turunan, tapi kondisi sepi, senyap lalu apa yang mau dinikmati? Sepertinya semua manusia diajarkan untuk selalu bersama dalam suka maupun duka, bersama dalam kepedulian sesama. Nah inilah mungkin saat yang tepat pembuktian itu dilakukan dengan lebih nyata dan lebih besar, khususnya di Indonesia.
Mungkin jika tadinya kurang harmonis, maka jadilah harmonis. Tadinya kurang berbhineka, maka semakinlah berbhineka. Semula menyenangi pertikaian, jadilah penyanyang. Semula suka Sara jadilah sebenarnya saudara.
Tadinya tamak dan rakus, jadilah ringan tangan dan berbagi dan sebagainya. Semua akan menjadi lebih baik jika dilakukan bersama. Salam Khebinekaan, SDM Unggul Indonesia Maju.
*Penulis adalah Ketum Pengurus Besar Forum Komunikasi Alumni Petugas Haji Indonesia (PB FKAPHI)