Analisis Hubungan Polemik Makna Kata Kafir Versi NU dengan Sinyal Kekalahan JKW

Pasangan capres cawapres Prabowo Subianto Sandiaga Uno sebelum Debat Capres. foto: dok relawan FSU For PrabowoSandi

Opini Oleh Anton Permana

Kembali umat muslim Indonesia dihebohkan oleh manuver para kelompok ormas NU struktural yang menyatakan penghapusan kata kafir bagi nonmuslim Indonesia. Sontak pernyataan ini menuai kemarahan ummat.

Berbagai macam komentar membanjiri laman dunia maya. Baik yang serius dengan kupasan ilmiah, maupun yang cerdas dengan sindiran meme yang tajam, namun kadang lucu.

Tapi penulis melihat dari sisi yang berbeda. Apa modus dibalik manuver gila SAS (Said Aqil Siraj) dkk tersebut. Ini murni bukan sembarang keputusan biasa. Secara syar’I, jelas mengganti kata sebutan kafir kepada nonmuslim sama menentang ayat Al Quran secara frontal.

Dalam Al Quran ada 528 kata kafir disebutkan. Hasil munas ormas NU ini sama saja dengan mengganti kata-kata dalam Al Qur’an yang setelah 14 abad dan 74 tahun Indonesia merdeka tidak ada yang seberani ini, selancang ini, mengacak-ngacak Al Quran.

Tentu kita berpikir, motif apa yang sebenarnya dibalik ini semua ? Motivasi apa yang membuat mata mereka seakan buta dan semena-mena? Berikut izin kan penulis mencoba memaparkan dan menguraikan tali merah manuver SAS dkk ini terkait pergantian kata kafir menjadi non-muslim ini.

PERTAMA, manuver SAS ini menunjukkan bahwa posisi Jokowi dalam pilpres sudah diambang kehancuran. Atau lebih extrimnya dianggap mereka sudah kalah. Lho apa hubungannya ? Berikut penjelasannya.

Fenomena kursi kosong, serta teror dua jari dari masyarakat di setiap acara kampanye jokowi telah menjadi momok bagi TKN. Belum lagi fakta di dunia maya, setiap detik dan menit, caci maki dan bully netizen bagaikan tsunami menghantam elektabilitas JKW.

Kriminalisasi terhadap tokoh, pelibatan tangan aparat melalui pasal karet UU ITE,  bombardir bingkisan door to door, dan bombardir berita di teve mainstream sudah sangat sulit menetralisir keadaan apalagi membalik keadaan.

Karena sejatinya JKW tidak lagi berhadapan dengan sosok figur Prabowonya, tapi sudah dengan ‘people power’ rakyat Indonesia. Ditambah lagi, fakta survey internal versi original, TKN sudah sangat sadar, secara elektabilitas JKW sudah tertinggal jauh (bahkan sudah dua digit) dari Prabowo.

Survey versi original internal ini tentu tidak mereka publish kepada publik. Hanya untuk konsumsi orang tertentu saja. Nah dari semua fenomena ini, hasil analisis tim ahli mulai mengambil sebuah jalan alternatif (exit point) yaitu, silahkan JKW kalah dalam pilpres, tetapi secara kursi legislatif DPR tetap kubu TKN yang menguasai terbanyak.

Salah satu hambatan/rintangan untuk menguasai kursi parlemen tersebut adalah, di dalam pencaleg kan partai pendukung JKW hampir separoh adalah kafir. Dalam catatan penulis, secara nasional caleg kafir ini 36,4 % dari total semua caleg DPR RI lintas partai.

Kalau kita detailkan lagi berdasarkan partainya, lebih dahsyat lagi yaitu 48,2 %. Hampir separoh kalau kita petakan berdasarkan partai pendukung yaitu PDIP, Nasdem, Golkar, Hanura, PSI, PKB, dan PPP.

Kalau kita lebih spesifikkan lagi pada 3 partai garis keras pendukung JKW, yaitu PDIP, Nasdem, dan PSI itu jumlah caleg kafirnya 60,5 %. Wowww… !

Status dominasi caleg kafir inilah yang dianggap menjadi ganjalan kubu JKW digrass root untuk bersaing mendapatkan kursi. Tidak saja lintas partai, tetapi dimasing internal partai hal ini juga menjadi masalah.

Kekalahan ahok akibat Al Maidah 51, juga dianggap sangat mempengaruhi persepsi pemilih tradisional. Termasuk khususnya dikasus tradisional dan kultural NU. Untuk itulah, TKN memainkan kartu SAS (Said Aqil Siraj) sebagai pemegang kendali NU struktural membuat manuver pergantian kata kafir dalam Al Quran menjadi nonmuslim.

Dengan tujuan agar pemilih tradisional NU menganggap tak ada lagi dikotomi caleg kafir dan muslim di Pemilu nanti. Dengan harapan sekat antara caleg kafir dan muslim ini bisa hilang, dan mereka kubu JKW dapat memenangkan kompetisi kursi di parlemen nantinya.

KEDUA, manuver SAS tersebut diatas juga adalah bahagian strategi difrensiasi (pembeda) kepada publik agar terbangun image bahwa kubu JKW sangat toleran dan moderat. Tujuannya adalah untuk meneguhkan serta mengambil hati pemilih kafir (18,4 %) untuk solid mendukung JKW. Khususnya para taipan dan konglomerat raksasa (9 naga) agar tetap mau jadi sponsor JKW

Sasaran utamanya adalah jelas supply logistik dan kepercayaan para taipan baik dari dalam negeri maupun dunia internasional. Karena sebagai negara muslim terbesar didunia, Indonesia adalah momok bagi negara luar kalau bangkit seperti turkey.

Maka SAS tampil dengan manuver kara kafirnya untuk menggalang kepercayaan publik kafir agar bahu membahu mensukseskan JKW. Apalagi media dikuasai oleh kelompok kafir ini.

KETIGA, walaupun Indonesia adalah beragama mayoritas Islam. Tetapi Islam di Indonesia sangat beragam coraknya. Ada yang Islam tradisional, Islam abangan, Islam liberal-sekuler, dan Islam fundamentalis.

Kondisi Islam yang terpecah belah ini, dimanfaatkan SAS sedemikian rupa untuk menggarap segmen Islam tradisional (NU), Islam abangan, dan Islam liberal-sekuler. Karena melihat gerakan Islam fundamentalis (atau Islam 212) yang berada di kubu Prabowo sudah sangat membahayakan eksistensi SAS sendiri sebagai pucuk pimpinan NU struktural.

Sedangkan Islam 212 ini kalau dalam catatan penulis angkanya mulai mendekati 45-50 % penduduk Indonesia. Dan SAS berharap manuver kata kafir ini bisa mengambil hati segmen pemilih diluar kelompok Islam 212  yang berada dikubu Prabowo.

KEEMPAT, manuver SAS ini juga bahagian strategi kontradiksi antara kubu JKW dan Prabowo. Tujuannya adalah, untuk menstigmakan bahwa kalau kubu JKW moderat dan pro liberalisme, maka lawan antagonisnya adalah kubu Prabowo kelompok Islam fundamentalis yang pro khilafah.

Dengan melahirkan polemik kata kafir ini, SAS sangat sadar akan melahirkan perdebatan keras di masyarakat. SAS sangat tahu bahwa kubu prabowo akan bereaksi keras dgn manuver kata kafir ini. Dan inilah yang ditunggu SAS dkk, karena akan memperkuat stigma yg mereka bangun bahwa kubu Prabowo intoleransi, anti kebhinekaan, dan pro pada khilafah.

Dari keempat penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa, kubu TKN JKW sudah sangat kehilangan akal membendung perlawanan rakyat untuk menumbangkan rezim sekarang ini.

Mereka mulai sangat sadar bahwa sinyal kekalahan JKW sudah di depan mata. Seruan ‘perang total’ dari mantan panglima tni pun layu sebelum berkembang dihajar do’a perang badar nya neno warisman. Senjata ampuh mereka tidak ada lagi selain strategi adu domba dan pecah belah rakyat dengan isu SARA. Karena isu SARA ini sangat emosional dan mudah disulut.

Adapun strategi penggunaan struktur kekuasaan pada fase pencoblosan nanti, sangat beresiko karena mereka pasti akan berhadapan langsung dengan rakyat yang pasti akan memlototi setiap gerak laku proses perhitungan. Pilkada DKI adalah pelajaran pahit buat kubu JKW.

Untuk itu penulis berharap kepada kita semua agar jelu memilah setiap isu media yang sengaja diciptakan untuk memecah belah persatuan bangsa. Perbedaan pilihan politik itu biasa. Jangan sampai rakyat jadi korban adu domba pihak politisi yang jahat. Mari kita sambut proses pemilihan umum ini dgn gembira dan bijaksana. Wallahu’alam…

Jakarta, 02 maret 2019.

Sumber WA Group Garuda Perkasa Nasional kiriman Bang Ben, Senin (4/3/2019)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *