ATVSI:Penerapan Konsep Single Mux Berpotensi Ciptakan Monopoli

Ketua ATVSI Ishadi SK

Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menyoroti masuknya draft RUU Penyiaran ke daftar pengesahan. ATVSI menekankan akan pentingnya 7 poin, yaitu Rencana Strategis Jangka Panjang, Pembentukan Asosiasi, Penentuan Model Migrasi, Durasi Iklan Komersial, Aturan Iklan Rokok, Persentase Siaran Lokal dan Perizinan.

Sekretaris Jenderal ATVSI Neil R Tobing mengatakan, salah satu aturan penting dalam rangka migrasi digital adalah diperkenalkannya konsep single mux operator dan penetapan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) sebagai satu-satunya penyelenggara penyiaran multipleksing digital. Konsep ini, kata Neil, diharapkan dapat menghasilkan penerimaan PNBP yang jauh lebih besar dari hasil penyewaan kanal dan infrastruktur yang dikelola oleh LPP RTRI.

Pengamat Penyiaran Kamilov Sagala menyampaikan, RUU Penyiaran ini memiliki kecenderungan untuk membentuk struktur monopoli baru di bidang penyiaran. Dengan ditetapkannya single mux operator, kata Sagala, ditakutkan akan muncul sistem monopoli. Dimana hak penyiaran hanya akan dipegang RTRI (Radio Televisi Republik Indonesia). Hal ini tentunya bertentangan dengan UU Antimonopoli.

Koordinator Masyarakat Pers dan Penyiaran (MPPI) perancang awal RUU Penyiaran 1999-2002 Sabam Leo Batubara yang menganggap status Menkominfo sebagai penentu kebijakan, pengatur, pengawas dan pengendali penyiaran tidaklah konstitusional.

“Harusnya kita mengikuti sistem penyiaran Australia. Dimana DPR yang menjadi penentu kebijakan, pengatur, pengawas dan pengendali penyiaran, bukanlah pemerintah dalam hal ini Menkominfo,” sindir Leo dalam satu diskusi di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, Rabu (7/6), seperti dirilis Kamis (8/6).

Selanjutnya DPR akan memberikan kewenangan kepada KPI sebagai lembaga independen yang akan mengawasi pedoman perilaku penyiaran dan standar program penyiaran. “KPI yang independen artinya lepas dari aneka ragam kepentingan politik di fraksi. Pemerintah haruslah membentuk panitia seleksi yang professional,” tutur Leo.

Komunitas pro-demokrasi dan aktivis pers, nilai Leo, harus diikutsertakan dalam pembahasan RUU Penyiaran. Hal ini untuk menghindari adanya paradigma otoriter dalam peraturan tersebut. “Salah satu prinsip konsep clean and good governance adalah “public participation in national policy making”. Jika DPR tidak melibatkan pers dalam pembahasan RUU Penyiaran dapat dipastikan UU Penyiaran tersebut menjadi UU Penyiaran berparadigma otoriter,” tuturnya.

Seperti diketahui, RUU Penyiaran akan segera dibawa ke Rapat Paripurna DPR pada akhir masa sidang ini. Jika pemerintah dan DPR RI menyetujui, RUU Penyiaran ini akan menggantikan Undang Undang Penyiaran No 32 Tahun 2002 dan menjadi landasan utama dari pelaksanaan migrasi sistem penyiaran televisi terrestrial penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog menjadi digital.

Ketua ATVSI Ishadi SK menilai, penerapan konsep single mux berpotensi menciptakan praktik monopoli yang dilarang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penguasaan frekuensi siaran dan infrastruktur oleh single mux operator oleh LPP RTRI menunjukkan adanya posisi dominan atau otoritas tunggal oleh pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.

Penguasaan yang mengarah pada pembatasan ini, kata Ishadi, dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. “Penetapan RTRI sebagai penyelenggara tunggal multipleksing juga berpotensi melanggar Undang-Undang Anti Monopoli, tidak adanya jaminan terselenggaranya standar layanan penyiaran digital yang baik dan kompetitif dan tentunya jaminan kebebasan menyampaikan pendapat melalui layar kaca,” ujar Ishadi.

Selain itu, menurut Ishadi, penetapan single mux operator akan berdampak pada LPS eksisting yang akan menghadapi ketidakpastian karena frekuensi penyiaran dikelola oleh satu pihak saja. Hal itu menyebabkan pemborosan investasi infrastruktur yang sudah dibangun dan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan stasiun televisi yang selama ini mengelola infrastruktur transmisi.

“Penyiaran digital yang diselenggarakan oleh beberapa penyelenggara penyiaran multipleksing atau yang dikenal dengan sistem hybrid, merupakan solusi dan bentuk nyata demokratisasi penyiaran yang merupakan antitesa dari praktek monopoli (single mux). RUU Penyiaran haruslah visioner harus mempertimbangkan kondisi industri televisi eksisting dan sekaligus dapat mengantisipasi perkembangan teknologi serta dapat memenuhi keinginan masyarakat akan kebutuhan konten penyiaran yang baik dan berkualitas,” katanya.

Saat ini, lanjut Ishadi, konsep single mux operator hanya diterapkan oleh dua negara anggota International Telecommunication Union (ITU), yaitu Jerman dan Malaysia. Di kedua negara tersebut, market share TV FTA hanya 10% dan 30% sedangkan sisanya didominasi oleh TV kabel dan DTH. Pemain TV FTA di Jerman ada dua dan tujuh di Malaysia. Hampir semuanya dimiliki pemerintah atau partai penguasa.

Sementara, single mux operator yang baru saja diluncurkan ternyata bukan milik pemerintah. “Pemerintah dan DPR RI harus menetapkan bisnis model migrasi digital yang tepat sehingga dapat menciptakan industri penyiaran yang sehat, kuat dan memiliki daya saing di kancah internasional,” ujarnya.

Perkembangan teknologi yang begitu cepat menuntut adanya penyesuaian dalam industri penyiaran. Untuk menghadapi hal tersebut, pemerintah Indonesia dinilai perlu membuat rencana strategis penyiaran nasional. “Untuk mengantisipasi perkembangan teknologi penyiaran, Indonesia perlu membuat rencana strategis penyiaran nasional,” ungkapnya.

Setidaknya, nilai Ishadi, ada beberapa hal yang perlu dimuat dalam rencana strategis penyiaran tersebut, di antaranya mengatur ketersediaan spektrum frekuensi di era digital, proses migrasi digital termasuk tanggal ‘analog switch off (ASO), antisipasi pengembangan dan teknologi penyiaran masa depan.

“Rencana strategis setidaknya mengatur tentang ketersediaan spektrum frekuensi di era digital, proses migrasi digital termasuk tanggal ‘analog switch off (ASO), antisipasi pengembangan dan teknologi penyiaran masa depan, studi keekonomian dalam rangka menciptakan industri penyiaran yang sehat (sustainable), serta pemenuhan dan pemerataan informasi kepada masyarakat,” ucapnya.

Selain itu, Ishadi juga menilai perlu adanya suatu wadah untuk menyerap aspirasi industri penyiaran dari berbagai organisasi media penyiaran radio dan televisi. Wadah ini diharapkan dapat menguatkan peran industri penyiaran dalam penyusunan kebijakan. “Sinergitas dan optimalisasi peran serta industri penyiaran dalam penyusunan kebijakan penyiaran dan perizinan sangat diperlukan,” tutupnya. (lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *