Wakil Menteri Pariwisata (Wamenpar) Ni Luh Puspa mengunjungi Rumah Tenun Sekomandi di Kalumpang, Mamuju. Ia berpesan kepada para penerus dan warga setempat agar terus melestarikan tenun warisan leluhur yang telah berusia ratusan tahun dan sarat makna spiritual ini.
Semarak.co – Tenun Sekomandi diyakini sebagai salah satu tenun tertua di dunia. Warisan Budaya Tak Benda yang ditetapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2016 ini diperkirakan berusia lebih dari 500 tahun.
“Tenun Sekomandi bukan sekadar kerajinan, tapi cerminan kearifan lokal yang membentuk ekosistem budaya sekaligus daya tarik wisata di Mamuju. Untuk itu, pesan saya jaga dan lestarikan terus apa yang sudah diwariskan oleh para leluhur,” kata Ni Luh Puspa, dirilis humas usai acara melalui WAGroup Siaran Pers Kemenpar2, Kamis (28/8/2025).
Motif tenun Sekomandi pertama adalah “Ulu Karua” atau juga dikenal sebagai “Ba’ba Deata”. “Ulu Karua” berarti delapan ketua adat, yang merepresentasikan delapan leluhur pemimpin masyarakat adat di masa lampau. Sementara “Ba’ba Deata” artinya kesatuan dari rumpun keluarga yang kuat.
Menurut keterangan Nurhayati, salah satu keturunan penerus kain tenun Sekomandi, penamaan “Ulu Kalua” atau “Ba’ba Deata” berasal dari sejak zaman dahulu, saat nenek moyangnya berburu bersama anjingnya, lalu masuk gua. Dan ketika keluar gua, anjing tersebut mengigit daun bermotif yang kemudian menjadi motif pertama tenun Sekomandi.
Hingga saat ini, Nurhayati masih menyimpan tenun Sekomandi “Ulu Kalua” yang diperkirakan telah berusia 100 tahun lebih. Meski warnanya terlihat pudar, kualitas dan keasliannya tetap terjaga.
Proses pembuatan tenun Sekomandi sendiri memiliki latar belakang spiritual, dimana seorang penenun mengalami pengalaman mistis yang kemudian dianggap sebagai ilham mengenai cara membuat tenun Sekomandi.
Proses pembuatan tenun Sekomandi dimulai dengan memintal kapas menjadi benang, proses ini dinamakan ma’kare’. Kemudian masuk ke tahap mangrara, dimana bahan tersebut diberi perwarna alami yang diracik dari akar, daun, kulit kayu, hingga tanaman cabai.
Tak ayal kain tenun Sekomandi memiliki harum khas rempah-rempah. Untuk warnanya, kain tenun Sekomandi didominasi oleh warna cokelat merah atau krem dengan hitam sebagai warna dasar.
Setelah itu, masuk ke proses ma’bida, mengikat benang sesuai motif atau pola yang diinginkan. Dan tahap terakhir ma’tannun yaitu proses menenun benang di atas alat tenun tradisional (gedogan).
Setiap tahapan proses menenun ini memerlukan ketelitian dan kecermatan yang tinggi, serta keahlian yang diperoleh dari pengalaman dan tradisi turun-temurun. Hasil akhir dari proses ini adalah kain tenun Sekomandi yang indah, sarat budaya dan makna. Untuk pembuatan sehelai kain tenun Sekomandi dapat memakan waktu hingga tiga bulan lamanya.
Ni Luh Puspa berharap tenun Sekomandi bisa menjadi inspirasi bagi pelaku usaha lainnya untuk melestarikan warisan budaya para leluhur yang kini menjadi produk unggulan masyarakat Kalumpang-Mamuju dan menjadi daya tarik wisata budaya berbasis komunitas yang telah dikenal secara luas hingga mancanegara.
Kemenpar mengembangkan program unggulan salah satunya pengembangan desa wisata berbasis komunitas. Program ini diharapkan relevan bagi masyarakat termasuk di Sulbar untuk memberdayakan desa wisata, meningkatkan perekonomian lokal, serta melestarikan budaya.
Program pengembangan desa wisata juga beriringan langsung dalam mendukung akselerasi pelaksanaan Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) Presiden Prabowo seperti Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih hingga Cek Kesehatan Gratis (CKG).
“Karena masyarakat yang hidup lebih sehat dan bertanggung jawab terhadap budaya dan lingkungan adalah fondasi sesungguhnya dari pembangunan pariwisata yang berkelanjutan,” ujar Ni Luh Puspa. (hms/smr)