Anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (DK PWI) Jaya Agus Salim prihatin dan mendorong para wartawan memulai berusaha untuk menjamin masa depan yang lebih baik, di tengah perkembangan media massa khususnya media cetak yang tidak lagi prospektif.
semarak.co -“Saya mendorong teman-teman wartawan memulai berusaha apapun itu. Agar masa depan lebih terjamin,” kata Agus Salim di gedung PWI Jaya, kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Mantan wartawan yang kini mengeluti bisnis iklan outdoor mengusung brand Oval itu mencoba menawarkan bisnis kedai kopi. Agus yang mengaku, sudah memiliki brand kedai kopi MonikaH bisa dimanfaatkan para wartawan untuk memulai bisnis.
“Tahap awal saya akan kasih kepada empat orang wartawan dengan menyiapkan fasilitas seperti kios dan properti pendukung lainnya,” kata Agus.
Wartawan hanya diminta untuk menyiapkan atau mencari lokasi atau tempat memulai usaha. “Gua sih dorong kalian memanfaatkan booming kedai kopi ini,” ajak Agus yang juga seorang pengusaha.
Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran Kemenkop dan UKM Victoria Simanungkalit mengungkapkan, ada enam kunci sukses bagi para pelaku UKM dalam mengelola bisnis kedai kopi.
“Yaitu, produk inovatif dan rasa sesuai dengan lidah konsumen, harga yang kompetitif, tempat yang nyaman dan lokasi strategis, promosi yang tepat dan inovatif, serta inovasi dalam penjualan dan distribusi dengan menggunakan platform ride hailing,” rinci Victoria.
Untuk itu, lanjut Victoria, pihaknya memiliki program dalam mendorong pengembangan bisnis kedai kopi yang dijalankan koperasi dan UKM. Di antaranya, fasilitas skim untuk wirausaha pemula, fasilitasi sertifikasi produk antara lain Merk, Halal, Hak Cipta, HACCP dan ISO, serta pendampingan usaha dan kelembagaan melalui Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT) KUKM.
“Termasuk program pelatihan vocational dalam meningkatkan keterampilan. Apalagi, minum kopi kini sudah menjadi gaya hidup bagi generasi milenial dan bukan sekedar minuman penghilang rasa kantuk,” terangnya.
Saat ini, lanjut Victoria, banyak menjamur kedai kopi yang dikelola UKM. Bahkan di tahun 2019, ada lebih dari 2.937 outlet kedai kopi yang berdiri. “Hal tersebut membuka peluang kerja baru sebagai barista, professional cupper, sales, dan sebagainya,” jelasnya.
Berdirinya kedai kopi juga menjadi salah satu pendukung pengembangan pariwisata di daerah. Melalui kedai kopi, kata dia, dapat mengenalkan makanan dan minuman tradisional lainnya yang dapat menarik wisatawan.
Bahkan, tahun ini bisnis kedai kopi diperkirakan meningkat seiring dengan naiknya konsumsi domestik kopi Indonesia sekitar 13,9% menjadi 294 ribu ton. Sedangkan pada 2021 diperkirakan akan naik lagi menjadi 370 ribu ton.
Berita yang beredar berantai di grup whatsapp (WA) kalangan wartawan ditanggapi serius. Salah seorang anggota WA Group Pleno PWI DKI 2019-2024@Ristantotegal mengomentari:
Cocok dengan saran dan pemikiran Bung Agus Salim. Kepada teman-teman pernah saya lontarkan pemikiran, bahwa kita harus berhenti dan alih profesi dari wartawan pada usia 40-45 tahun. Segera pilih profesi, misalnya jadi politisi, lawyer atau pebisnis.
Pemikiran tersebut berdasar pengalaman setelah saya dipecat dari Harian Suara Pembaruan tahun 2002. Surat keputusan dari personalia, mencantumkan alasan diberhentikan atas permintaan perusahaan, setelah 30 tahun bekerja. Bisa dibayangkan bagaimana susahnya menghadapi kehidupan saat itu.
Alasan alih profesi pada usia 40-45, lanjut Ristanto, karena kita sebagai wartawan sudah miliki jaringan cukup. Misalnya berkat kedekatan dengan tokoh-tokoh nasional yang jadi salah satu sumber berita, cukup menguntungkan.
“Sehingga ketika mendadak menganggur, bisa membantu jadi staf apa saja yang bisa membantu kerja secara aktif. Pengalaman ini menyadarkan kita, nasib wartawan di Indonesia kurang bisa menjamin untuk kehidupan di hari tua. Saran Bung Agus rasanya perlu kita perhatikan bersama,” tandasnya.
Ada lagi dari @umi yang menulis; kalau diukur dari ekonomi memang benar kehidupan wartawan tidak menjamin. Tapi kepuasan batin tidak bisa diukur dengan uang. Makanya kita jangan jadi wartawan tapi harus jadi pemilik media.
Walaupun media kita kecil tapi kita bos bukan anak buah. “Pengalaman itu saya ambil dari pengalaman pribadi saya waktu di surat kabar mingguan inti jaya. Kebanggaan jadi wartawan, semua pejabat bahkan Presiden menghormati kita. Tapi kalau kita jadi ajudan/aspri hanya jadi kacung yang disuruh-suruh bawa tas,” tulisnya.
Komen @umi dibalas @ristantotegal: Setuju jadi boss media. Tapi tidak semua jurnalis mampu mencapainya. Sebagai bos media juga pebisnis. Ada pengalaman nyata melihat kenyataan perusahaan sebesar Suara Pembaruan ternyata bisa bangkrut!
“Padahal dari 1972 sampai 2002 saya bekerja di sana mulai kantor masih dengan bangunan lantai II berupa papan, sampai kemudian bisa bangun gedung enam lantai,” tulisnya.
Dilanjutkan, “Selama 30 tahun saya bekerja dapat pembagian dua unit mobil dan fasilitas rumah secara kredit. Kini bangunan enam lantai itu sudah rata dengan tanah. Dan nama Suara Pembaruan dijual kepada sebuah group konglomerat, namun koran sorenya pun akhirnya gulung tikar,” tandasnya.
Jadi kita cuma ingatkan, lanjut dia, profesi apapun seharusnya bisa mensejahterakan. Jarang perusahaan media bisa beri tunjangan pensiun bagi wartawan. “Jika kemudian kita dianggap jadi tukang bawa tas, saya kira tergantung bagaimana relasi kita dengan kawan yang bantu kita,” tulisnya.
Posisi membantu para pejabat bukan asisten pribadi (aspri) tapi lebih sebagai konsultan media. “Terbukti saya bisa satu mobil baik ketika jalan bareng dengan sedan RI 6 maupun mobil Ketua DPR, dan RI 13 mobil Menko Kesra.
Salah satu kebanggaan wartawan memang bisa dekat dengan para pejabat negara, harus kita akui. Hal itu yang mengasyikan, tapi saat umur mulai menua apalagi sohib pejabat sudah pensiun, maka persahabatan dengan pejabat akan beralih ke wartawan yang lebih muda. Dan juga kita tidak selamanya bertugas di lapangan.
Ditambah juga oleh @bitor ekin putra dengan komentarnya, “Ini bisa menjadi gagasan atau ide, melihat fenomena profesi wartawan yang bekerja di perusahaan media harus mengantisipasi masa depan.
“Mungkin perlu didiskusikan bersama, agar PWI Jaya memiliki solusi yang baik, menjadi wadah sekaligus pohon ide bagi para jurnalis di kemudian hari,” komen Bitor.
Kembali @ristantotegal menulis, tapi untuk mengomentari komen@lonne warrior yang menimpali dengan kalimat:
“Wartawan banyak yang berbisnis juga dalam skala kecil,,, qiqiqi.”
Menurut Ristanto, kecil atau besar yang penting halal dan bisa menghasilkan. Ada teman wartawan yang dulu sama ngepos di DPR. Ketika perusahaan media bangkrut, kini berdagang warung pecel lele dan nasi uduk. Kita hanya ingatkan teman-teman bhw tidak ada jaminan profesi kita bisa menyejahterakan di hari tua. (lin)