Batas Akhir Izin OJK Bagi Usaha Gadai, Juli 2019, Jika Lewat Kena Penertiban

Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR OJK Ayahandayani saat menjadi pembicara. foto: internet

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan melakukan penertiban dengan membatasi akses keuangan lembaga usaha gadai yang belum mendapatkan izin OJK. Tercatat ada 585 pelaku usaha gadai tak berizin OJK sejak 2016.

Direktur Pengawasan Lembaga Keuangan Khusus OJK Supriyono menjelaskan, OJK telah memberikan waktu selama dua tahun kepada pelaku usaha gadai untuk mendaftarkan bisnisnya, yakni terhitung sejak 29 Juli 2016 hingga 28 Juli 2018.

Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 5 Peraturan OJK (POJK) 31 tentang Usaha Pergadaian. Tak hanya itu, OJK juga telah memberikan tenggat waktu hingga 29 Juli 2019 bagi pelaku usaha gadai untuk menyelesaikan izinnya.

“Jka hingga batas waktu itu pelaku usaha gadai tak kunjung mendaftar, OJK akan mulai melakukan penertiban lewat pembatasan akses keuangan,” ungkap Supriyono saat menjadi pembicara dalam Pelatihan dan Gathering Media Massa OJK di Bandung, Kamis-Sabtu (2-4/5).

Itu sesuai Peraturan OJK (POJK), Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian, bagi perusahaan yang belum memiliki izin atau masih terdaftar diberikan waktu batas peningkatan izin sampai 29 Juli 2019.

“Pembinaan dan pengawasan, lanjut Supriyono, akan lakukan penertiban secara soft membatasi akses yang belum berizin terhadap jasa keuangan lain, terhadap perbankan. Mereka akan dibatasi transaksi dengan perbankan,” ujarnya.

Salah satu sarat pemenuhan bagi pelaku usaha gadai yang terdaftar namun belum memiliki izin, kutip dia, yakni wajib mengajukan permohonan izin usaha sebagai Perusahaan Pergadaian paling lama tiga tahun sejak POJK 31/2016 diundangkan.

Pada saat mengajukan izin usaha diharuskan menyetorkan modal. Namun harus memenuhi ekuitas sebesar Rp 500 juta untuk lingkungan wilayah usaha kabupaten atau kota. Sementara untuk lingkup wilayah provinsi sebesar Rp 2,5 miliar.

“Ini harus disetor secara tunai dan penuh atas nama perusahaan pergadaian pada salah satu bank umum atau bank umum syariah di Indonesia. Jika langkah itu tak berhasil, OJK akan mengambil langkah tegas. Caranya, dengan menggandeng Satgas Waspada Investasi,” ancamnya.

Dengan Satgas ini, kata dia, nantinya pelaku usaha gadai tak berizin akan ditertibkan. “Kita melalui Satgas mencoba menertibkan pelaku pergadaian yang tidak berizin. Kemudian pendekatan hukum dengan aparat penegakan hukum. Penertiban usaha pergadaian tak berizin,” ujarnya.

Namun apabila sampai 29 Juli 2019 para pelaku usaha gadai belum menyampaikan permohonan izin usaha, pendaftaran dinyatakan batal dan tidak berlaku. “Tindak lanjut pasca terdaftar, apabila sudah terdaftar tidak melakukan perizinan maka akan gugur,” ucapnya.

Permintaan yang sama, lanjutnya, akan disampaikan kepada perusahaan asuransi dan layanan jasa keuangan digital atau financial technology (fintech) agar tidak menerima permintaan pinjaman dari perusahaan gadai swasta yang tidak mendapatkan izin OJK.

Lewat pihak eksternal, OJK juga akan mengajukan pemblokiran laman website dan aplikasi gadai swasta tak berizin kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Otoritas juga akan merekomendasikan kepada pihak berwenang lainnya seperti Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mencabut izin perusahaan gadai tak berizin. “Melalui Satgas Waspada Investasi, kami mencoba menertibkan pelaku gadai yang tidak berizin. Kemudian pendekatan hukum dengan aparat penegakan hukum,” katanya.

Di sesi lain, OJK menargetkan akan merilis aturan terkait penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Aturan ini dimaksudkan untuk mendorong BPR melakukan merger guna memenuhi kewajiban modal inti minimum.

“Mudah-mudahan POJK-nya akan segera keluar, di situ kami perjelas pelaksanaan merger, akuisisi, dan konsolidasi,” kata Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR OJK Ayahandayani

OJK, kata Handayani, akan memberikan insentif bagi BPR yang bersedia melakukan konsolidasi. Salah satu insentif yang diberikan adalah keringanan dalam proses sertifikasi. Saat ini, seluruh proses tersebut sedang dalam proses finalisasi.

“Kalau BPR merger dananya lebih besar dan harus ada sertifikasi yang harus dilalui. Nah ini kami kesampingkan dulu. Kami berikan mereka waktu untuk pemenuhannya,” imbuhnya.

Menurut dia, penguatan modal menjadi modal utama bagi BPR untuk menghadapi ketatnya persaingan sektor jasa keuangan. Tantangan utama BPR saat ini, katanya, adalah kemunculan layanan fintech khususnya peer to peer lending (p to p).

Kemunculan fintech tersebut memaksa BPR untuk menyesuaikan baik dari sisi teknologi, manajemen risiko, dan lainnya sehingga mampu bersaing di ranah jasa keuangan. Atas dasar itu, OJK sebagai regulator telah menerbitkan berbagai aturan guna mendukung pengembangan BPR.

“Kalau BPR kecil-kecil (modal inti) dan mereka harus memenuhi ketentuan yang sudah kami keluarkan mengenai tata kelola, pemenuhan manajemen risiko, standar teknologi informasi, kami melihat kalau mereka tidak memiliki modal yang cukup maka mereka tidak mampu memenuhi,” jelasnya.

Lewat Peraturan OJK (POJK) Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat, OJK menetapkan modal inti minimum BPR sebesar Rp6 miliar.

Per Januari 2019, tercatat sebanyak 722 BPR dari 1.597 BPR belum memenuhi ketentuan modal inti minimum. Rinciannya, sebanyak 374 BPR masih memiliki modal inti di bawah Rp3 miliar dan sebanyak 348 BPR memiliki modal inti di bawah Rp6 miliar. (rep/int/lin)

 

sumber: cnnindonesia.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *