Bappenas Nilai Belanja Masyarakat Turun Tipis Karena Beralih Konsumsi

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan, selama triwulan ketiga 2017 belanja masyarakat turun tipis dari kuartal sebelumnya dari 4,95% menjadi 4,93%.

Bambang mengatakan, alasan pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat dikarenakan adanya kecenderungan masyarakat menahan pembelian barang konsumsi makanan maupun non-makanan yang tidak esensial. Menurut Bambang, masyarakat mengalihkannya untuk pendidikan, kesehatan dan leisure atau jasa.

“Peningkatan pendapatan oleh masyarakat menengah bawah menjadi kelas menengah membuat adanya indikasi beralihnya konsumsi kebutuhan belanja barang sehari-hari menjadi kebutuhan yang sifatnya jasa atau perjalanan,” kata Bambang di kantor Bappenas, Jakarta, Senin (13/11).

Padatnya jalanan dan tempat-tempat wisata pada long weekend, menurut Bambang, dapat dilihat sebagai indikator untuk melihat meningkatnya konsumsi leisure masyarakat, seperti transportasi, hotel, dan lainnya.

Hal ini didukung dengan promosi yang dilakukan Indonesia di sektor pariwisata yang tidak hanya berhasil menarik wisatawan luar negeri namun juga dalam negeri. Merujuk dari data Badan Pusat Statistik (BPS), rinci Bambang, secara signifikan kebutuhan atas perumahan dan perlengkapan rumah tangga naik tipis dari 4,13% menjadi 4,14%, kesehatan dan pendidikan naik dari 5,33% menjadi 5,38%, tranportasi dan komunikasi dari 5,34% menjadi 5,86%.

Bertumbangnya sektor ritel saat ini, nilai Bambang, menjadi tren dunia di mana dengan semakin majunya teknologi, perdagangan kini bergeser dari perdagangan fisik ke perdagangan elektronik atau e-commerce. “Mungkin ada masalah dengan daya beli tapi kita juga tolong perhatikan di AS sektor ritelnya juga tumbang, banyak toko tutup karena e-commerce. Artinya ini tren dunia yang suatu saat akan masuk Indonesia dan mungkin gejalanya sudah mulai di Indonesia,” ujarnya.

BPS saat ini belum bisa menangkap transaksi online atau informal, padahal jumlahnya banyak. Ia akan meminta BPS ke depannya bisa mencatat denyut konsumsi, khususnya konsumsi dalam bentuk online, yang sebenarnya dari masyarakat. “Sekarang kita mana tahu. Kalau ada datanya berarti BPS punya, ini kan orang hanya memperkirakan. Yang pakai Tokopedia, Lazada, dan sebagainya itu mungkin yang kelihatan, yang lewat Instagram, Facebook, memangnya ketangkap sama BPS atau otoritas,” katanya.

BPS mencatat ekonomi Indonesia menurut pengeluaran pada triwulan III-2017 tumbuh mencapai 5,06% secara tahunan (year-on-year/yoy) yang peningkatannya didorong oleh semua komponen. Seluruh komponen PDB pengeluaran tumbuh positif. Pertumbuhan yang tertinggi adalah ekspor yaitu 17,27%.
Investasi yang ditunjukkan dengan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh 7,11%. Sedangkan konsumsi Rumah Tangga (RT) tumbuh 4,93% dan konsumsi pemerintah paliing rendah pertumbuhannya yaitu 3,46%.

Terkait dengan ekspor, sebagian besar ekspor Indonesia ditujukan ke China, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Singapura. Ekspor nonmigas tumbuh 20,51% (yoy) dengan komoditas utamanya adalah lemak dan minyak hewan nabati. Sementara ekspor migas tercatat tumbuh 3,20% (yoy).

Ekspor jasa juga tumbuh 12,40% seiring dengan peningkatan jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia dan juga penerimaan devisa yang masuk dari pariwisata. Di sisi lain, impor barang dan jasa berkontribusi sebesar 18,82% sebagai faktor pengurang dalam PDB dan mengalami pertumbuhan sebesar 15,09% (yoy).

“Impor barang konsumsi naik dan naiknya sebesar 17%. Kemarin kita ekspor besar, impornya juga besar. Biasanya impor besar barang modal sama penolong, ini ternyata impor barang konsumsinya juga naik karena online makin kencang. Ia beli barang impor mungkin murah atau memang disenangi oleh consumer,” ujar Bambang.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey membeberkan terkait banyaknya toko serba ada (toserba) atau ritel yang berguguran. Roy mengatakan, pengoperasian ritel saat ini di bawah performa yang disebabkan oleh gaya hidup masyarakat Indonesia. Dia memastikan, perubahan gaya hidup bukan karena beralih dari offline ke online, melainkan disebabkan oleh meningkatnya pendapatan.

“Terjadi shifting costumer behavior, kenapa bisa terjadi? Karena ini dimulai pada puncaknya 2012 tumbuh 14% atau sesuai indeks pertumbuhan yang normal, pada saat puncaknya itu ketika kita memiliki pendapatan per kapita yang menarik di atas USD3.000, pola hidup ikut berubah,” kata Roy. (lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *