Berhadiah Ratusan Juta, LPMQ Kemenag Gelar Lomba Iluminasi Mushaf Al-Qur’an

logo LPMQ Kemenag. foto: internet

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Kementerian Agama (Kemenag) menggelar lomba iluminasi Mushaf Al-Qur’an. Pendaftaran lomba dibuka sejak 14 Agustus hingga 30 Oktober 2020.

semarak.co– Kepala LPMQ Muchlis M Hanafi mengatakan, kompetisi ini melombakan satu paket kesatuan karya iluminasi yang terdiri atas sampul/kulit mushaf (depan, punggung, dan belakang), iluminasi awal mushaf (menghiasi Surah al-Fatihah dan awal Surah al-Baqarah).

Bacaan Lainnya

Lalu bingkai halaman teks Al-Qur’an, hiasan-hiasan tepi halaman (menghiasi tanda ‘ain ruku’, hizb, juz, manzil, waqaf lazim, dan sajdah), serta kepala surah dan tanda ayat.  Karya akan dinilai dari motif ragam hias, komposisi warna, dan karakter ‘keindonesiaan’-nya oleh dewan juri yg terdiri dari para ahli seni mushaf, seni kriya, dan desain.

“Peserta lomba adalah masyarakat muslim berkewarganegaraan Indonesia, baik perorangan maupun kelompok. LPMQ menyediakan total hadiah sebesar RP. 122.000.000,- untuk para pemenang yang akan diumumkan pada tanggal 13 November 2020,” terang Muchlis di Jakarta, Sabtu (15/8/2020) seperti dirilis Humas Kemenag melalui WA Group Jurnalis Kemenag.

Kata iluminasi (illumination), kata Muchlis, berarti menerangi, membuat cerah, menghias, mencerahkan secara spiritual atau intelektual. Iluminasi mushaf berarti hiasan naskah yang bersifat abstrak yang bertujuan untuk memperterang atau mempercerah teks yang disajikan, yakni Al-Qur’an.

Hiasan tersebut memiliki makna baik dari segi estetik (keindahan), sosial (kultural, identitas), maupun simbolis (ruhani, spiritualitas). “Lomba ini diharapkan dapat merangsang kreativitas para seniman muslim dalam melahirkan karya-karya seni mushaf yang indah dan berkarakter, sekaligus mencerminkan kekayaan budaya bangsa Indonesia,” ujarnya.

Muchlis melanjutkan, “Kegiatan ini bertujuan mencari karya-karya terbaik dalam seni hiasan mushaf di Indonesia, meningkatkan keterampilan para seniman mushaf, dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni mushaf.”

Di nusantara, kata dia, penyalinan Al-Qur’an dilakukan secara manual, baik hiasan maupun tulisannya. Penyalinan tersebut berlangsung sejak kedatangan Islam di kawasan ini hingga akhir abad ke-19 ketika teknologi percetakan semakin maju.

Penyalinan mushaf terjadi di berbagai kesultanan dan wilayah penting masyarakat Islam dahulu, di antaranya Aceh, Riau, Sumatera Barat, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Jawa Tengah, Madura, Lombok, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku.

Warisan penting tersebut kini tersimpan di berbagai museum, perpustakaan, pesantren, ahli waris, dan kolektor naskah—diperkirakan berjumlah 1500 naskah. Mushaf Al-Qur’an, kata Muchlis, dihias sesuai dengan ruang dan waktu penyalinan.

Lokalitas budaya tempat mushaf disalin merupakan faktor yang memengaruhi variasi bentuk, motif, dan warna iluminasi (hiasan). Unsur kreativitas lokal, sebagai hasil serapan budaya setempat, terlihat dalam pola dan motif ragam hias yang sangat beragam—masing-masing daerah memiliki ciri khas sendiri.

Setelah hampir satu abad terhenti, era baru dalam kreativitas seni mushaf tumbuh kembali sejak diresmikannya Mushaf Istiqlal pada tahun 1995 dalam rangka peringatan 50 tahun Indonesia merdeka.

Sejak saat itu, gairah pembuatan mushaf indah di Indonesia tumbuh kembali, dan sampai saat ini telah ada beberapa mushaf, yaitu Mushaf Sundawi (1997), Mushaf at-Tin (2000), Mushaf Jakarta (2002), Mushaf Kalimantan Barat (2003), dan Mushaf al-Bantani (2010).

Semangat itu juga melahirkan gagasan untuk merekonstruksi dan memodifikasi mushaf lama seperti Mushaf Keraton Yogyakarta Hadiningrat (2011) yang didasarkan pada mushaf pusaka keraton.

“Berbeda dengan seni mushaf pada zaman dahulu yang keseluruhannya dibuat secara manual, mushaf-mushaf indah kontemporer ini dibuat dengan bantuan teknologi komputer,” tuntasnya. (smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *