Surat terbuka untuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membuat inspektorat kodam (Irdam) XIII/Merdeka Brigjen TNI Junior Tumilaar terkena sanksi. Tak hanya dicopot dari jabatannya, Junior pun terancam hukuman pidana militer.
semarak.co-Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra berpendapat bahwa sanksi pidana untuk Junior tersebut berlebihan. Sebab pelanggaran yang dilakukannya tergolong ringan.
“Terlalu jauh jika Brigjen Junior Tumilaar dikenakan pasal dalam tindak Pidana Militer, dengan kualifikasi kejahatan pembangkangan atau tidak tunduk perintah atasan karena karakteristik perbuatannya cenderung pada fakta yang didominasi masuk kategori pelanggaran disiplin atau kode etik prajurit,” papar Azmi saat dihubungi media.
Tindakan Junior Tumilaar bukanlah tindak pidana militer karena unsur melawan hukum sebagaimana maksud Pasal 103 jo 203 KUHPM. Dalam pasal ini, kata Azmi, harus dilihat apakah perbuatan Junior punya tujuan nyata yang bermanfaat bagi kepentingan hukum yang hendak dilindungi pembuat undang undang.
Mesti dilihat pula apakah tindakan Junior melindungi kepentingan hukum yang lebih tinggi dibandingkan kepentingan hukum yang dituju perumusan tindak pidana yang dilanggarnya. Dan, apakah tindakan Junior bernilai lebih besar bagi kepentingan masyarakat dibandingkan dengan kepentingan diri sendiri.
“Meskipun demikian perlu dilakukan penyisiran fakta dan diklarifikasi, apakah betul Babinsa yang dipanggil polisi bertugas sebagai bintara desa di lokasi objek sengketa tanah,” kata Azmi seperti dilansir nasional.sindonews.com/Rabu, 13 Oktober 2021 – 10:05 WIB.
Jika betul tinggalnya di desa objek tanah, lanjut Azmi, sebagai prajurit yang memperhatikan permasalahan atau kesulitan rakyat di sekelilingnya, wajar seorang prajurit TNI mempelopori dan mengupayakan maksimal atau memfasilitasi permasalahan tersebut.
Dimulai dengan mengadukan kepada Kepala Desa atau lembaga lain yang berwenang, namun jika objek tanah tidak di desa wilayah tugas Babinsa, ini perlu sikap yang lebih cermat.
“Pasalnya bisa menjadi catatan atau ruang celah keliru, karena patut diduga tindakannya ke arah perbuatan backing dalam perkara perdata. Hal ini menjadi perbuatan larangan sesuai Surat Telegram Panglima tentang larangan anggota mencampuri urusan perdata orang lain,” jelas Azmi.
Ia menyebutkan bukanlah kesalahan bagi prajurit yang melindungi rakyat apalagi dalam kesulitan namun dibatasi tidak boleh mencampuri atau jadi backing dalam persinggungan perkara perdata orang lain. Titik fokus perbuatannya dalam kasus ini adalah berupa membuat surat terbuka di medsos.
Hal ini ini diatur dalam Surat Telegram (ST) Panglima TNI maupun ST Kasad Nomor ST/428/2020 tanggal 18 Agustus 2020 tentang tata cara penggunaan medsos, dan termasuk dalam hal ini ada tanggung jawab dirinya selalu Perwira Tinggi membangun sinergis dengan Polri.
“Jadi mengacu pada perbuatan yang dilakukan oleh dirinya hal ini merupakan pelanggaran hukum disiplin, sehingga kiranya bila diterapkan ketentuan pidana sebagaimana Pasal 126 dan 103 KUHP Militer terlalu jauh karena belum terpenuhi unsurnya,” pungkas Azmi.
Sebagaimana diketahui, dalam surat tersebut Junior meminta agar Babinsa yang mendampingi terlapor dalam kasus penyerobotan dan sengketa lahan milik pengembang Citraland tidak diperiksa Polri. Ia menilai Babinsa itu tengah mendampingi warga yang dianggap sebagai korban dalam kasus penyerobotan tanah.
Namun, saat mendampingi warga, Polri justru melayangkan panggilan untuk pemeriksaan. Belakangan, Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat (Puspom AD) menyampaikan Brigjen Junior Tumilaar dicopot dari jabatan Inspektur Kodam (Irdam) XIII/Merdeka. Jenderal bintang satu itu diduga melanggar hukum disiplin dan pidana militer.
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa meneken dan mengeluarkan surat perintah pembebastugasan Junior. Surat Perintah pembebasan dari tugas dan tanggung jawab jabatan Brigjen TNI Junior Tumilaar sebagai Inspektur Kodam XIII Merdeka untuk kemudian ditempatkan sebagai staf Khusus KSAD.
Seperti diketahui, video percakapan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo dengan Najwa Shihab di program salah satu televisi swasta viral di media sosial. Hal itu setelah Najwa mengajukan pertanyaan tentang konsep tentara menyatu dengan rakyat itu apakah keliru, dan TNI bukan punya rakyat?
Agus menjadi pembicara dengan Brigjen Junior Tumilaar di acara Mata Najwa di Jakarta, Kamis malam (7/10/2021) WIB. Usai acara bubar dan Junior pergi, Agus menjelaskan, perjuangan meraih kemerdekaan itu merupakan perjuangan politik, yang terbagi atas laskar.
Agus pun menjelaskan, jika awalnya TNI lahir dari bangsa yang berjuang. “Kita belum punya negara. Jadi yang berjuang itu adalah rakyat, menyatu itu,” ujar Agus seperti dilansir republika.co.id/Senin 11 Oct 2021 13:31 WIB.
Kepada Republika yang menghubungi by phone, Agus meminta waktu sejam lagi untuk dikontak memberikan klarifikasi. “Saya masih ada acara di luar, sejam lagi,” ujar mantan Komandan Sesko ABRI tersebut kepada Republika di Jakarta, Senin (11/10/2021).
“Jadi ada laskar Hizbullah, Laskar Nasionalis, gitu kan. Itu dijadikan satu, jadi TNI. Jadi TNI dari sejak awal memang harus berdamai dengan politik. Waktu perang tentara memang menyatu dengan rakyat,” ujar Agus masih dalam tayang program televisi itu.
Dia menyebut, prinsip perang gerilya memang tentara harus menyatu dengan rakyat, seperti antara ikan dan air. Hal berbeda jika terjadi masa damai, tentara tidak lagi menyatu dengan rakyat. Dia malah menyebut, jika TNI itu milik presiden atau mereka yang memenangkan pilkada. “Tetapi setelah menjadi demokrasi, setelah merdeka, rakyat itu punyanya presiden. Rakyat itu punyanya yang dipilih oleh rakyat, memenangkan pilpres, pemilu,” ujarnya.
Najwa pun mengajukan pernyataan lagi jika narasi TNI bersatu dengan rakyat apakah sudah tepat? Agus menjawab tidak. “Tidak, rakyat itu punyanya presiden. Dan kalau dilihat aslinya doktrin-doktrin kemanunggalan TNI rakyat itu untuk prajurit, bukan untuk Mabes, bukan untuk institusi,” katanya.
Agus melanjutkan, keputusan Junior membela rakyat sipil yang berkasus tanah juga merupakan tindakan keliru. “Jadi tentara itu tidak punya kewenangan untuk menjangkau kepada sumber daya manusia sipil di masa damai. Seperti tadi Brigjen Junior, itu sudah salah pengertian, pimpinan yang belum bisa tuntas untuk memberikan pengertian yang benar kepada dia,” imbuhnya.
Agus malah mengkritik mengapa Bintara Pembina Desa (Babinsa) malah mengurusi masalah sipil, seperti membantu rakyat kecil yang terlibat kasus sengketa lahan dengan korporasi. “Sebenarnya Babinsa tidak ada kewenangan untuk ngotak-ngatik, ngurus urusan sipil,” kata putra Pahlawan Revolusi Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo.
Anggota DPR Fadli Zon pun bereaksi keras dengan meminta Agus Widjojo dicopot dari jabatan Gubernur Lemhanas karena sudah menjabat lebih dari 5 tahun. Diketahui, Agus telah menjabat jabatan itu sejak April 2016. “Sdh terlalu lama jadi Gubernur Lemhannas. Sebaiknya segera diganti,” kata Fadli Zon di akun twitternya, Selasa, 12 Oktober 2021, seperti dikutip pikiran-rakyat.com/12 Oktober 2021, 12:28 WIB.
Di cuitan sebelumnya, Fadli Zon mengaku aneh dengan pernyataan Agus Widjojo. “Aneh Gub @LemhannasRI katakan TNI milik Presiden bukan milik rakyat. TNI jelas alat negara n sejak awal adlh tentara rakyat bukan tentara presiden,” cuitnya.
Fadli Zon menilai selayaknya TNI harus berpihak kepada rakyat bukan pada korporasi atau konglomerasi. “TNI harusnya berpihak pada rakyat bukan korporasi/konglomerasi. Apa yg dilakukan Brigjen Junior harusnya diapresiasi bukan sebaliknya,” sindir Fadli Zon, anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra. (net/snc/prc/smr)