Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan banyak perekonomian di negara G20 menunjukkan adanya pembalikan pada kuartal ketiga 2020. Hanya saja, pemulihan itu dinilai masih sangat awal dan masih sangat rapuh.
semarak.co-Karena itu, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 membahas agar kebijakan-kebijakan untuk mendukung pemulihan ekonomi tetap dilakukan dan jangan ditarik terlalu dini.
Di dalam pembahasan di dalam finance track, Sri Mulyani mengupayakan agar kebijakan-kebijakan untuk mendukung pemulihan ekonomi tetap dilakukan dan jangan ditarik terlalu dini.
“Artinya, kebijakan fiskal, moneter, dan regulasi sektor keuangan harus tetap dijalankan sampai ekonomi betul-betul pulih secara kuat,” ujar Menkeu secara virtual, Minggu (22/11/2020).
Dalam pertemuan internasional itu, negara-negara juga membahas mengenai pembiayaan dari vaksin COVID-19 yang diperkirakan membutuhkan sumber daya sangat besar. Sehingga, muncul pembahasan mengenai bagaimana negara-negara terutama negara berkembang bisa mendapatkan akses vaksin.
Sri Mulyani menekankan pentingnya peranan lembaga multilateral dalam memberikan dukungan pendanaan bagi negara-negara berkembang atau negara miskin untuk mendapatkan vaksin.
Ia menyebut akses terhadap vaksin ini penting karena tidak akan ada pemulihan ekonomi di seluruh dunia sampai seluruh negara mendapatkan akses vaksin. Selanjutnya, Sri Mulyani mengatakan yang akan disampaikan dalam KTT G20 adalah menyangkut Debt Service Suspensions Initiative (DSSI).
“Ini adalah inisiatif untuk memberikan fasilitas relaksasi bagi pembayaran utang negara-negara miskin, yang saat ini dihadapkan pada kondisi ekonomi dan fiskalnya yang sangat sangat sulit,” ujar Sri Mulyani.
Di dalam pembahasan yang kemudian didukung lembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia menyepakati untuk memberikan relaksasi cicilan utang yang pada mulanya sampai akhir 2020, kemudian diperpanjang hingga pertengahan 2021.
Tujuannya agar negara yang berpendapatan rendah memiliki ruang fiskal yang cukup untuk bisa menangani COVID-19. Pada hari pertama ini, kata Sri Mulyani, tentu fokusnya adalah pada pemulihan ekonomi dan kondisi ekonomi secara global.
“Di mana seluruh pimpinan negara akan menyamakan dukungan dari sisi kebijakan untuk bersama-sama memulihkan ekonomi akibat COVID yang sangat luar biasa,” ucapnya.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan perlunya restrukturisasi kredit sebagai akibat dampak pandemi Covid-19. Sebagaimana juga telah diperingatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa potensi kredit macet bisa membengkak 16%.
Dalam catatan OJK per September 2020, rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) industri perbankan masih di kisaran 3,15%. “Walaupun masih berada dalam batas aman, bukan berarti kita bisa menyepelekannya,” ujar Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo.
Kehadiran POJK 11/2020 tentang restrukturisasi harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh para pelaku usaha, termasuk UMKM. Antara lain untuk mendapatkan penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit/pembiayaan, dan/atau konversi kredit/pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara.
“Sehingga NPL tidak meningkat mencapai 16 persen lebih,” ujar Bamsoet dalam Seminar Nasional Restrukturisasi Keuangan dan Bisnis dalam Menghadapi Krisis Ekonomi yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang Jawa Tengah, secara virtual di Jakarta, Jumat (27/11/20).
Ketua DPR RI ke-20 ini mengingatkan bahwa OJK telah menyampaikan perkembangan terbaru terkait dengan restrukturisasi kredit perbankan yang terkena dampak pandemi Covid-19. Hingga 20 November, berdasarkan laporan bank-bank ke OJK, total kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp932,6 triliun
“Ini tercatat terbesar sepanjang sejarah. Melibatkan 7,53 juta debitur. Dengan komposisi 5,84 juta terdiri dari debitur di sektor UMKM dengan outstanding Rp369,83 triliun. Sisanya 1,69 juta dari nonUMKM dengan total kredit yang direstrukturisasi senilai Rp 562,54 triliun,” ulasnya.
Calon Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini mengungkapkan, dalam rangka restrukturisasi keuangan dan bisnis, perlu mengoptimalkan peran penting dari segenap pemangku kepentingan. Antara lain pemerintah melalui kebijakan fiskal berupa stimulus pajak dan belanja negara, serta investasi.
Bank Indonesia melalui pelonggaran kebijakan moneter, penerapan prinsip kehati-hatian pada sistem keuangan makro atau makroprudensial, dan sistem pembayaran serta OJK melalui pengawasan mikroprudensial perbankan dan industri keuangan nonbank.
“Fokus upaya pemulihan ekonomi harus dilakukan dengan mendorong sektor ekonomi produktif dan aman dari Covid-19, baik secara nasional maupun di masing-masing daerah,” ujar Bamsoet yang juga Politisi Golkar.
Percepatan melalui penyerapan anggaran, lanjut dia, baik anggaran pusat (APBN) maupun daerah (APBD), juga akan memberikan dampak signifikan dalam mendorong permintaan agregat dan pemulihan ekonomi nasional.
Dalam upaya penanganan dampak pandemi Covid-19, kata Bamsoet, pemerintah telah menggelontorkan dana yang cukup besar dalam APBN 2020, sebesar Rp 695,2 triliun. “Anggaran ini dialokasikan untuk pembiayaan kesehatan, perlindungan sosial, insentif usaha, UMKM, pembiayaan korporasi, serta sektoral dan Pemda,” ujarnya.
Pembiayaan kesehatan sebesar Rp87,6 triliun dialokasikan untuk belanja penanganan Covid-19, insentif tenaga medis, santunan kematian, bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN), Gugus Tugas Covid-19 dan insentif perpajakan di bidang kesehatan.
Anggaran untuk perlindungan sosial sebesar Rp 203,9 triliun meliputi pembiayaan untuk program keluarga harapan (PKH), bantuan logistik/pangan/sembako, bantuan sosial untuk wilayah Jabodetabek dan luar Jabodetabek, insentif prakerja, subsidi biaya listrik, serta bantuan langsung tunai (BLT) dana desa.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menerangkan, anggaran insentif usaha sebesar Rp 120,6 triliun dialokasikan untuk cadangan pengeluaran, pajak penghasilan (PPh) pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), pembebasan PPh 22 impor, pengurangan angsuran PPh, pengembalian pendahuluan, penurunan tarif PPh badan, serta stimulus lainnya.
Sementara untuk UMKM sebesar Rp 123,5 triliun diperuntukkan bagi subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi, belanja imbal jasa penjaminan (IJP), penjaminan untuk modal kerja, PPh final UMKM DTP, serta pembiayaan investasi kepada koperasi melalui lembaga pengelola dana bergulir (LPDB) koperasi dan KUMKM.
“Ada pula pembiayaan korporasi sebesar Rp 53,6 triliun, dialokasikan untuk penempatan dana restrukturisasi padat karya, belanja imbal jasa penjaminan (IJP) padat karya, penjaminan untuk modal kerja padat karya, penyertaan modal negara, serta talangan untuk modal kerja,” terang Bamsoet, mantan wartawan.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, pemerintah juga menyiapkan alokasi anggaran untuk sektoral dan Pemda sebesar Rp 106,1 triliun diperuntukkan bagi program padat karya kementerian/lembaga, insentif perumahan, pariwisata, dana insentif daerah (DID) pemulihan ekonomi, cadangan dana alokasi khusus (DAK) fisik serta fasilitas pinjaman daerah.
“Besarnya alokasi anggaran untuk penanganan dampak pandemi, di satu sisi adalah wujud kesungguhan pemerintah guna menangani pandemi dengan segala dampak yang ditimbulkan,” ujar Bambang seperti dilansir WAGRoup pengurus PWI DKI Jakarta Guyub PWI Jaya, Sabtu (29/11/2020).
Di sisi lain, alokasi anggaran yang besar ini juga mengamanatkan pentingnya monitoring yang cermat dalam pelaksanaannya, agar benar-benar transparan, akuntabel, optimal dan benar-benar memberi dampak nyata bagi kehidupan masyarakat. Khususnya, mereka yang terdampak pandemi,” pungkasnya. (pos/smr)