Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Sukoso membantah isu pengembalian kewenangan memberikan sertifikat halal ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut Sukoso, penerbitan sertifikasi halal tetap menjadi kewenangan Kementerian Agama (Kemenag).
semarak.co -“Sesuai amanat UU 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, pasal 6, salah satu dari 10 kewenangan BPJPH adalah mengeluarkan dan mencabut sertifikasi halal dan label halal pada produk. Sedang MUI, sebagaimana diatur dalam pasal 10, berwenang dalam memberikan fatwa kehalalan produk,” tegas Sukoso di Jakarta, Sabtu (7/12/2019).
Artinya, lanjut Sukoso, sesuai amanat regulasi, pemberian sertifikasi halal adalah kewenangan BPJPH Kemenag. Ada tiga pihak utama yang berperan dalam layanan sertifikasi halal, yakni Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), MUI dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Menurut Guru Besar Universitas Brawijaya Malang ini, proses, tahapan dan kewenangan terkait sertifikasi halal sudah diatur juga dalam Peraturan Menteri Agama No 26 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal.
LPPOM MUI hanyalah salah satu dari LPH. Layanan sertifikasi halal itu sendiri mencakup pengajuan permohonan sertifikasi halal, pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk, pengkajian ilmiah terhadap hasil pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk, pelaksanaan sidang fatwa halal, dan penerbittan sertifikasi halal.
“BPJPH berwenang dalam pengajuan permohonan dan penerbitan sertifikasi halal. MUI berwenang dalam pelaksanaan fatwa halal. Sedang LPH berwenang dalam pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk,” lanjutnya.
Kunjungan Layanan
Sejak 17 Oktober 2019, layanan sertifikasi halal sudah mulai berjalan. BPJPH bekerja sesuai kewenangannya, membuka layanan pengajuan sertifikasi. Layanan ini berjalan tidak hanya di pusat, tapi juga di Kanwil Kemenag Provinsi dan Kantor Kemenag Kab/Kota.
Prosesnya melalui Sistem Informasi Halal (SiHalal) Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kementerian Agama. “Sejak Oktober hingga awal Desember 2019, total kunjungan layanan sertifikasi mencapai 1.705 kali atau 244 kunjungan per minggu. Selain PTSP Kemenag Pusat, kunjungan terbanyak di Kanwil Kemenag Jawa Barat, lalu Yogyakarta dan Sumatera Utara,” lanjutnya.
Ahli bidang kelautan dan bioteknologi perikanan ini mengatakan, ada sejumlah isu yang ditanyakan publik dalam kunjungan layanan. Terbanyak, menanyakan alur proses sertifikasi, teknis pendaftaran produk, dan persyaratan pendaftaran.
Konsultasi lainnya berkenaan perpanjangan sertifikasi halal, pengembangan produk dan teknis audit/pemeriksaan. “Produk yang paling banyak ditanyakan terkait makanan ringan, minuman dan bahan minuman, serta restoran, roti, dan kue,” ujarnya.
Tarif Layanan
Kepala BPJPH mengatakan, kunjungan layanan yang dilakukan masyarakat tidak hanya konsultasi. Sejak 17 Oktober 2019, BPJPH juga sudah mulai membuka layanan pendaftaran.
Karena Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tarif Layanan Sertifikasi Halal belum ada, Kemenag menerbitkan Keputusan Menteri Agama No 982 tentang Layanan Sertifikasi Halal. KMA ini antara lain mengatur, selama belum ada PMK tentang tarif layanan, maka biaya sertifikasi halal mengacu pada standar yang selama ini diberlakukan LPPOM.
“KMA ini terbit sebagai diskresi agar layanan sertifikasi halal tetap berjalan dengan merujuk pada aturan besaran tarif yang selama ini diberlakukan oleh LPPOM MUI. Sebab, besaran tarif layanan sertifikat halal yang seharusnya dikeluarkan melalui PMK belum ditetapkan,” tegasnya.
Data BPJPH, sampai 7 Desember 2019, sudah ada 154 perusahaan yang mengajukan layanan sertifikasi halal, baik permohonan baru maupun perpanjangan. “Hasil verifikasi tahap awal oleh BPJPH sudah dikirim ke LPPOM MUI sebagai Lembaga Pemeriksa Halal untuk dilakukan tahapan berikutnya,” tuturnya.
Kenapa LPPOM?
Sebelum UU 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal diundangkan, sertifikasi halal dilakukan oleh MUI dan bersifat sukarela. Proses pemeriksaan produknya dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika atau LPPOM MUI.
Setelah UU 33 terbit, sertifikasi halal bersifat wajib bagi barang dan/jasa yang masuk dan beredar di Indonesia. Undang-undang kemudian memberi kewenangan pemeriksaan produk kepada Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Regulasi mengatur bahwa LPH bisa didirikan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat, kampus, baik Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Keagaman Islam Negeri, dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi.
PMA No 26 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal mengatur bahwa syarat pendirian LPH adalah memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya, memiliki akreditasi dari BPJPH, memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium.
“Selain empat persyaratan tersebut, LPH yang didirikan masyarakat melalui lembaga keagamaan Islam berbadan hukum juga harus menyertakan keputusan pengesahan pendirian yayasan atau perkumpulan,” jelasnya.
Sukoso mengakui bahwa saat ini, Indonesia baru memiliki satu LPH, yaitu LPPOM MUI. LPH selain LPPOM MUI belum terbentuk, karena 226 auditor yang disiapkan oleh BPJPH belum diuji oleh LPPOM MUI.
“Sesuai Keputusan Menaker Nomor 266 tahun 2019 tentang SKKNI, kami sudah bersurat ke MUI, meminta dilakukan uji kompetensi bagi calon auditor halal. Keberadaan auditor halal penting karena menjadi syarat pembentukan LPH. BPJPH sudah mendidik 226 calon Auditor Halal. Jika tiap LPH minimal 3 auditor, diharapkan ke depan akan bisa berdiri 79 LPH,” katanya.
Sukoso berharap LPPOM MUI bisa segera melakukan uji kompetensi sehingga banyak auditor halal. Dengan demikian, publik bisa segera membentuk LPH. “Harapan lainnya, PMK tentang tarif layanan sertifikasi segera terbit,” tandasnya. (smr)