Anggota Komisi IX DPR RI Mufida Minta Pemerintah Bertanggungjawab atas Kasus Gagal Ginjal Akut yang Terjadi Lagi

(dari kanan-kiri) Dewan Pakar IAKMI dr Hermawan Saputra, Juru Bicara Kemenkes dr M Syahril, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayanti, Moderator Zulfasli dari Jurnalis KWP. Foto: heryanto

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kurniasih Mufidayati meminta pemerintah bertanggungjawab atas kasus gagal ginjal akut pada anak yang terjadi lagi. Pemerintah harus mencari penyebabnya biar tidak jadi misteri terus menerus.

semarak.co-Kasus gagal ginjal akut pada anak ini berarti masih misteri. Makanya, kata Mufida, misteri ini harus segera diselesaikan solusinya. Apa penyebabnya? Jalan keluarnya apa? Siapa harus bertanggung jawab? Soalnya sudah jelas ada korbannya bahkan meninggal dan sebagian cacat permanen.

Bacaan Lainnya

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), kutip Mufida, menyatakan obat sirup dengan merek Praxion yang jadi penyebab terjadi lagi kasus gagal ginjal pada anak dinyatakan masih memenuhi persyaratan atau sesuai standar yang tercantum di Farmakope Indonesia. Artinya, obat tersebut aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai.

“Kalau obat ini aman, lalu penyebabnya apa?” sindir Mufida dalam Diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema Kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak Muncul Lagi yang diselenggarakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama Biro Pemberitaan DPR RI di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (9/2/2023).

Terkait penanganan kasus ini, Mufida mengaku prihatin sebab sekitar 3 bulan lalu atau pada November 2022 saat rapat dengan semua lembaga terkait, komisi kesehatan DPR RI itu telah mengingatkan tentang pentingnya antisipasi dan mitigasi kasus ini agar tidak terulang kembali.

“Hari ini kita berduka kembali dan prihatin dengan situasi yang terjadi karena terulang kembali kasus gagal ginjal akut pada anak yang sebenarnya pada November kita rapat sangat intensif dengan stakeholders. Ada dua hal, atas ketidasksigapan Kementerian Kesehatan atau Kemenkes, BPOM dan pihak-pihak yang terkait dengan persoalan ini,” cetusnya.

Pertama pada kasus pertama periode Januari sampai Desember 2022. Dari informasi, sebenarnya kasus ini sudah terdeteksi di masyarakat pada Januari 2022 dan kasusnya baru meledak pada Oktober, November, Desember 2022. Dengan demikian, selama periode Januari-September tidak ada persiapan dan antisipasi agar kasus ini tidak melonjak.

“Kami mendesak kepada Kemenkes untuk melakukan tindakan mitigasi untuk supaya kejadian ini tidak terjadi lagi di masa datang. Saat itu diskusinya sangat panjang, kami dari Komisi IX meminta status KLB,” ungkap Mufida dari Fraksi Partai Keadilan Sejatahtera (PKS).

Soal mitigasi, menurut dia, sebenarnya sudah ada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu dan juga terkait dengan tatalaksana dan manajemen klinis gangguan ginjal akut progresif, aktifikal dan juga pada anak di fasilitas pelayanan kesehatan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes.

“Sudah dikeluarkan untuk SOP-SOP-nya seperti apa. Untuk realisasi terhadap keputusan ataupun kesimpulan rapat di Kemenkes, sudah ditindaklanjuti berupa mitigasi, SOP ataupun tatalaksana penanganan gagal ginjal akut pada anak. Ini yang perlu diintensifkan lagi dan dimasifkan lagi sosialisasinya,” keluhnya.

Untuk BPOM, lanjut dia, Komisi IX DPR RI juga memberikan catatan dan menyepakati bersama pada rapat November, yaitu meminta BPOM bertanggung jawab, karena wewenang untuk memberikan izin edar dan juga untuk pengawasan ini ada di BPOM.

“Prinsipnya Komisi IX DPR menginginkan kehadiran negara terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut nyawa orang banyak. Apalagi terhadap anak-anak yang menjadi generasi penerus bangsa. Negara harus untuk bisa memberikan perlindungan terhadap 270 juta rakyat Indonesia,” sebutnya.

Juru Bicara Kemenkes dr. M Syahril mengakui munculnya kembali kasus baru gagal ginjal akut pada anak dalam beberapa hari terakhir. Korban seorang anak berusia 1 tahun meninggal dunia dan diketahui telah mengkonsumsi obat Praxion yang menyebabkan tidak bisa kencing (anuria).

“Kami gerak cepat, bersama Badan POM, kita umumkan untuk sementara waktu, obat Praxion. Karena diduga satu dan kasusnya belum ada di tempat lain. Jadi hanya obat Praxion yang direkomendasi ditarik dulu distribusinya dan tidak dipergunakan,” ucap Syahril.

Soal tidaknya adanya keputusan penetapan Kejadian Luar Biasa (KLB) dalam kasus ini, Syahril menjelaskan sesua ketentuan perundangan, penetapan KLB harus memenuhi syarat, salah satunya kasus yang terjadi haruslah diakibatkan oleh penyakit menular.

Sementara pada kasus ini, sakit yang dialami anak-anak Indonesia dalam kasus gagal ginjal akut bukanlah penyakit menular tetapi kasus yang disebabkan oleh zat dalam obat yang dinilai beracun. Obat sirup yang digunakan anak-anak mengandung bahan kimia berbahaya yakni ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG).

“Jadi sebagai pemahaman saja ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG) itu adalah suatu zat yang sebetulnya bukan untuk industri obat tapi industri yang lain, untuk buat cat, untuk buat dinding mobil dan sebagainya. Nah itu lagi diselidiki, kenapa kok sampai bisa masuk ke obat yang menyebabkan keracunan,” ujar Syahril.

Dewan Pakar IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) dr. Hermawan Saputra menegaskan kasus terulangnya kembali gagal ginjal akut pada anak harus menjadi preseden tentang pentingnya keseriusan pemerintah menyikapi persoalan ini.

Sebab, katanya ketika ada hal-hal yang menyangkut gangguan kesehatan masyarakat, harus segera direspon dengan baik dan tepat tetapi juga memberikan jaminan dalam bentuk komunikasi, layanan dan juga pengawalan tindak lanjut bagaimana penjagaan atas hak kesehatan itu didapatkan.

“Nah saya menyebutnya preseden, ketika ada kejadian yang sudah dievaluasi, sudah ditindaklanjuti dan dicari solusi mulai dari penyebab bagaimana solusi dan tindak lanjutnya, tetapi terjadi kembali,” sesal dr Hermawan yang jadi narasumber lainnya.

Oleh karena itu, sebagai bentuk keseriusan pemerintah tersebut, ia menekankan kembali perlunya penetapan KLB pada kasus ini. Sebenarnya, menurut Hermawan, ada dasar hukum berupa ketentuan perundangan apabila menetapkan status gagal ginjal akut ada anak sebagai KLB.

Pemerintah, menurutnya tidak harus selalu berpandangan bahwa KLB selalu identik dengan penyakit menular, yang berpotensi menyebabkan wabah. “Padahal ada peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2013 tentang Kejadian Luar Biasa karena keracunan pangan,” tegas Hermawan.

Oleh karena itu, Hermawan menekankan upaya sungguh-sungguh dari pemerintah juga DPR RI yang menjalankan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan dapat mendorong pemerintah serius agar kedepannya kasus ini tidak terulang lagi.

Hari ini kita berduka kembali dan prihatin dengan situasi yang terjadi karena terulang kembali kasus gagal ginjal akut pada anak yang sebenarnya pada November 2022 sudah dicapai komitmen dengan semua stakeholder agar kasus ini dapat diatasi bersama.

“Tentu saja kami dari Komisi IX mengucapkan duka cita yang mendalam kepada keluarga korban dan juga untuk pasien satu yang masih suspek yang sedang dirawat di RSCM,” imbuh Mufida, sapaan akrab Kurniasih Mufidayanti yang menjadi salah satu pembicara diskusi yang dimoderatori Zulfasli – Jurnalis KWP.

Mufida mendesak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk melakukan tindakan mitigasi untuk supaya kejadian tidak diinginkan ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. “Mitigasi yang diharapkan oleh kita itu Alhamdulillah sudah tertuang dalam Surat Kementerian yang dikeluarkan Menkes RI Nomor 19 tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu,” imbuhnya.

Untuk realisasi terhadap keputusan ataupun kesimpulan Rapat Kerja dengan Kemenkes, ungkap Mufida, hal itu sudah ditindaklanjuti tadi berupa standard operational procedure (SOP) ataupun tata laksana penanganan gagal ginjal akut pada anak dan mungkin ini yang perlu diintensifkan lagi dan dimasifkan lagi sosialisasinya.

“Kalau ada keluarga, anak sakit itu agar tidak buru-buru mengkonsumsi obat, sebaiknya segera ke pelayanan kesehatan (yankes) terdekat supaya mendapatkan penanganan dan obat-obatan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” saran Mufida.

Pada prinsipnya, tegas Mufida, Komisi IX DPR RI meminta negara hadir untuk bisa memberikan perlindungan terhadap 270 juta rakyat Indonesia. “Satu-satunya badan yang diberikan wewenang untuk izin edar itu di Indonesia ya hanya BPOM, terus kita mau percaya sama siapa, bingung saya kalau ditanya BPOM-nya tidak tahu, tidak ngerti, saya bingung,” tukas Mufida.

Legislator asal Dapil DKI Jakarta 2 ini berharap kepada para stakeholder untuk tidak lari dari tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus ini. “Jadi saya harap tidak ada yang lempar batu sembunyi tangan,” pungkasnya. (net/smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *