Ayah Korban Sebut Sidang Pembunuhan Laskar FPI Manipulatif, Pengacara Azis Tolak Hadir karena Anggap Dagelan

Terdakwa kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar FPI yaitu Briptu Fikri Ramadhan menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/10/2021). PN Jaksel mengelar sidang perdana kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar FPI dengan terdakwa Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan dengan agenda pembacaan dakwaan. Foto: republika.co.id

Sidang kasus pembunuhan di luar proses hukum atau unlawfull killing terhadap enam laskar front pembela Islam (FPI) di tol Jakarta-Cikampek KM 50 digelar Senin (18/10/2021) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

semarak.co-Mantan ketua dewan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Jaksel sekaligus ayah dari salah seorang korban, Syuhada menyebut sebagai sidang manipulasi lantaran digelar di pengadilan negeri bukan di pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Syuhada merupakan orang tua dari salah satu laskar FPI bernama Faiz Ahmad Syukur.

Bacaan Lainnya

“Sidang manipulasi. Sidang abal-abal itu tidak akan sedikit pun memenuhi rasa keadilan rakyat, malah justru sebaliknya, semakin menambah kezaliman kalian di mata rakyat,” sindir Syuhada melalui pesan elektronik kepada republika.co.id yang dilansir Selasa 19 Oct 2021 15:58 WIB.

Kalau mau adil, nilai Syuhada, mestinya yang disidang adalah Kapolda Metro Jaya Irjen Muhammad Fadil Imran dan Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman. “Sidangnya bukan di pengadilan negeri, tapi di pengadilan HAM juga,” katanya.

Syuhada mengatakan, sidang seharusnya dilakukan atas penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) yang berarti proses hukuman mati tanpa proses pengadilan. Sebab, kata dia, enam laskar FPI itu disiksa dan dibantai langsung dalam peristiwa KM 50 tersebut.

Tidak hanya itu, Syuhada menyebutkan, para korban laskar itu masih saja difitnah meski telah berbeda alam kehidupan. Seperti dalam pernyataan yang disampaikan kuasa hukum kedua terdakwa bahwa petugas polisi diserang oleh anggota Laskar FPI saat melaksanakan tugas pemantauan hingga akhirnya peristiwa penembakan terjadi.

Anggota Laskar FPI disebut berupaya merebut senjata terdakwa. “Perekayasa sidang dagelan tersebut dan semua yang terlibat, otomatis memilih sendiri untuk berdiri di barisan para penyiksa dan pembunuh 6 Laskar FPI sehingga mereka pun berhak menikmati QS Annisa ayat 93, Inshaa Alloh,” tambah Syuhada.

Sebelumnya Kuasa hukum keluarga enam laskar FPI, Azis Yanuar sidang itu merupakan dagelan para penegak hukum semata. Karena, lanjut Azis, sejak peristiwa pembunuhan terhadap enam anggota laskar FPI, para tersangka tidak ditangkap maupun dipenjara.

Dua anggota polisi berinisial FR dan MYO yang diduga menembak enam laskar FPI pengawal Rizieq Shihab di Tol Jakarta-Cikampek tersebut tetap aktif bekerja sebagai anggota polisi Polda Metro Jaya.

“Para pelaku penembakan tidak ditangkap dan ditahan. Menurut Komnas HAM dalam surveilans itu ada surat perintahnya. Jika itu benar, siapa yang memerintahkan? Mengapa yang memerintah tidak diungkap dan tidak ditahan juga,” kata Azis saat dikonfirmasi, Senin (18/10/2021).

Hal tersebut, nilai Aziz, membuktikan kemungkinan diduga sidang dan proses itu hanya dagelan. Karenanya, baik Azis maupun pengacara lain yang mewakili keluarga korban, menganggap bahwa sidang dan proses hukum yang menjerat dua tersangka yang merupakan anggota polisi tersebut hanyalah formalitas belaka.

Azis mengaku bahkan tidak tertarik untuk mengikuti semua proses dagelan tersebut. “Kami tidak tertarik pada dagelan, kami tidak akan (hadir di persidangan).Pihak keluarga korban pelanggaran HAM dalam peristiwa pembunuhan enam anggota Laskar FPI meminta agar pengadilan mengungkap dalang utama peristiwa KM 50 Tol Jakarta Cikampek.

Pengacara Azis Yanuar menilai, dakwaan jaksa terhadap dua polisi pelaku pembunuhan sadis itu adalah gambaran umum dugaan keterlibatan otoritas elite di lingkungan kepolisian yang memberi perintah pembantaian.

Azis juga mengatakan, dakwaan jaksa yang dibacakan untuk Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorello itu menguatkan kasus tersebut sebagai pelanggaran HAM berat. “Dari dakwaan itu, seharusnya penegak hukum dan pemerintah sadar. Karena itu (dakwaan), bukti pembunuhan enam Laskar FPI itu, adalah pelanggaran HAM berat,” ujar Azis, Selasa (19/10/2021).

Dakwaan jaksa itu pun dinilai menjawab kebenaran investigasi mandiri yang dilakukan media dan individu lainnya tentang terjadinya pembunuhan yang disertai ragam penyiksaan. “Karena faktanya, di dalam dakwaan juga disebutkan mereka enam laskar itu disiksa, dan dibunuh dengan cara-cara yang keji. Dan ini adalah pelanggaran HAM berat,” ujar Azis.

Menurut dia, dakwaan tersebut juga menguatkan adanya perintah. Itu karena sebelum peristiwa pembunuhan terjadi, terungkap tiga surat perintah Polda Metro Jaya, sebagai dasar aksi pengintaian terhadap Habib Rizieq Shihab.

Pengintaian terhadap Habib Rizieq tersebut yang menjadi pangkal peristiwa yang  berujung pada pelanggaran HAM, pembantaian para pengawalnya di Rest Area KM 50, dan KM 50+200 Tol Japek, Kawarang, Jawa Barat tersebut.

“Kami meminta, dan memohon kepada semua pihak, pengadilan, media, dan masyarakat yang masih mencintai keadilan untuk membongkar dalang dan motif dari kasus ini,” ujar Azis.

Sidang yang dipimpin Ketuai Majelis Hakim Arief Nuryanta itu menyeret dua anggota Resmob Polda Metro Jaya sebagai terdakwa. Keduanya adalah Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorello.

Sebetulnya, ada satu pembunuh lainnya dalam kasus tersebut, yakni Ipda Elwira Priadi. Akan tetapi, tersangka terakhir itu diklaim telah meninggal dunia pada Maret 2021 sehingga tak dapat didakwa ke pengadilan.

Saat sidang perdana kasus tersebut, terungkap nama-nama anggota kepolisian lain yang terlibat. Selain tiga nama yang sudah disebut, ada empat anggota Resmob Polda Metro Jaya yang juga terlibat. Namun, nama-nama lainnya itu, dalam kasus ini, masih dilabel sebagai saksi.

Dalam dakwaan jaksa, juga terungkap pembunuhan terhadap enam Laskar FPI dengan menggunakan peluru tajam yang ditembakkan dari jarak sangat dekat. Ada 19 peluru tajam yang membunuh para korban. Selain itu, terdapat luka-luka mengerikan di sekujur tubuh para laskar.

Sidang kasus tersebut akan kembali digelar pada Selasa (26/10/2021) mendatang dengan agenda pembuktian. Dalam rencana sidang kedua tersebut, majelis hakim meminta jaksa mulai menghadirkan saksi-saksi. JPU berencana menghadirkan delapan orang saksi dalam sidang lanjutan itu.

Akan tetapi, belum diketahui nama-nama yang bakal dihadirkan sebagai saksi. Kasus pembunuhan enam anggota Laskar FPI menghadirkan dua anggota kepolisian aktif, yakni Ipda M Yusmin Ohorella (MYO) dan Briptu Fikri Ramadhan (FR) akan dihadirkan sebagai terdakwa.

Dari hasil investigasi Komnas HAM, pembunuhan enam nyawa tersebut sebagai pelanggaran HAM berupa unlawfull killing atau pembunuhan yang terorganisir tanpa ada dasar hukum. Akan tetapi, dari enam korban pembunuhan tersebut, hanya empat kasus yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.

Sebelumnya, JPU menjerat terdakwa pembunuhan Laskar FPI di KM 50 Tol Japek, yakni Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorello dengan sangkaan Pasal 338 KUH Pidana dan Pasal 351 ayat (3) KUH Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Keduanya terancam hukuman penjara antara 7 sampai 15 tahun penjara.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat terdakwa perkara dugaan pembunuhan anggota Laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek atau dikenal dengan kasus unlawful killing, Briptu Fikri Ramadhan dengan dakwaan pasal pembunuhan dan penganiayaan. Fikri saat ini adalah anggota polisi nonaktif.

“Bahwa akibat perbuatan terdakwa melakukan penganiayaan secara bersama-sama dengan saksi Ipda M Yusmi Chorella dan Ipda Elwira Priadi Z (Almarhum) mengakibatkan matinya Andi Oktiawan, Faiz Ahmad Syukur, Lutfi Hakim, Akhmad Sofiyan, M. Reza, dan Muhammad Suci Khadavi Putra,” kata JPU, Zet Tadung Allo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/10/2021).

Jaksa menyatakan, perbuatan Fikri merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 Ayat (3) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam surat dakwaan, jaksa menjelaskan peran Briptu Fikri bersama dua terdakwa lainnya, yakni Ipda M Yusmi Chorella dan Ipda Elwira Priadi Z (Almarhum).

Briptu Fikri disebut termasuk ke dalam salah satu orang yang menyebabkan tewasnya empat laskar FPI. Empat laskar FPI tersebut ditembak di mobil Daihatsu Xenia warna silver bernopol B-1519-UTI yang terjadi di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020.

“Perbuatan terdakwa Fikri Ramadhan merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ujar Allo saat membacakan dakwaan primernya di ruang sidang utama.

Jaksa juga membacakan dakwaan subsider kepada Briptu Fikri Ramadhan. “Perbuatan terdakwa Fikri Ramadhan merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP,” ujar Allo.

Saat ini, baru terdakwa Briptu Fikri R yang dibacakan dakwaannya oleh Jaksa, sementara itu Ipda M Yusmin menyusul pada sidang kedua. Adapun, terdakwa Ipda M Yusmin O juga didakwa dengan pasal serupa dengan Briptu Fikri R berdasarkan salinan dakwaan yang diterima wartawan dengan ditanda tangani oleh Jaksa Utama Pratama, Zet Tadung Allo.

Sidang kasus pelanggaran hak asasi manusia atas meninggalnya enam anggota FPI dilaksanakan secara langsung atau offline dan dihadiri dua terdakwa. Sidang dimulai pukul 10.30 WIB dengan agenda pembacaan dakwaan oleh JPU.

Persidangan dipimpin Majelis Hakim yang terdiri atas M Arif Nuryanta selaku hakim ketua, serta dua hakim anggota masing-masing Haruno dan Elfian. Adapun sidang perdana untuk terdakwa Briptu Fikri Ramadhan, sedangkan pembacaan dakwaan untuk Ipda M Yusmin O digelar setelah dzuhur. Kedua terdakwa merupakan anggota polisi di Polda Metro Jaya berstatus aktif hingga saat ini.

Tim penasehat hukum dari dua terdakwa dugaan pembunuhan anggota Laskar FPI, Briptu FR dan Ipda M Yusmin Chorella tidak mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Salah satu penasehat hukum terdakwa, Henry Yosodiningrat mengatakan, dakwaan jaksa telah memenuhi syarat-syarat dakwaan menurut KUHP.

“Secara jujur, proposional, kami melihat bahwa dakwaannya sudah disusun dengan baik. Sudah memenuhi syarat-syarat dakwaan menurut KUHP. Sehingga kami tidak menyatakan eksepsi atau tidak menyatakan keberatan,” kata Henry Yosodiningrat dalam sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/10/2021).

Namun demikian, lanjut Henry, ada beberapa catatan sesuai dengan uraian penuntut umum sendiri yang dianggap perlu diangkat dan diketahui publik, yakni perihal latar belakang pada peristiwa tersebut.

“Apa sih yang melatarbelakangi peristiwa ini dan apa sih yang terjadi yang dialami anggota kepolisian atas perlakuan dari FPI itu. Itu saja. Jadi, tidak ada hal-hal lain. Kalau begitu kan kami tidak ajukan eksepsi, atau keberatan. Nah ini nanti tidak terangkat. Saya coba dengan forum itu tadi,” kata dia.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang perdana kasus penembakan anggota FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek atau disebut unlawful killing. Sidang dilaksanakan secara langsung dihadiri dua terdakwa.

Sidang dimulai pukul 10.30 WIB dengan agenda pembacaan dakwaan JPU. Persidangan dipimpin Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara terdiri atas M Arif Nuryanta selaku hakim ketua, serta dua hakim anggota masing-masing Haruno dan Elfian.

JPU menjerat dua terdakwa, Briptu FR dan Ipda M Yusmin O dengan Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 Ayat (3) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

“Bahwa akibat perbuatan terdakwa melakukan penganiayaan secara bersama-sama dengan saksi Ipda M Yusmi Chorella dan Ipda Elwira Priadi Z (Almarhum) mengakibatkan matinya Andi Oktiawan, Faiz Ahmad Syukur, Lutfi Hakim, Akhmad Sofiyan, M Reza, dan Muhammad Suci Khadavi Putra,” kata Jaksa Zet Tadung Allo membacakan dakwaan Briptu Fikri Ramadan.

Dalam surat dakwaan, jaksa menjelaskan peran Briptu Fikri bersama dua terdakwa lainnya, yakni Ipda M Yusmi Chorella dan Ipda Elwira Priadi Z (Almarhum) yang menyebabkan tewasnya enam laskar FPI. Dua orang tewas ditembak saat kejar-kejaran mobil. Sementara empat laskar FPI lainnya tewas ditembak dalam mobil Daihatsu Xenia ketika dibawa oleh tiga polisi itu ke Polda Metro Jaya.

Sidang perdana kasus pembunuhan enam anggota FPI mengungkap tentang bagaimana cerita tiga anggota Resmob Polda Metro Jaya menembak mati para laskar tersebut. Dalam dakwaan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) Zet Tadung Allo di PN Jaksel, Senin (18/10/2021), terungkap peran dari terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella, bersama Ipda Elwira menembak mati para pengawal sayyid!lhabib  pada 7 Desember 2020.

Dalam dakwaan, tercatat ada 19 luka-luka bekas peluru yang tertanam pada enam jenazah para anggota Laskar FPI. Masing-masing mereka ditembak mati minimal sedikitnya dua kali menggunakan peluru tajam. Luka peluru, dikatakan Tadung, berada di areal vital seperti dada, pelipis mata, dan bagian pinggiran tulang paru-paru, dan lengan.

Tadung menerangkan, ada dua lokasi pembunuhan dari rentetan kasus yang menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu sebagai unlawful killing.

Pembunuhan pertama, terhadap;

  • Faiz Ahmad Syukur (22 tahun) dan
  • Andi Oktiawan (33).

Dikatakan dua pemuda itu ditembak mati di Rest Area Km 5O saat terjadi aksi kejar-kejaran dengan mobil di tol. Aksi saling kejar-mengejar itu berujung pada perlawanan dan saling serang. Bahkan dikatakan, terjadi tembak-menembak dengan senjata api.

Dua anggota laskar tersebut berusaha melawan empat anggota kepolisian, Bripka Faisal Khasbi Alaeya sebagai supir, terdakwa Briptu Fikri, Ipda Elwira, dan Ipda Yusmin. Bripka Faisal yang pertama kali melepas tembakan ke arah mobil FPI.

Dua kali dia melepaskan peluru tajam ke arah udara sebagai peringatan, dan ke bagian ban kendaraan laskar FP!’ agar dipaksa berhenti. Namun, tembakan ke arah mobil FP!’ juga dilakukan oleh Ipda Elwira dengan menyasar ke arah bagian penumpang di dalam mobil FP!

Ia menggunakan pistol Sig Sauer 9 Mm. Ipda Yusmin dan Briptu Fikri pun disebut ikut melepaskan tembakan dengan jenis pistol serupa ke arah penumpang di dalam mobil FP!’ yang sedang kejar-mengejar itu.

Namun, pistol milik Ipda Yusmin macet. Dikatakan jaksa, Ipda Yusmin pun mengambil pistol milik Bripka Faisal yang terselip di bagian paha dan kembali menembaki mobil FPI. “Terdakwa Ipda Yusmin Ohorella, melakukan penembakan beberapa kali, yang diikuti juga oleh terdakwa Ipda Fikri Ramadhan, turut melakukan penembakan dengan senjata api CZ C063937 Kal 9 Mm ke arah penumpang mobil FPI, dengan jarak tembak sekitar satu meter,” begitu kata jaksa.

Berondongan tembakan, menyarangkan tiga peluru yang menewaskan Andi Oktiawan. Dari hasil visum, dikatakan jaksa, luka tembak tersebut terdeteksi dua peluru masuk bagian dada depan, dan satu peluru masuk ke bagian pelipis mata kiri.

Rentetan tembakan dari Ipda Elwira, Ipda Yusmin, dan Briptu Fikri, juga menyarangkan tiga peluru yang membuat Faiz Ahmad Syukur tewas. Dari hasil visum, ditemukan dua luka tembak di dada kiri dan satu peluru masuk ke bagian lengan bawah.

Sedangkan lokasi pembunuhan kedua, berada di Km 5O+ 200 meter.

Dikatakan jaksa, Ipda Yusmin, bersama Ipda Elwira dan Briptu Fikri membawa empat anggota FP!’ lainnya ke dalam sebuah mobil Xenia B 1519 UTI. Keempat anggota FP!’ yakni:

  • Muhammad Reza (20),
  • Akhmad Sofiyan (26),
  • Muhammad Suci Khadavi Poetra (21),
  • Luthfi Hakim (25).

Keempat pemuda tersebut, saat digiring ke dalam mobil polisi, masih dalam kondisi hidup. “Bahwa keempat orang anggota FP!’ yang dipindahkan ke mobil Xenia B 1519 UTI tersebut, dilakukan dengan cara dimasukkan melalui pintu bagasi belakang, dan diperintahkan agar duduk secara jongkok di atas kursi yang terlibat,” ujar Tadung melanjutkan dakwaannya.

Kata dia, keempat anggota FP!’ tersebut tak diborgol ataupun diikat. Muhammad Reza duduk jongkok di belakang paling kiri, Akhmad Sofiyan di belakang posisi tengah, Muhammad Suci Khadavi berada di paling belakang di posisi kanan, dan Luthfi Hakim berada di posisi kanan kursi tengah.

Disampingnya, di kursi tengah, membelakangi Reza, Sofiyan, dan Khadavi, ada Briptu Fikri yang mengawasi keempat anggota FP!’ tersebut. Sementara Ipda Yusmin juga berada dalam Xenia B 1519 UTI tersebut, sebagai pengemudi, ditemani Ipda Elwira yang berada di kursi depan sebelah kiri.

“Bahwa sekira jam 01.50 WIB, terdakwa Ipda Yusmin dan terdakwa Briptu Fikri Ramadhan bersama Ipda Elwira menggunakan mobil Xenia B 1519 UTI membawa empat anggota FP!’ tersebut, menuju Polda Metro Jaya,” kata Tadung.

Akan tetapi, sebentar kendaraan nahas tersebut jalan, Reza yang duduk jongkok persis di belakang Briptu Fikri dikatakan nekat melakukan penyerangan. “Seketika Muhammad Reza mencekik leher Briptu Fikri,” terang Tadung dalam dakwaannya.

Luthfi Hakim, yang duduk di sebelah Briptu Fikri pun ikut membantu Muhammad Reza. “Luthfi Hakim, berusaha untuk merebut senjata api milik Briptu Fikri,” begitu dalam dakwaan.

Akan tetapi, Tadung mengatakan, upaya merebut senjata itu tak berhasil. Meskipun, dua anggota FP!’ lainnya, Akhmad Sofiyan dan Suci Khadavi, pun akhirnya turut membantu. “Akhmad Sofiyan dan Muhammad Suci Khadavi Poetra juga turut membantu kedua temannya (Muhammad Reza dan Luthfi Hakim), dengan ikut mengeroyok Briptu Fikri dengan menjambak,” ujar Tadung.

Akan tetapi, serangan empat laskar FP!’ itu kepada Briptu Fikri tak berhasil merebut senjata. Briptu Fikri, pun meminta tolong, dengan berteriak-teriak kepada Ipda Yusmin dan Ipda Elwira yang berada di kursi depan.

Mendengar teriakan dari Briptu Fikri, kata jaksa, Ipda Yusmin yang sedang menyetir melihat keributan di barisan belakang. Dia memberikan aba-aba kepada Ipda Elwira. Aba-aba tersebut pun direspons Ipda Elwira dengan menembak Luthfi Hakim. “Ipda Elwira menembak Luthfi Hakim, dengan senjatanya sebanyak empat kali,” begitu dalam dakwaan.

Luthfi Hakim pun tewas seketika dengan luka tembak di bagian dada depan dengan jarak dekat. Dikatakan jaksa, tembakan tersebut sampai membuat peluru menembus tubuh Luthfi Hakim dengan bukti adanya bekas hantaman peluru tajam di pintu bagasi belakang Xenia B 1519 UTI.

Kata jaksa Tadung, Ipda Elwira juga yang menembak mati Akhmad Sofiyan. “Ipda Elwira kembali mengarahkan tembakan ke arah Akhmad Sofiyan yang duduk di belakang tengah sebanyak dua kali tembakan,” ujar jaksa. Peluru juga menembus dada Akhmad Sofiyan.

Setelah penembakan membabi-buta yang dilakukan Ipda Elwira, kondisi Briptu Fikri yang sebelum dalam pengroyokan sudah dalam posisi aman terlepas dari cekikan dan jambakan. Tersisa dua anggota laskar FP!’ yang masih hidup. Yakni, Muhammad Suci Khadavi dan Muhammad Reza.

Keduanya pun dikatakan jaksa sudah tak melakukan perlawanan. Namun, Briptu Fikri juga akhirnya menghabisi nyawa 2 laskar FP!’ tersisa itu. “Entah apa yang ada dalam benak Briptu Fikri, tanpa rasa belas kasihan, dengan sengaja merampas nyawa orang lain,” kata jaksa.

Briptu Fikri, dikatakan jaksa membalikkan badannya mengarah ke kursi belakang tempat Muhammad Reza dan Suci Khadavi berada. “Dengan jarak hanya beberapa sentimeter, menembakkan senjatanya dua kali ke dada Muhammad Reza sampai peluru tertembus ke pintu bagasi belakang. Dan selanjutnya, mengarahkan senjata apinya ke Suci Khadavi, dan menembak sebanyak tiga kali di dada kiri yang juga tertembus,” kata jaksa.

Atas perbuatan Briptu Fikri, Ipda Yusman keduanya dibawa ke pengadilan untuk pertanggungjawaban hukum. Sementara Ipda Elwira, meskipun statusnya adalah tersangka dalam kasus pembunuhan laskar FP!’ tersebut, tetapi tak diajukan ke pengadilan lantaran sudah dinyatakan tewas akibat kecelakaan sebelum kasusnya limpah perkara.

Di pengadilan, tim jaksa penuntut umum, dalam dakwaannya menjerat Ipda Yusman dan Briptu Fikri dengan Pasal 338 dan Pasal 351 ayat (3) KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana dengan ancaman pidana 15 dan tujuh tahun penjara.

 

sumber: republika.co.id di WAGroup ALUMNI HMI (postSelasa19/10/2021/mahdi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *