Oleh Eggi Sudjana Sukarna *
semarak.co-Catatan Tanggapan untuk Tulisan Saudara Yusril Ihza Mahendra.
Keinginan tiga Ketua Umum Partai Politik untuk menunda Pemilu 2024 (PAN, PKB dan Golkar) secara politik motifnya mudah terbaca: yakni untuk mempertahankan kekuasaan. Menunda pelaksanaan Pemilu, berarti memperpanjang kekuasaan. Jika pemilu ditunda hingga 2026, maka otomatis ada tambahan kekuasaan selama 2 tahun.
Karena Pemilu 2024 dilakukan serentak, yakni untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, seluruh anggota DPR RI, DPD RI dan DPRD, maka wacana menunda Pemilu otomatis akan menguntungkan Presiden dan Wakil Presiden, seluruh anggota DPR RI, DPD RI dan DPRD RI. Mereka semua diuntungkan, karena mendapat tambahan kekuasaan selama dua tahun, tanpa perlu berjuang dan keluar modal untuk bertarung dalam proses election.
Wacana ini, tentu saja tak lepas dari kehendak Jokowi yang disuarakan melalui sejumlah lembaga survei agar dapat melanjutkan kekuasaannya hingga tiga periode jabatannya atau setidak-tidaknya diperpanjang masa jabatannya hingga 2026.
Dibuatlah alasan-alasan klasik yang tak logis. Walaupun publik juga tahu, dibalik wacana ini ada kehendak oligarki para Taipan. Alasan penundaan dari soal situasi perekonomian negara sedang sulit, utang menggunung, juga biaya Pemilu hingga kini belum dianggarkan. Sumbernya juga belum jelas dari mana.
Pandemi Covid-19 yang dikambinghitamkan, hingga soal rakyat yang diklaim masih menghendaki Jokowi menjadi Presiden lagi, semuanya tak logis dan tak relevan. Kehendak Jokowi untuk terus berkuasa itu lumrah, karena politik dan kekuasaan itu candu. Politik itu tentu saja berkaitan dengan upaya memperoleh kekuasaan dan terus mempertahankannya.
Begitu, kurang lebih definisi politik yang diutarakan Meriam Budihardjo. Wacana Pemilu ditunda, dapat dipahami sebagai bentuk ‘suap’ Jokowi kepada partai dan DPR, agar jabatannya sebagai Presiden bisa diperpanjang, karena otomatis juga memperpanjang jabatan legislator di DPR dan senat di DPD.
Siapapun anggota DPR, DPD hingga DPRD, tentu akan menyambut baik wacana ini. Mereka, jelas ikut diuntungkan, mendapat berkat kekuasaan dari wacana pengunduran Pemilu. Yang mengherankan adalah wacana yang digulirkan oleh Saudara Yusril Ihza Mahendra. Yusril justru menyiapkan sandaran legitimasi untuk menunda Pemilu, melalui tiga model:
Pertama, melalui proses Amandemen UUD 45;
Kedua, Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan
Ketiga, Menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.
Selanjutnya, menurut Yusril dari tiga model jalan untuk menunda Pemilu, dasar yang paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu dan sebagai konsekuensinya adalah perpanjangan sementara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah dengan cara melakukan perubahan atau amandemen terhadap UUD 45.
Dari tiga model inilah, saya justru memandang pandangan Saudara Yusril ini justru berpotensi menjerumuskan bangsa Indonesia. Kesimpulan ini, dapat dipahami melalui beberapa hal, di antaranya:
Pertama, jika alasan penundaan Pemilu adalah karena situasi perekonomian negara sedang sulit, utang menggunung, maka sesungguhnya kondisi ini mengkonfirmasi kegagalan rezim Jokowi memimpin bangsa ini. Disisi lain “merasa punya uang banyak dengan program pindah Ibu Kota” tapi kok pemilu yang biayanya lebih sedikit dari pindah ibu kota bilang kurang uang nya?????
Berlarut-larutnya pandemi dengan berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat, justru harus dijadikan dasar untuk mengevaluasi kinerja Presiden Jokowi lebih cepat, bukan malah menambah masa jabatan dengan modus menunda Pemilu.
Yang dibutuhkan justru Presiden harus segera dievaluasi, atau secara konstitusional harus dimakzulkan karena gagal menjalankan konstitusi. Atau jika Presiden Jokowi memiliki keinsyafan, semestinya Jokowi didorong untuk mengundurkan diri.
Memaksa mempertahankan Jokowi sebagai Presiden dan apalagi hendak menambah masa kekuasaannya dengan modus menunda Pemilu, sama saja akan menjerumuskan bangsa Indonesia dalam problem yang lebih dalam. Situasi perekonomian negara akan semakin sulit, utang akan semakin menggunung, dan rakyat sudah pasti akan tambah sengsara dan menderita.
Kedua, soal pandemi yang dijadikan dalih untuk menunda Pemilu tidak konsisten dengan tetap dilaksanakannya Pilkada pada saat Gibran dan Boby, anak dan mantu Presiden Jokowi ikut Pilkada. Saat ini, tingkat infeksi Covid 19 sedang tinggi, lembaga ormas NU dan Muhammadiyah meminta Pilkada ditunda, tapi faktanya Pilkada tidak ditunda.
Pilkada tetap dilanjutkan, sejumlah protokol kesehatan dilanggar, dan akhirnya menghasilkan Bobby menjadi Walikota Medan dan Gibran menjadi walikota Solo. Melalui preseden ini, apakah rakyat dapat percaya penundaan Pemilu karena pandemi sementara Pilkada tetap dilanjutkan meskipun ditengah pandemi?
Ketiga, sejumlah kinerja buruk pemerintahan bukan saja tanggung jawab Jokowi, tetapi juga dukungan dan andil partai koalisi pendukung Jokowi. Ketika rakyat melihat kegagalan pemerintahan, maka rakyat tidak saja akan mengevaluasi Jokowi melainkan juga akan mengevaluasi kinerja partai koalisi.
Ide memundurkan Pemilu sama saja memenggal aspirasi rakyat yang ingin mengoreksi kekuasaan melalui proses politik lima tahunan. Motifnya jadi terbaca, bukan untuk dan atas nama rakyat melainkan untuk melanggengkan kekuasaan Jokowi dan partai pendukungnya.
Ide menunda Pemilu juga dapat dipahami sebagai upaya partai koalisi membangun bungker kekuasaan dari potensi berkurang bahkan merosotnya suara, jika tetap dilaksanakan Pemilu. Partai pendukung Jokowi, tentu tak mendapat keuntungan elektabilitas dari kegagalan Jokowi.
Sebenarnya, saya lebih angkat topi jika Saudara Yusril Ihza Mahendra, misalnya membantu Presiden Jokowi menyiapkan pidato pengunduran dirinya dengan redaksi ‘menyatakan berhenti’, sebagaimana Yusril pernah menyiapkan pidato pengunduran diri Presiden Soeharto.
Kita semua akui, Yusril memiliki peran penting dan strategis menyelamatkan bangsa Indonesia dari resiko kekacauan, dengan memberikan masukan dan bahkan menyiapkan naskah pidato pengunduran diri Presiden Soeharto kala itu.
Hari ini, semestinya Saudara Yusril memberikan masukan itu, yakni memberikan masukan kepada Presiden Jokowi untuk mengundurkan diri dan lebih bagus kalau sekaligus menyiapkan redaksi pidatonya.
Pengunduran diri Jokowi, diyakini akan memberikan harapan bagi masa depan bangsa Indonesia, ketimbang memperpanjang masa jabatannya dengan modus menunda Pemilu. Tiga opsi mekanisme ketatanegaraan untuk menunda Pemilu yang disampaikan saudara Yusril, justru akan menjadi jalan bagi masa depan Indonesia yang tidak jelas.
Hari ini semua lini kehidupan rusak, bangsa terbelah, ekonomi ambruk, utang menggunung, bahkan dalam suatu diskusi Yusril pernah menyatakan problemnya karena Presiden goblok. Memberikan legitimasi untuk menunda Pemilu khususnya dengan memilihkan mekanisme amandemen, saya kira adalah bentuk andil Yusril menggiring masa depan Indonesia dalam situasi yang bermasalah.
Dalam konteks itulah, saya kira segala wacana penambahan kekuasaan Jokowi dengan modus apapun, termasuk dengan menunda Pemilu harus dihentikan. Sebaliknya, bangsa Indonesia harus konsisten dengan rumusan konstitusi yang telah disepakati para pendahulu bangsa. Jangan kutak katik konstitusi, dengan motif ingin mempertahankan kekuasaan.
Dahulu, HTI dicabut BHP nya hanya karena dituduh akan mengganti atau mengubah Pancasila dan UUD 1945. Sementara sekarang, politisi baik partai maupun DPR mau seenaknya mengubah UUD 1945, hanya untuk melegitimasi perpanjangan kekuasaan Jokowi. Saya kira, rakyat Indonesia tidak ridlo dengan tindakan ini dan akan datangkan Azab yang pedih serta mengerikan bagi Indonesia (Lihat Q.S . Surat ke (6) Al An Aam Ayat nya 65).
*) penulis adalah pengacara TPUA.
sumber: WAGroup KAHMI Nasional (postSenin28/2/2022/adnanalham)