Oleh Edy Mulyadi *)
Semarak.co – Pemerintah akhirnya memberi kabar gembira yang nyata terasa bagi rakyat pekerja. Melalui Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, pemerintah resmi membebaskan pajak penghasilan (PPh 21) untuk pekerja bergaji di bawah Rp10 juta.
Aturan ini berlaku sejak Oktober 2025 dengan payung PMK No. 10/2025. Boleh dibilang, inilah terobosan penting yang akan langsung dirasakan jutaan buruh dan pekerja kelas menengah bawah. Sebab, mereka kini bisa membawa pulang tambahan Rp60 ribu sampai Rp400 ribu per bulan.
Angka itu mungkin kecil dan tak berarti bagi pejabat atau konglomerat. Tapi tidak begitu bagi tukang jahit, pekerja pabrik, pelayan restoran, hingga staf hotel. Buat mereka, tambahan ini bisa menutup biaya listrik, menambah uang belanja, atau menutup ongkos sekolah anak.
Bandingkan dengan era Sri Mulyani. Menteri keuangan langganan rezim sebelumnya itu dikenal sebagai “ratu pajak” yang doyan menghisap kantong rakyat kecil. Alih-alih memberi ruang bernapas, dia malah rajin memperluas objek pajak: dari sembako, pulsa, pendidikan, hingga jasa keuangan.
Rakyat kecil dipaksa membayar aneka pajak. Pada saat yang sama, konglomerat kerap diguyur berbagai relaksasi perpajakan. Warisan itulah yang membuat ekonomi rakyat makin megap-megap.
Pajak Bukan untuk mencekik
Kini arah berbalik. Purbaya menghembuskan angin segar. Pajak bukan untuk mencekik, tapi untuk menopang rakyat. Perhitungan pemerintah sederhana tapi jitu. Hilangnya penerimaan negara akibat pembebasan PPh 21 pekerja gaji di bawah Rp10 juta hanya sekitar Rp0,5 triliun per tahun.
Bandingkan dengan target penerimaan pajak 2025 yang tembus Rp2.280 triliun. Artinya hanya 0,02%. Kecil sekali. Sebaliknya, dampak bagi rakyat luar biasa. Katakan ada dua juta pekerja di sektor padat karya dan hotel restoran kafe (Horeka) yang menerima manfaat ini.
Jika rata-rata mereka mendapat tambahan Rp200 ribu per bulan, maka daya beli baru yang lahir mencapai Rp4,8 triliun per tahun. Rasio pengungkitnya mencengangkan. Negara kehilangan Rp0,5 triliun, tapi rakyat mendapat Rp4,8 triliun. Nyaris 1 banding 10! Dan jangan lupa, uang itu tidak menguap.
Ia kembali berputar dalam perekonomian. Rp4 triliun belanja tambahan berarti omzet naik bagi pedagang, rumah makan, tukang ojek, pabrik, hingga ritel. Dari omzet itu, otomatis negara menarik PPN 11 persen, atau sekitar Rp528 miliar. Dari sini saja negara yang sebelumnya kehilangan Rp500 miliar sudah “balik modal”.
Belum termasuk PPh Badan 22 persen atas laba perusahaan. Dengan kata lain, negara justru meraup untung beliung. Lebih jauh, ada efek ganda yang tidak bisa dihitung dengan kalkulator sederhana. Konsumsi yang meningkat mendorong produksi.
Kalau sudah begini bakal memicu pembukaan lapangan kerja baru. Ujung-ujungnya, menambah basis pajak di masa depan. Insentif kecil di sisi pajak ternyata mampu memperbesar penerimaan secara total. Di sinilah kita perlu jujur memberi kredit.
Pertama, kepada Purbaya Yudhi Sadewa yang berani melakukan terobosan di awal masa jabatannya sebagai menteri keuangan. Dia menunjukkan beda gaya dengan pendahulunya. Purbaya tidak melulu menumpuk utang atau mengejar pajak dari rakyat kecil. Tapi dia justru memberi ruang hidup bagi pekerja.
Kredit kedua, kepada Presiden Prabowo Subianto. Keputusan ini mustahil lahir tanpa restu politik dari istana. Terlepas dari berbagai kritik, Prabowo layak diapresiasi karena memberi jalan kebijakan yang pro-rakyat. Tentu, pekerjaan rumah masih menumpuk.
Pembebasan pajak untuk gaji di bawah Rp10 juta ini baru menyentuh sebagian sektor. Perlu keberanian memperluas ke semua lapisan pekerja formal. Selain itu, pemerintah juga harus serius menutup kebocoran pajak korporasi besar, memperketat aturan transfer pricing, dan mengoptimalkan pungutan di sektor digital serta ekspor SDA.
Namun satu hal jelas: arah kebijakan kini sudah berbeda. Dari era pajak mencekik menjadi pajak menolong. Dari paradigma rakyat sebagai obyek pungutan berubah menjadi rakyat sebagai subyek pembangunan.
Bila arah ini konsisten, maka jargon “ekonomi yang berpihak pada wong cilik” tidak lagi sekadar retorika kampanye. Ia berubah jadi realitas yang bisa dirasakan setiap akhir bulan. Yaitu ketika pekerja kecil membawa pulang gaji utuh tanpa dipotong pajak.
Di tengah situasi ekonomi global yang masih gamang, langkah ini adalah angin segar. Memberi napas, menambah daya beli, sekaligus menggerakkan roda ekonomi. Sebuah kebijakan win-win. Rakyat tersenyum, perusahaan mendapat pasar. Dan, negara tetap mendapat pajak lewat jalur lain. Cerdas. []
Makassar, 18 September 2025
*) Wartawan Senior
Sumber: KAMI HABIB RIZIEQ SHIHAB (postKamis18/9/2025/edymulyadi)