Apakah Menceritakan Kebobrokan Pemimpin Zalim di Group-group WA Ghibah?

Grafis penguasa zalim. Foto: tarbawia di internet

Oleh Anonym *)

semarak.co – Arti Ghibah dalam Islam

Bacaan Lainnya

Ghibah adalah tindakan membicarakan keburukan atau kejelekan orang lain di belakangnya tanpa sepengetahuannya. Dalam Islam, ghibah dianggap sebagai perbuatan yang tidak baik dan dapat menimbulkan dampak negatif.

Tetapi Menceritakan Kebobrokan Pemimpin Zalim

Menceritakan kebobrokan “pemimpin zalim” di group-group WA tidak dapat dianggap sebagai ghibah jika dilakukan dengan tujuan tidak untuk mencemarkan nama baik secara syar’i.

Menceritakan kebobrokan “pemimpin zalim” dilakukan dengan tujuan untuk:

  1. Mengingatkan masyarakat: tentang bahaya atau kezaliman yang dilakukan oleh pemimpin tersebut.
  2. Mencari keadilan: dengan tujuan untuk meminta pertanggungjawaban atau memperbaiki keadaan.
  3. Memberikan nasihat: kepada pemimpin tersebut untuk memperbaiki diri.

Maka dalam kasus seperti ini, menceritakan kebobrokan pemimpin zalim tidak dapat dianggap sebagai ghibah.

Pentingnya Niat dan Tujuan

Niat dan tujuan sangat penting dalam menentukan apakah menceritakan kebobrokan pemimpin zalim termasuk ghibah atau tidak. Jika niat dan tujuan baik, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai amar ma’ruf nahi munkar, yaitu tindakan untuk mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Wallaahu a’lam.

Bincang Tentang Sejarah Asyik

Enam dari Sembilan Wali Sanga Berasal dari Aceh

Almarhum Rosihan Anwar bukan hanya terkenal dengan julukan “wartawan tiga zaman”, tetapi beliau diakui pula sebagai budayawan, sastrawan, dan juga sejarawan. Tulisannya mengenai sejarah dapat kita baca dalam sejumlah buku, baik yang khusus tentang sejarah maupun yang bersifat “bunga rampai” serta dalam berbagai media.

Salah satu tulisan beliau yang telah saya simpan lebih dari 23 tahun adalah sebuah kliping koran Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, tertanggal 15 Maret 1988 pada halaman Opini dengan judul “Kerajaan Islam Samudera-Pasai”.

Penulis lain yang menyinggung Samudera Pasai, antara lain, Prof.Dr. Hamka, Solichin Salam, HM Zainuddin, dan Prof A Hasjmy. Namun, sebagian penulis Indonesia yang lain, sama sekali tidak menyebut lagi Kerajaan Samudra Pasai ketika mereka meriwayatkan kehidupan Wali Songo.

Prof.Dr. Hamka dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Melayu dan dicetak di Singapura menyebutkan, “Banyaklah putera Pasai meningggalkan kampung halamannya, terutama sejak dua kali serangan yang menyedihkan, pertama dari Siam, kedua dari Majapahit.

Dan akhirnya di tahun 1521 diserang pula oleh Portugis. Kerajaan Majapahit yang keras mempertahankan kedudukannya itu, sehingga menyebabkan negeri Pasai terpaksa mengakui takluk ke bawah naungannya, menyebabkan beberapa anak Pasai pergi merantau ke tanah Jawa sendiri, terutama ke Jawa Timur dan menetap di sana.

Jika negerinya sendiri telah terbakar, dibakar oleh suatu kekuasaan besar, anak Pasai itu telah pergi ke hulu kekuasaan itu, ke daerah kekuasaan Majapahit sendiri dan mengembangkan pula cita-citanya di sana. Dengan suatu ajaran rohani yang murni, Majapahit telah mereka perangi pula, bukan dengan senjata.

Apa yang mereka tanamkan, itulah kelaknya yang akan besar dan kukuh, menjelma menjadi Kerajaan Islam Demak. Seorang di antara anak Pasai itu ialah Falatehan, atau Fatahillah, atau bernama juga Syarif Hidayatullah, datang ke Jawa sebab negerinya diserang Portugis (1521).

Mulanya menjadi panglima perang dari Kerajaan Islam Demak untuk menaklukkan Jawa Barat, Kerajaan Galoh dan Pajajaran, dan akhirnya menjadi pendiri daripada dua Kerajaan Islam sesudah Demak, yaitu Banten dan Cirebon.

(Baca buku karya Prof.Dr. Hamka yang sudah diterjemahkan ke bahasa Melayu, “Sejarah Umat Islam”, edisi baru, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 2005, halaman 708 – 709).”

Masih dalam buku yang sama, pada halaman 745 dikatakan, “Tersebut perkataan, bahwasanya raja negeri Campa itu beranak dua orang perempuan. Yang tertua bernama Darawati diambil istri oleh Angkawijaya Raja Majapahit. Itulah yang lebih terkenal dengan sebutan Puteri Campa itu.

Dan anak perempuannya yang seorang lagi kawin pula dengan seorang penyair Islam dari Tanah Arab, maka mendapatlah putera Raden Rahmat. Kalau benar bahwa Campa itu bukan yang di Annam Indo-China, tetapi di Aceh.

Yaitu negeri Jeumpa, sudah tidak pelak lagi bahwasanya Raden Rahmat, adalah keturunan Arab datang dari Aceh. Dikirimlah Raden Rahmat itu oleh nenek Raja Campa (Jeumpa) ke tanah Jawa dan singgah dua bulan di Palembang, Lalu diajaknya Aria Damar; Adipati Majapahit memeluk Islam.

Aria Damar memeluk Islam dengan sembunyi-sembunyi. Kemudian Raden Rahmat meneruskan perjalanan ke Jawa”. Solichin Salam dalam bukunya “Sekitar Wali Sanga”, Penerbit Menara Kudus, Semarang, 1974, juga mengakui bahwa sebagian wali itu punya asal-usul dari Kerajaan Samudera Pasai.

Penulis lain, Umar Hasyim, dalam bukunya “Sunan Giri”, Penerbit Menara Kudus, Semarang, 1979, di halaman 21 menyebutkan, “Maulana Ishak diberi tugas oleh Zawiyah Cot Kala untuk menyebarkan Islam ke Jawa. Beliau kawin dengan salah seorang putri Blambangan.

Dari perkawinan itu beliau dikaruniai seorang putera yang bernama Raden Paku yang kemudian bergelar Sunan Giri”.  Kalau merujuk kepada pendapat para pengarang tersebut di atas serta beberapa tulisan lepas lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa enam orang dari sembilan wali (wali songo) yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa berasal dari Aceh.

Beliau-beliau itu adalah: (1) Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), (2) Malik Ishak (Sunan Giri), (3) Ali Rahmatullah/Raden Rahmat (Sunan Ampel), (4) Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang), (5) Masaih Munad (Sunan Drajat), dan (6) Syarief Hidayatullah/Fatahillah (Sunan Gunung Jati).

Kerajaan Samudra Pasai; ketika mereka mengisahkan riwayat Wali Songo. Buku ini ditulis oleh Budiono Hadi Sutrisno, seorang sarjana lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip)-UGM Yogyakarta yang amat produktif menulis berbagai buku.

Ternyata buku “sejarah Wali Songo” ini menjadi buku best seller. Padahal dalam buku “Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa”, Grafiti Pers, Jakarta, 1986, disebutkan bahwa Sunan Ampel berasal dari Aceh.

Buku yang semula berbahasa Belanda dan telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia; ditulis oleh dua sejarawan Belanda, Dr. H. J. De Graaf dan Dr. TH. G. TH. Pigeaud.

Mengenai asal-usul Sunan Ampel dari Campa, kedua sejarawan Belanda ini tidak menganggap negeri Campa yang berada di negara Kamboja, tetapi negeri Jeumpa yang terletak di wilayah Bireuen sekarang. Begitulah.

‘Arus sejarah’ yang berkembang kini ternyata telah menenggelamkan sejarah Kerajaan Samudra-Pasai” dari jalur riwayat Wali Songo di Tanah Jawa. Sementara menurut  catatan  sejarah,yang terkenal dengan Sultan Cam atau Champa adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri Teri atau Wan Bo, memerintah pada tahun 1471 M-1478 M.

Menurut silsilah  Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah  beliau adalah: Sultan   Abu  Abdullah (Wan  Bo)  ibni  Ali  Alam (Ali Nurul  Alam) ibni   Jamaluddin  Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil  Kubra) ibni Abdullah ibni Jakfar ibni  Muhammad ibni Mahmud  ibni Ahmad ibni Abdullah ibni Ali  ibni Jakfar ibni ‘Ali ibni Muhammad ibni  ‘Ali Al Ridho ibni Musa Al Kadzim ibni Jaafar As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni   Al-Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.

Jadi beliau adalah anak saudara dari Maulana Malik Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau bernama Ali Nurul Alam. Wan Bo atau Wan Abdullah ini juga adalah bapak kepada Syarief Hidayatullah, pengasas Sultan Banten sebagaimana silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Banten Jawa Barat: Syarif Hidayatullah ibni Abdullah (Umdatuddin) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Hussein (Sayyid Hussein Jamadil Kubra)ibni Ahmad Syah Jalal dan seterusnya seperti di atas.

Pertanyaannya, kapan dan di mana sebenarnya Kerajaan Champa (Negeri Champa) yang dipimpin oleh Raja Champa yang menjadi mertua Maulana Sayyid Ibrahim, yang menjadi ayah kandung “Puteri Champa”.

Jika dikaitkan dengan fakta di atas, mustahil mertua Maulana Sayyid  Ibrahim atau  ayah  “Puteri Champa” itu adalah Wan Bo (Wan Abdullah) karena menurut silsilah  dan  tahun kelahirannya, beliau  adalah pantaran anak saudara Maulana Sayyid  Ibrahim yang  keduanya terpaut usia 50 tahun lebih.Raden Rahmat (Sunan   Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di “Champa” yang  masih  misterius itu.

Boleh jadi yang dimaksud dengan Kerajaan Champa (Negeri Champa) tersebut bukan Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam,tapi sebuah perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?.

Inipun masih   menimbulkan tanda tanya, dimanakah peninggalannya? Bahkan ada pula yang mengatakan Negeri Champa berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand berdekatan dengan Songkla,yang  merujuk daerah Senggora zaman dahulu.

Untuk mendukung Teori Raffles bahwa Negeri Champa yang dimaksud  bukan di Vietnam sekarang, tetapi di wilayah Jeumpa Bireuen, Aceh, ada  beberapa dalil  yang  dapat dikemukakan, antara lain;(i)  Martin Van Bruinessen  telah memetik   tulisan Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning,Pesantren; Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah mengembara  ke  Asia Tenggara. Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Kamboja dan Aceh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal.

Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke Indonesia bersama rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (Maulana Sayyid Ibrahim) ditinggalkan di Aceh       untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian,Saiyid Jamaluddin ke    Majapahit, selanjutnya ke  Negeri  Bugis, lalu  meninggal dunia di  Wajok (Sulawesi Selatan).

Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453 M.  Jadi   tidak   diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Ibrahim, Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam.

Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di   Samarkand atau Persia, sehingga digelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Aceh dan tentu menikah dengan puteri Aceh yang dikenal sebagai Puteri Raja Champa.

Azumardi Azra mengemukakan Negeri Champa Kamboja ketika zaman Maulana Malik Ibrahim sedang huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu.

Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Negeri Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu; yang menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak.

Al-Attas mengatakan  popularitas Jeumpa di Nusantara, yang dihubungkan dengan puteri-puterinya yang cerdas dan cantik jelita, buah  persilangan antara Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Aceh terkenal dengan Bungong Jeumpa; gadis cantik putih kemerah-merahan, tidak lain menunjukkan keistimewaan Jeumpa di Aceh yang sampai saat ini masih  menyisakan kecantikan puteri-puterinya, gadis Bireuen.

Sumber: Sejarah Kesultanan Banggai, ditulis oleh Dr. Sofyan Madina, M.Pd., dkk. Diterbitkan oleh Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian, 2012.

 

Sumber: WAGroup Anies Baswedan (ABW 2) (postKamis15/5/2025)

Pos terkait