Oleh Suparno M Jamin *
semarak.co-Sudah hampir dua pekan pelantikan 5 Pjs Gubernur dilaksanakan. Tidak ada suara protes dari kalangan wakil rakyat atau pimpinan partai-partai yg duduk di parlemen. Mungkin mereka semua merasa sudah adem ayem subur makmur urip kecukupan. Padahal penunjukan Pjs terkait erat dengan terselenggaranya PEMILU/PILKADA 2024 secara jujur, adil, aman dan damai.
Sikap adem ayem itu wajar jika Pjs Gubernur hanya berlangsung sekitar 3 – 6 bulan. Tapi kalau Pjs itu berlangsung bertahun-tahun dan Pjs ditunjuk secara sepihak oleh Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sangat aneh, langka, dan tidak sewajarnya mereka bersikap adem ayem.
Sudah selayaknya para wakil rakyat dan partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen bersuara lantang. Masih wajar kalau yang adem ayem tidur nyenyak itu partai pemenang pemilu, tapi kalau yang adem ayem dan tidur nyenyak itu bukan pemenang pemilu, patut dipertanyakan. Sesungguhnya mereka itu siapa mewakili siapa dan dapet apa?
Mungkin juga agak sedikit wajar jikalau yang diam adem ayem itu partai koalisi, GOLKAR, NASDEM, PKB dst. Atau partai abu-abu, artinya ragu-ragu koalisi atau oposisi. Barangkali sudah ada komitmen tersendiri. Yang dipertanyakan adalah PKS yang selama ini masih bertahan sebagai partai oposisi, tapi juga ikut-ikutan adem ayem.
Nyaris tidak bersuara. Sungguh sebuah tontonan politik yang penuh drama komedian, atau mungkin sudah putus asa. Harusnya minimal yang abu-abu maupun yg oposisi melakukan gugatan politik berkolaborasi dengan rakyat.
Bukankah mulai dua pekan yang lalu 5 Pjs Gubernur, yaitu Komjen Purn Polisi Paulus Waterpauw pensiunan Polri telah dilantik sebagai Pjs. Gubernur Papua Barat, Al Muktabar (Sekda Banten) dilantik sebagai Pjs. Gubernur Banten, Akmal Malik dilantik sebagai Pjs. Gubernur Sulawesi Barat.
Selanjutnya Hamka Hendra Noor dilantik Pjs. Gubernur Gorontalo dan Ridwan Djamaluddin juga sudah dilantik sebagai Pjs. Gubernur Bangka Blitung yang ditunggu apa lagi, apa sudah tidak butuh suara? Sementara, masih akan segera dilantik lagi sekitar 101 jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang masa jabatannya akan berakhir tahun ini.
Padahal penunjukan Pjs Kepala Daerah (Kada) tersebut banyak dikritisi berbagai kalangan, karena dianggap telah membajak demokrasi dan merampas prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, dan berpotensi melanggengkan REZIM OLIGARKI. Suara kritis tersebut bukan tanpa alasan.
Pertama: penundaan Pilkada sarat dengan kepentingan politik penguasa.
Kedua: Pjs Gubernur/Bupati/Walikota tersebut semuanya ditunjuk secara sepihak oleh Presiden, tanpa melibatkan DPR selaku wakil rakyat.
Ketiga: Pjs tersebut berpotensi memunculkan politik balas budi atas pemberian bonus jabatan tanpa harus berjuang.
Keempat: masa jabatan Pj nyaris sama dgn Gubernur/Bupati/Walikota hasil Pilkada. Dengan masa jabatan sekitar dua – tiga tahun, Pjs Kada dapat mengambil kebijakan strategis layaknya Kepala Daerah yang dipilih oleh rakyat melalui Pilkada. Antara lain penetapan APBD beserta pertanggungjawabannya, mutasi dan promosi, dst.
Apalagi Pjs Gubernur/Bupati atau Walikota yang ditunjuk rata-rata dari ASN yang merupakan unsur eksekutif, dan merupakan kepanjangan tangan Presiden atau Mendagri. Sedangkan Presiden di rezim hari ini dikenal sebagai petugas partai, setidaknya itu yang bisa dikutip dari statement Ketua umum PDIP Megawati.
Jika para wakil rakyat yang duduk di parlemen dalam menyikapi penunjukan Pjs Kepala Daerah semua bersikap adem ayem masa bodoh, karena mungkin sudah dijinakan, maka tidak berlebihan jikalau banyak yang berpendapat bahwa partai pemenang pemilu telah MENGANTONGI SETENGAH KEMENANGAN sebelum PEMILU/PILKADA serentak 2024 digelar.
Kalau begitu apakah PEMILU/PILKADA serentak pada tahun 2024 masih diperlukan?
INDONESIA ADIL, BERDAULAT DAN BERMARTABAT.
*) penulis adalah Punokawan Politik (ITB-Per), 21 Mei 2022.
sumber: WAGroup INDAHNYA NIKMAT ISLAM (postMinggu22/5/2022)