Oleh Lutfi S. Hidayat dan By Syafril Sjofyan *)
semarak.co-Jawaban atas pertanyaan di judul bisa dijawab secara akademik oleh para pakar hukum tata negara dan bisa dilakukan salah satunya dengan adanya tindakan parlemen yang 2/3 dari seluruh anggotanya, serta ditambah dengan adanya sebab yang terverivikasi dan menjadi bukti nyata adanya seorang presiden layak secara konstitusi untuk diberhentikan (dimakzulkan).
Berkaitan dengan konteks saat ini sebelum pemilu 2024 adalah adanya indikasi penyalahgunaan kekuasaan atau dugaan skandal dari Presiden Jokowi terhadap adanya keputusan MK sehingga Gibran lolos menjadi salah satu Cawapres mendampingi Prabowo.
Namun sebelum kesitu, menarik melihat isu yang santer tentang peran pemuda dalam kancah politik nasional. Sebagian mengatakan bahwa masuknya Gibran dalam pilpres 2024 dan Kaesang menjadi ketua umum partai adalah bagian dari manifestasi peran pemuda. Hanya saja saya mempunyai teori lain tentang hal ini.
Pertama, bahwa pemuda itu bukan saja berkaitan dengan umur atau aspek biologis seseorang. Kedua, bahwa pemuda itu adalah persoalan cara berfikir dan tindakan yang berdarah-darah dalam melakukan proses mencapai tujuan tertentu. Ketiga, bahwa pemuda itu bukanlah muncul secara instan sehingga ujug-ujug dia tampil tanpa adanya karya nyata yang teruji dalam berbagai aspek.
Artinya, dengan mengacu ketiga teori di atas, tegas dikatakan bahwa meskipun Kaesang dan Gibran secara biologis disebut muda. Namun proses yang mereka lakukan dalam dunia politik sekarang ini rasanya sulit mengatakan apabila tata cara tersebut adalah hal yang dilakukan oleh seorang pemuda sejati.
Justru sebaliknya, Kaesang yang baru dua hari menjadi anggota partai politik kemudian langsung menjadi ketua umum adalah bukti bahwa cara tersebut adalah tua (kuno) dari proses partai-partai konservatif dulu.
Pun Gibran yang ketika mengawali karir politiknya menjadi walikota yang sudah menjadi rahasia umum adanya turut campur Presiden Jokowi disertai adanya putusan MK yang kontroversial menambah kesimpulan bahwa cara dan proses seperti ini bukanlah tata cara seorang pemuda.
Tapi cara lama atau tua yang sangat bertentangan dengan semangat dari demokrasi itu sendiri. Maka jangan heran, meskipun sistem politik di Indonesia bukanlah kerajaan, orang akan tetap melihat semua yang di atas tadi bagian dari politik dinasti yang sangat ditentang oleh demokrasi itu sendiri. Lalu, berkaitan dengan apakah ada potensi proses impeachment bagi Presiden Jokowi?
Semua tergantung dari para elit politik dalam hal ini adalah partai-partai pendukung Ganjar dan Anies apakah akan menggunakan kekuatan politik mereka di parlemen untuk memprosesnya atau tidak, ditambah dengan anggota parlemen dari partai pendukung Prabowo yang masih menduga adanya potensi pelanggaran dari kekuasaan oleh Presiden Jokowi.
Sabtu, 28 Oktober 2023
*) kolumnis
Edan! Raja Tega! Jokowi dan anak-anaknya Gibran dan Kaesang berkhianat terhadap partai yang membesarkannya. Secara tidak bermoral alias “brutal” mengabaikan institusi Partai yang telah menjadikan diri mereka besar. Sebelumnya mereka bukan siapa-siapa.
Andil PDIP membesarkan mereka sejak Jokowi dijadikan walikota Solo, lalu Gubernur DKI Jakarta, kemudian memilih Jokowi menjadi capres pada dua kali Pilpres. Begitu juga Gibran tiga tahun lalu diberi privilese (Golden Buzzer) menjadi walikota Solo, dengan membatalkan calon lain yang sudah disiapkan Mega sebelumnya.
PDIP memang memberikan kewenangan penuh kepada ketuanya Megawati hak tunggal untuk menentukan capres dan calon kepala daerah. Kini secara “seragam” Jokowi maupun Gibran menyatakan secara gamblang “keterpilihan” mereka karena rakyat. Terlalu!
Kacang lupa dengan kulitnya. Jika tidak ada partai yang mengajukan gimana rakyat akan memilih. Hal yang biasa pindah partai. Memang! Banyak kasus pindah partai. Lain halnya kasus Jokowi dan Gibran jelas berbeda. Ini maslah Etika berkaitan dengan moral.
Megawati berkorban dirinya pada pilpres 2014. Mengalah memberikan kepada Jokowi. Pilpres 2024 Megawati “mengorbankan” anaknya Puan Maharani. Tidak menjadi cawapres. Akan halnya Jokowi malah “ngotot” menjadikan putranya menjadi Cawapres. Karena tidak memungkinkan melalui PDIP.
Tidak bermalu mempergunakan “pengaruhnya” sebagai Presiden, terhadap partai-partai. Bukan rahasia lagi elit partai berpikir pragmatis. Sebagian tersandera. Begitu juga “mempengaruhi” lembaga Yudikatif MK, sehingga terjadi skandal Mahkamah Keluarga.
Gugatan ke MK meloloskan Gibran menjadi cawapres. Penggugat tidak punya legal standing terhadap pasal UU yang diuji. Tetap disidangkan. UU Pemilu merupakan Open Legal Policy, adalah kewenangan DPR/ Presiden untuk merubah. Bukan kewenangan MK merubah frasa UU tersebut.
Disidangkan oleh pamannya Gibran sang Ketua MK Anwar Usman. Jelas melanggar UU Kehakiman, yang melarang keras Hakim mempunyai hubungan kekariban. Lalu Permohonan gugatan dikabulkan dibacakan langsung dan diketok palu oleh pamannya Gibran untuk kepentingan keponakan nya Gibran, putranya Presiden Jokowi.
Dengan dissenting opinion 5-4. 4 Hakim menolak. 5 Hakim menerima dengan catatan pada pengalaman jadi Kepala Daerah. 3 Hakim memberi catatan dengan pengalaman jadi Gubernur dan Walkot/Bupati. 2 Hakim lagi hanya boleh pengalaman Gubernur saja.
Sesungguhnya keputusan aneh tersebut cacat hukum, tidak sah dan melanggar konstitusi. Makamah Konstitusi yang tadinya begitu bermartabat. Jatuh anjlok menghina diri institusi menjadi olok-olok masyarakat. Banyak sebutan. Malu kalau diuraikan kepanjangan huruf K. Ulah satu keluarga.
Akibatnya lainnya. Sekarang paraHakim “terhormat” tersebut digugat masyarakat melalui Majelis Etik MK. Jika hakim dan sang paman Gibran, dikenakan sanksi etik oleh MK-MK, setiap saat Keputusan MK tersebut bisa batal demi hukum. Akan timbul masalah besar serta potensi memicu konflik politik.
PDIP yang sudah “dikhianati” sudah sewajarnya memproses pemakzulan Jokowi. Oleh para tokoh melalui Petisi 100 tuntutan pemakzulan telah disampaikan terlebih dulu melalui DPD RI. Melalui 10 point fakta pelanggaran Jokowi terhadap konstitusi. Adanya skandal Mahkamah Keluarga menjadi 11 point.
Nah… Jika dibiarkan Jokowi tetap berkuasa. Tidak ada jaminan Pilpres akan berlangsung jurdil. Demi sayang anak. cawe-cawe akan semakin gencar. Agar putranya menang menjadi wapres. Jokowi bisa/akan “mempengaruhi” semua lembaga dibawah kepresidenan. Untuk dikerahkan untuk “memenangkan” anaknya.
Apalagi jika terjadi sengketa pilpres dengan penyelesaian Mahkamah Keluarga. Sudah ketebak. Keputusan tidak bermalu terulang lagi. Memang ada pernyataan Jokowi akan netral. Siapa yang akan percaya. Biasanya perkataan Jokowi harus dimaknai sebaliknya.
Secara hitungan politik pemakzulan Jokowi akan berjalan mulus di DPR. Karena yang “menolak” Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN hanya 34%. Jika mau menyelamatkan demokrasi. Menyelamatkan bangsa dari politik dinasti. Lekas saja.
Bandung, 23 Oktober 2023
*) Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen APP-TNI
sumber: eternafondation di WAGroup Saling berbagi info ** (postSabtu28/10/2023)/jakartasatu.com, Selasa, 24 Oktober 2023