Buletin Kaffah Edisi 376 (03 Rajab 1446 H/03 Januari 2025 M)
semarak.co-Belum genap 100 hari Kabinet Merah Putih yang dilantik pada Minggu, 20 Oktober 2024. Namun, pemerintahan yang dipimpin Prabowo-Gibran ini telah menimbulkan keresahan rakyat. Harapan mereka akan kehidupan yang lebih sejahtera juga pupus.
Pasalnya, saat kampanye Prabowo-Gibran ingin memihak pada kepentingan rakyat. Namun, setelah terpilih, faktanya Pemerintah saat ini malah makin membebani rakyat dengan menetapkan kebijakan menaikkan Pajak Penambahan Nilai (PPN) 12 persen di tengah ekonomi yang masih stagnan.
Kebijakan PPN 12% ini pasti makin menyusahkan rakyat. Selain akan menambah beban ekonomi rumah tangga dengan melemahnya daya beli, kebijakan ini juga dipastikan mengakibatkan banyak pekerja yang di-PHK.
Sepanjang 2024 saja, berbagai sektor industri di Indonesia mengalami gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal ini memberikan dampak signifikan bagi para pekerja dan perekonomian nasional. Di lain sisi, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pejabat justru kian menjadi-jadi.
Mega korupsi yang merugikan uang rakyat dan negara ratusan triliun divonis ringan. Bahkan Presiden Prabowo sempat memunculkan wacana pemaafan bagi para koruptor dengan syarat mengembalikan uang hasil korupsi ke kas negara. Padahal pengembalian uang hasil korupsi tidaklah menggugurkan hukuman pidananya. Dua kebijakan yang tidak pro rakyat ini menjadi catatan buram Kabinet Merah Putih.
Kesalahan Sistemik
Sistem ekonomi kapitalisme neoliberal yang diterapkan di negeri ini berpijak pada kebebasan kepemilikan (freedom of ownership). Akibatnya, Negara tidak memiliki kekuasaan atas sumber daya alam (SDA). SDA malah diserahkan kepada pihak swasta (asing dan aseng) yang menjelma menjadi oligarki.
Sebaliknya, negara hanya menjadi regulator pasar, bukan pelaku utama perekonomian. Akibatnya, untuk membiayai pembangunan yang berbasis utang, Negara menarik pajak dari rakyat secara zalim karena membebani rakyat.
Kesalahan penerapan sistem ekonomi inilah yang menghasilkan kekuasaan jibâyah, yakni kekuasaan yang memalak dan menyusahkan rakyat. Padahal kekuasaan itu seharusnya mensejahterakan rakyatnya secara adil. Rasulullah saw telah melarang keras pungutan pajak atas rakyat dan mengancam pemungutnya. Rasulullah saw. bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai) (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim)
Rasulullah saw. juga mengancam para pemangku jabatan dan kekuasaan yang menipu dan menyusahkan rakyat. Beliau bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيَهُ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba—yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat—mati pada hari dia mati, sementara dia dalam kondisi menipu (menzalimi) rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan bagi dirinya surga (HR Ibnu Hibban).
Bahkan Rasulullah saw. mendoakan keburukan bagi para pemimpin yang tidak amanah, yang menyusahkan rakyat, dengan doa berikut:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia membuat mereka susah, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lantas dia menyayangi mereka, maka sayangilah dia (HR Muslim).
Di sisi lain, sistem politik demokrasi yang pragmatis transaksional menjadi lahan subur bagi tumbuhnya tindak pidana korupsi dan kolusi. Dalam pragmatisme politik demokrasi, transaksi antara aktor politik sering terjadi seperti barter kekuasaan, pemberian jabatan, atau dana kampanye.
Transaksi ini bisa menjadi bentuk kolusi atau nepotisme yang melanggar hukum, terutama jika melibatkan penyalahgunaan wewenang atau anggaran negara. Dalam hal ini partai politik bisa menjadi sumber praktik suap dan korupsi.
Apalagi partai politik sekuler yang sejak awal berdiri telah berpaham pragmatisme. Penerapan politik demokrasi yang pragmatis dan transaksional telah menghasilkan para kepala daerah yang menjadi koruptor dengan berbagai modusnya.
Berdasarkan data di situs Kpk.go.id, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tak kurang dari 22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Jumlah itu tentu bisa lebih besar jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian.
ICW mencatat, sepanjang tahun 2010 – Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum. Dalam Islam, korupsi adalah kejahatan yang akan dijatuhkan hukuman yang bisa memberikan efek jera dalam bentuk sanksi ta’zîr.
Hukuman itu bisa berupa tasyhîr (pewartaan/ekspos), denda, penjara yang lama bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya. Sanksi penyitaan harta ghulûl juga bisa ditambah dengan denda.
Pemerintahan Islam: Bebas Pajak dan Anti Korupsi
Selain faktor ketakwaan individu sebagai penguasa, pemerintahan Islam juga dilandaskan pada penerapan syariah Islam secara kâffah dalam mengatur urusan rakyat. Rasulullah saw. dan para Sahabat adalah teladan bagi kepengurusan rakyat dalam institusi daulah Islam yang menjadikan syariah Islam sebagai sumber hukum dan perundang-undangan.
Ketakwaan individu menjadikan seorang penguasa dalam Islam takut akan beratnya pertanggungjawaban jabatan di hadapan rakyat dan di hadapan Allah SWT di akhirat. Karena itu kekuasaan dipandang sebagai amanah dan tidak diperebutkan. Rasulullah saw. bersabda:
أَوَّلُ الإِمَارَةِ مَلامَةٌ، وَثَانِيهَا نَدَامَةٌ، وَثَالِثُهَا عَذَابٌ مِنَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِلا مَنْ رَحِمَ وَعَدَلَ
Kepemimpinan itu awalnya cacian, keduanya penyesalan dan ketiganya azab dari Allah pada Hari Kiamat nanti; kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil (HR ath-Thabarani).
Dalam sistem Islam tidak akan ada politik biaya tinggi. Celah bagi kolusi dan upeti dalam pemilihan pejabat juga akan tertutup sama sekali. Tidak seperti sistem demokrasi yang memang berbiaya tinggi yang mendorong perebutan jabatan dengan jalan kotor, yakni suap dan korupsi.
Haramnya memungut pajak menegaskan bahwa pemerintahan Islam tidak memberlakukan pajak bagi rakyatnya. Sistem ekonomi yang diterapkan dalam pemerintahan Islam menjadikan APBN tidak berbasis pajak. Penguasa dalam Islam adalah pelayan rakyat, bukan pemalak rakyat.
Model pajak sebagaimana dalam sistem Kapitalisme adalah haram hukumnya. Dalam sistem pemerintahan Islam, sumber pemasukan APBN sebetulnya sangatlah banyak dan berlimpah. Ada ghanîmah, fa’i, khumus, kharâj dan jizyah.
Selain itu, di antara sumber terbesar APBN dalam pemerintahan Islam adalah dari harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Sebagai contoh negara Indonesia, potensi pendapatan dari sumber daya alam sangat besar.
Di antara potensi pendapatan besar negeri ini misalnya dari minyak mentah, gas alam, batu bara, emas, tembaga, dan nikel. Nilainya bisa lebih dari dua kali lipat kebutuhan APBN setiap tahunnya. Jika saja sistem Islam diterapkan, sumber daya alam ini mutlak wajib dikelola oleh negara secara langsung dan haram hukumnya dikelola oleh swasta atau diprivatisasi.
Selain tertanamnya ketakwaan individu, pemerintahan Islam akan mewujudkan para pejabat bersih karena mendapatkan gaji tinggi, keharaman harta ghulûl, dan ketegasan sanksi hukum bagi pejabat yang terbukti korupsi. Rasul saw. bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
Siapa saja yang telah kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil selain itu adalah harta ghulûl (haram) (HR Abu Dawud dan al-Hakim).
Para penguasa dalam sistem pemerintahan Islam atau Khilafah telah terbukti menjadi penguasa teladan dalam menjaga amanah, kejujuran dan kebersihan sepanjang sejarah. Rasa takut mereka kepada Allah SWT dan siksa-Nya begitu menghujam dalam kalbu mereka.
Dengan itu mereka memiliki konsistensi tinggi dalam menerapkan sistem Islam dalam mengurus rakyatnya, khususnya dalam menjaga harga negara dan rakyat agar tidak dikuasai asing dan dikorupsi.
Khalifah dalam sistem Khilafah juga akan hidup sederhana dan memilih para pejabatnya yang bertakwa dan memiliki kapasitas. Khalifah juga akan bertindak tegas kepada siapapun, termasuk kepada keluarga dekatnya sekalipun, karena melaksanakan perintah Allah SWT dalam amar makruf nahi mungkar.
Dalam pemerintahan Khilafah, salah satu contoh pemimpin terbaik adalah Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau biasa menyita harta tak wajar para wali atau amilnya. Beliau pun bersikap tegas kepada keluarganya sendiri.
Ketika melihat unta milik Abdullah bin Umar paling gemuk di antara unta yang digembalakan di padang gembalaan umum, beliau menyuruh Abdullah bin Umar menjual unta itu. Lalu kelebihan dari modalnya dimasukkan ke kas negara.
Khalifah Umar menilai, unta itu paling gemuk karena mendapat rumput terbaik mengingat Abdullah bin Umar adalah putra Khalifah (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-Farîd, I/46-47).
Khatimah
Karena itu tidak ada pilihan lain dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas pajak serta mensejahterakan rakyat kecuali dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam institusi Khilafah. Hukum Islam adalah hukum sempurna karena berasal dari Allah Yang Maha Sempurna. Hukum Islam adalah hukum yang adil karena berasal dari Allah Yang Maha Adil. Karena itu, tegaknya penerapan syariah Islam secara menyeluruh dan totalitas harus segera diwujudkan.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sungguh dia akan merasakan kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS Tha-ha [20]: 124). []
sumber: WAGroup WAHAI UMMAT ISLAM BERSATULAH (postJumat3/1/2025/amirhamzah)