Ambang Batas Dipertahankan, Refly Harun Sebut Pilpres Dikuasai Cukong

Refly Harun. foto: internet

Pakar hukum tata negara Refly Harun menyebut ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20% akan membuat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 akan akan dikuasai cukong. Sebab, ketentuan itu membuat pihak yang berduit yang mampu membeli parpol untuk mencalonkan presiden.

semarak.co-“Kalau presidential threshold dipertahankan di 2024, maka yang bisa calonkan presiden cuma cukong saja. Dia beli enam parpol Istana misalnya, dengan masing-masing Rp1 triliun, ajukan satu paslon cukup,” kata Refly dalam sebuah diskusi virtual, Selasa (8/9/2021) yang dilansir CNN Indonesia | Rabu, 09/09/2020 10:48 WIB.

Bacaan Lainnya

Selain itu, para pengusaha juga bisa kongkalikong dengan partai politik lainnya yang berada di luar koalisi istana. Ketiga partai itu menurut dia, bisa saja dimodali untuk mencari calon yang memiliki peluang untuk menang tidak sebesar paslon yang diajukan enam parpol sebelumnya.

“Terjadilah head to head. Dan kita sudah tebak hasilnya seperti apa, kemudian para cukong yang menjadi bandar politik menguasai semua jabatan di Republik ini,” ujar Refly lagi.

Di sisi lain, Refly mengatakan ambang batas 20 persen juga memberikan dampak buruk atas iklim demokrasi di Indonesia. Setidaknya ada tiga dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh aturan tersebut.

Pertama, kata Refly, ambang batas 20 persen menjadi ajang jual beli ‘perahu’ dari parpol untuk para calon presiden. Seorang presiden diketahui membutuhkan ‘perahu’ dari parpol untuk mengarungi gelaran pilpres.

“Parpol menyediakan dirinya [sebagai perahu] untuk ditumpangi, tapi ongkosnya mahal banget. Saya duga untuk 2024 sudah triliunan untuk beli perahu parpol tersebut. Apa itu yang kita inginkan dalam sebuah demokrasi yang bermartabat?” kata Refly.

Yang kedua, ambang batas 20 persen juga menghilangkan pesaing di tahap awal, karena pihak yang tidak memiliki modal besar atau dukungan modal tidak dapat mencalonkan diri sebagai presiden.

“Ketiga, dua perhelatan Pilpres terakhir dengan aturan ambang batas 20 persen justru memunculkan pembelahan di masyarakat,” ujar pakar hukum tata negara yang mantan komisaris BUMN.

Seperti diketahui, sejak Pilpres 2014 dan 2019, Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon, yakni Joko Widodo dan Prabowo karena aturan tersebut. Kontestasi antara Jokowi dan Prabowo ini pun berdampak kepada pembelahan masyarakat.

“Dua perhelatan pilpres terakhir sudah memunculkan pembelahan di masyarakat. Kelompok cebong dan kampret. Ini adalah masalah luka pemilu yang lebih permanen dibanding 2004 dan 2009,” tuturnya.

Sebelumnya, Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengajukan permohonan uji materi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam UU No 7-2017 Tentang Pemilu ke MK. Permohonan  ini diajukan Rizal bersama Abdulrachim Kresno dan didampingi kuasa hukum Refly Harun.

Rizal menyebut alasannya mengajukan uji materi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden MK adalah terkait fenomena nyewa partai. Menurutnya, selama ini presidential threshold 20 persen telah dijadikan alat untuk memaksa calon presiden membayar upeti kepada partai politik.

Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur tentang ambang batas presiden atau syarat persentase partai atau gabungan partai yang boleh mengusung pasangan capres-cawapres, yakni 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di level nasional. (net/smr)

 

sumber: WAGroup PA Al-Wasliyah P.Brayan/FILOSOFI KADAL (JUJUR)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *