BAZNAS Dorong Penguatan Kajian Fikih Zakat yang Adaptif di Era Modern

BAZNAS mendorong penguatan kajian fikih zakat agar lebih adaptif terhadap perkembangan zaman tanpa meninggalkan pijakan syariah.

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) mendorong penguatan kajian fikih zakat agar lebih adaptif terhadap perkembangan zaman tanpa meninggalkan pijakan syariah. Langkah ini penting agar zakat bisa menjawab tantangan kehidupan modern dan berperan nyata dalam membangun kesejahteraan umat.

Semarak.co – Kepala LSP BAZNAS Muhammad Choirin mengatakan, perkembangan sosial dan ekonomi menuntut penyesuaian dalam memahami praktik zakat agar tetap relevan dan berdampak. Menurutnya, zakat perlu dikaji dengan semangat ijtihad agar selaras dengan kebutuhan umat masa kini.

Bacaan Lainnya

“Dalam khazanah Islam, ada dua pendekatan dalam memahami hukum, yakni literalis yang menekankan apa pun yang tidak ada di zaman Nabi tidak boleh dilakukan. Sementara kontekstualis memberi ruang penyesuaian dengan mempertimbangkan kemaslahatan,” ujar Choirin, dirilis humas Baznas melalui WAGroup Baznas Media Center (BMC), Jumat (14/11/2025).

Ia menilai, kedua pendekatan tersebut perlu ditempatkan secara proporsional. “Pendekatan literalis menghasilkan hukum yang ketat, sedangkan kontekstualis memberi ruang bagi dinamika kehidupan. Tapi bila keduanya dijalankan secara ekstrem, tidak baik. Kita perlu berada di tengah: taksilnya kuat, tapi tetap memperhatikan realitas kehidupan,” ucapnya.

Choirin mencontohkan komoditas zakat pertanian dan peternakan yang perlu dikaji ulang. “Dalam hadis disebutkan gandum, kurma, dan anggur kering. Tapi di Indonesia, potensi ekonominya justru dari sawit, tebu, kopi, dan cokelat. Apakah itu termasuk zakat pertanian? Bagaimana menghitungnya? Ini butuh kajian fikih yang mendalam,” katanya.

Ia juga menyinggung perubahan fungsi emas dalam konteks modern. “Dulu emas digunakan sebagai alat tukar, kini menjadi instrumen investasi. Maka, cara memandang dan menghitung zakat emas juga perlu diperbarui agar tetap sesuai dengan konteks zaman,” katanya.

Choirin menegaskan, pembaruan fikih zakat bukan untuk mengganti syariat, melainkan bagian dari ijtihad agar ajaran Islam tetap relevan dan membawa kemaslahatan. “Kalau cara kita terlalu literalis, semakin sedikit umat yang bisa merasakan keberkahan zakat. Maka pendekatan fikih harus kuat secara nash, tapi adaptif terhadap realitas,” tegasnya.

Menurutnya, zakat kini sudah menjadi urusan publik yang perlu dikelola secara profesional dan transparan. “Zakat harus dikelola dengan nilai-nilai publik seperti transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas. Ia bukan sekadar ibadah ritual, tapi juga instrumen ekonomi yang memberi dampak sosial bagi masyarakat,” jelas Choirin.

Choirin berharap, lembaga-lembaga zakat di Indonesia terus memperkuat kajian fikih zakat kontemporer agar zakat semakin efektif dalam mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan umat.

Sementara itu, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, K.H. Miftahul Huda, Lc., menegaskan, dalam menetapkan fatwa, MUI senantiasa berpegang pada metodologi hukum Islam yang ketat. Setiap fatwa yang dikeluarkan, kata dia, melalui proses kajian mendalam dengan mempertimbangkan dalil, pendapat ulama, dan kemaslahatan umat.

“MUI menggunakan tiga pendekatan dalam menetapkan fatwa, yaitu nashiyah (tekstual), qauli (pendapat ulama), dan manhaji (metodologis). Dalam konteks zakat, kami melihat dua dimensi sekaligus, yakni ibadah dan sosial, yang melibatkan peran negara atau ulil amri,” kata Miftahul.

Miftahul menambahkan, MUI memandang zakat profesi sebagai hasil ijtihad yang sesuai dengan perkembangan ekonomi modern. Meski tidak disebut secara eksplisit dalam nash klasik, konsep zakat profesi dapat dikiaskan dari prinsip umum zakat atas harta (al-amwal).

Dia juga menjelaskan, Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003 telah menetapkan zakat penghasilan dengan kadar 2,5 persen dan nisab setara 85 gram emas. Dalam Munas Ulama 2018, disepakati sinkronisasi antara MUI, BAZNAS, dan Kemenag bahwa kadar zakat penghasilan tetap 2,5 persen, dengan nisab senilai 653 kg gabah atau 5,24 kg beras.

“Fatwa tersebut juga menetapkan bahwa zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima jika telah mencapai nisab. Jika belum mencapai nisab, penghasilan dikumpulkan selama satu tahun dan dizakati ketika sudah memenuhi syarat,” jelasnya.

Miftahul mengatakan, zakat profesi adalah ijtihad kolektif ulama yang bertujuan menghadirkan kemaslahatan. “Prinsipnya tetap sesuai syariah, namun adaptif terhadap perkembangan zaman,” ujar Kiai Miftahul. (hms/smr)

Pos terkait