Oleh Geisz Chalifah *
semarak.co-Sion Fernandos Hutadjulu, Namanya. Anak muda yang bekerja di Ancol. Dipanggil sehari hari-hari dengan nama Andos. Saat saya diberi amanah menjadi salah satu komisaris di perusahaan BUMD tersebut, Andos bertugas sebagai protokol yang mengawal setiap direksi ataupun komisaris bila sedang mengunjungi lokasi-lokasi unit yang ada di Ancol, termasuk bila ada tamu pejabat hadir.
Saya tak memahami SOP nya juga tak terbiasa dikawal, jadi saat pertama saya memasuki wilayah Ancol dialog pertama saya dengan Andos tidak menyenangkan: Kamu ngapain ngikutin saya terus? Andos menjawab: Ini SOP saya Pak, selama bapak berada di wilayah Ancol saya harus menjaga.”
Saya menjawab dengan lugas dan jelas: Lakukan tugas itu kepada yang lain tapi jangan pernah lakukan kepada saya. Sampaikan juga pada teman kamu lainnya saya tak ingin ada pengawalan kemanapun tempat di Ancol yang saya datangi.
Andos berkata: Siap Pak. Namun dihatinya menggerutu: Baru ada komisaris aneh bin ajaib sepert ini. Hari berlalu bulan berganti, saya mulai mengenal para pekerja secara personal, mulai paham jabatan mereka tentu saja tak ada yang lebih istimewa karena sudah terbiasa menganggap semua manusia itu sama.
Oleh sebab itu saya berinteraksi dengan siapapun tanpa mengenal jarak. Hari minggu pagi sebuah acara berlangsung. Dari deretan bangku direksi dan komisaris saya melihat Andos berjaga dengan sigap dikejauhan. Sekejap saya hampiri lalu bertanya: Kamu ga ke gereja?
Andos menjawab dengan sangat formal: Siap salah Bapak, hari ini saya ada tugas untuk acara ini.
Saya menegurnya: Lain kali bila ada tugas dihari minggu pagi seperti ini kamu ga usah ikut biar yang lain saja yang bertugas.
Entah kenapa anak itu semakin sering dimarahi bukan menjauh namun semakin mendekat. Dia bukan saja datang sendiri namun membawa teman-teman pekerja lainnya bila saya berada di Ancol.
Tahun berlalu, kejadian demi kejadian terjadi menjadi kisah riang ataupun pilu. Menjadi keriangan bila berbagai acara sukses dilaksanakan. Namun menjadi mencekam ketika Ancol ditutup berbulan – bulan tanpa ada tanda-tanda pandemi berakhir. Terkadang baru dibuka satu bulan lalu ditutup kembali.
Selama Pandemi kehadiran saya semakin intens, saya ingin berada di tengah mereka, situasi demi situasi saya ikuti dengan seksama. Ramai perbincangan ditengah karyawan tentang akan adanya PHK. Lalu berbagai pertanyaan dari karyawan dengan resah tentang situasi yang terjadi dan masa depan pekerjaan mereka.
Saya tak punya jawaban lain selain mengatakan: Selama saya masih disini ga akan ada yang namanya PHK. Kalimat semacam itu saya ucapkan dengan tegas agar optimisme dimasa pandemi tetap terjaga agar rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap pekerjaan tidak berkurang sedikitpun.
Tibalah masa akhir dari sebuah cerita duka, pandemi berakhir, Ancol sudah kembali buka dengan normal. Kerugian sudah bisa diatasi bahkan per Juni 2022 Ancol kembali meraih laba. Ancol lolos dari lubang maut tanpa satu karyawanpun mengalami PHK selama dua tahun pandemi.
Anies Baswedan telah selesai masa jabatannya, PJ Gubernur mulai bertugas dengan segenap “Keistimewaan” yang didapat sebagai PJ Gubernur. Saya mengundurkan diri tanggal 2 Januari 2023 yang kemudian diterima dalam RUPS LB pada tanggal 1 Februari 2023.
Tak menunggu waktu lama, hanya selang sehari secara spontan para karyawan membuat acara perpisahan. Ada banyak drama dalam acara itu. Setelah acara berakhir saya menuju mobil lalu Andos menghampiri, membawa sebuah kantong kertas berisi sandal.
Andos menyampaikan: Ini sandal dari saya semoga menemani bapak untuk sholat Jumat. Dalam sekejab emosinya tak terbendung air matanya tumpah.”
Sudjiwo Tejo pernah menulis: “Adakah yg lebih romantis dari suara gesekan sandal jepit ke aspalan, dan kibar suara sarung dari lelaki yg bergegas ke Jumatan, Kekasih?”
Sandal pemberian dari Andos itu kini selalu bergesekan dengan aspal setiap saya menuju Masjid.
*) penulis pegiat media sosial dan mantan Komisaris Ancol