Biaya Sekolah di Era Covid-19

Guru SD melakukan proses belajar mengajar (PBM) dengan siswa melalui aplikasi media daring (dalam jaringan) atau online di rumahnya di Kelurahan Bubulak, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/4/2020). Foto: indopos.co.id

Oleh Bima S. Ariyo

semarak.co– Berseliweran di FB ortu ortu siswa yang menyuarakan protes mengapa bayar SPP sekolah tetap full, padahal sedang Covid, cari Rizki susah, belum yang di PHK, dan yang dagang omsetnya terjun payung. Saya prihatin ada ortu siswa punya pemikiran begini. Kasihan, miris, kok pikirannya sempit, kikir, dan pelit.

Bacaan Lainnya

Bukan karena saya guru, tapi melainkan karena saya juga orang tua siswa. Saat Covid melanda awal Maret saya sudah punya prediksi: ekonomi akan goyah, saya rasakan awal April penghasilan seret, gaji tertunda.

Maka saat itu tabungan saya kuras. Yang pertama dilakukan adalah “LUNASI SPP ANAK” sampai bulan Juni. Karena itu kewajiban saya terkait kebutuhan PRIMER selain sandang – pangan – papan.

1. Miris: banyak orang tua mengalokasikan biaya sekolah sebagai kebutuhan kwartener. Karena kebutuhan primer skalanya sudah bergeser yaitu SANDANG – PANGAN – PAPAN – GAYA HIDUP. Ya itu gaya hidup jadi kebutuhan primer. Bahkan jalan jalan ke tempat wisata yang merupakan kebutuhan tersier levelnya masih diatas bayar SPP. Karena ada ortu yang akhir tahun masih nunggak SPP tapi liburannya di posting ke medsos. Miris gak tuh?

2. Pikiran sempit: Ah sekolah kan bisa nunggak, apa tega guru ngusir anak saya karena belum bayar SPP, nanti tinggal di viralkan pasti guru dan sekolahnya akan dihakimi secara sosial oleh masyarakat dianggap kejam keji dan tidak berkemanusiaan. Stigmanya sudah begini.

Tapi coba cicilan rumah, motor, mobil, hape..ada dia pikir begitu? Gak semua karena debt collector tetap lebih seram ketimbang TU sekolah. Dan dipermalukan oleh pinjaman online masih lebih seram dimana nama kita akan di SMS ke semua nomor kontak kalau telat bayar utang, tapi ada pernah anak belum bayar SPP ditulis nama di baliho depan sekolah?

3. Kikir. Saat saya coba lunasi SPP sampai Juni, bukannya sombong tapi saya berpikir minimal saya sudah menjamin guru anak saya bisa makan. Karena guru sama dengan ortu, dia didik anak saya, dia kasih anak saya ilmu. Ilmu itu dunia akhirat urgensinya. Apalagi guru TK, guru ngaji, anak kita jadi anak cerdas, santun, Sholeh…nikmatnya sepanjang hidup bahkan di bawa mati.

Ada ortu rela mobilnya ditarik dealer supaya bisa lunasi SPP dan ga nunggak? Belum pernah ada berita. Atau jual kulkas, hape, motor, bahkan emas supaya bisa lunasi SPP anak. Itu harta oleh orang kikir masih dianggap LEBIH berharga ketimbang anaknya dan akhiratnya. Padahal mobil itu sekarang dijual besok tinggal beli baru, tapi kalau anak rusak seumur hidup karena gak ada keberkahan, susahnya dunia akhirat.

4. Pelit: orang pelit cirinya banyak alasan, kan gurunya gak kesekolah, kan saya juga modal pulsa buat belajar online, kan sekolah tutup jadi hemat air listrik. Jadi buat apa saya bayar SPP, atau kenapa SPP gak di diskon. Satu kata “dasar PELIT!”

Orang pelit umumnya buta hatinya, guru ngajar pakai energi gak dia hitung, guru ngurus administrasi pembelajaran gak dia hitung, guru modal pulsa ngajar online gak dia hitung. Guru juga hidup susah gaji ketunda karena pada nunggak SPP gak dia hitung. Karena dia pelit.

Padahal sekian lama saya malang melintang di sekolah saya tau setiap guru, kepsek, pengelola sekolah yang bijak kalau ada siswa yang ortu nya gak bisa makan di era Covid ini atau saat krisis ekonomi tinggal bilang ke sekolah: SAYA GAK BISA MAKAN, TOLONG pak Bu guru saya gak bisa bayar sekolah.

Pasti itu kepsek, guru, dll dengan sukarela gratiskan biaya, keluar uang dari kantongnya, bahkan pulang siswa tak mampu bawa sembako…

Nah tugas ortu siswa yang mampu bayar full SPP adalah tetap bayar full jadi bisa mensubsidi silang siswa yang benar benar miskin tadi. Kalau yang benar benar miskin digratiskan, yang mampu bayar di korting kasihan guru guru nya.

Besok prasejahtera mereka. Gimana mau didik anakmu?! Kalau gurunya yang gak makan! Gimana mau doakan masa depan anakmu kalau guru anakmu saja ga bisa tidur karena perutnya bunyi kelaparan.

Ini sudah kerjanya main fesbuk, fotonya naik mobil pribadi, rumahnya tingkat…bicara potongan SPP. Alasan kan gaji saya kepotong gegara covid jadi habis buat cicilan mobil dan rumah, sama kuota internet buat Facebook kan. Jadi SPP nya harap dikurangi lah. Ini spesies apa ya nama ilmiahnya bingung saya.

Kalau memang tak mampu bayar SPP lapor ke guru, minta bantuan kalau memang anda layak dapat bantuan pasti dibantu. Bukannya ajak ajak semua orang untuk minta keringanan SPP biar tetap bisa pasang gaya hidup di era krisis. Inilah orang dzalim, kikir kok ngajak ngajak.

Aslinya kebutuhan hidup kita dan Rizki dari Allah selalu balance cash flow-nya. Yang bikin defisit itu gaya hidup dan ketamakan.

 

sumber: facebook akun@kushendarto darto (post: Sabtu 6/6/2020)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *