by Zeng Wei Jian
semarak.co -Covid-19 outbreaks. Death sentence in Bergamo city. Sirine polisi terus berbunyi.
Dua opsi; Nyawa or Economy. Total lockdown Pandumbic. No alternative. The third way. Economic lost mengakibatkan social unrest, penjarahan, revolt, coup, more blood dan more victims.
Narasi Lockdown “memutus rantai pandemic” tidak perna ada. Amerika menggunakan frase “To slow down the spread”. Mereka tau Coronavirus akan memakan korban.
Win-win solution; Meminimalisir angka fatalitas sekaligus mencegah economic breakdowns. Pasti ada yang tewas. Ekonomi pasti free-falls.
Industri automobile vakum. Yang survive; pangan, masker, sanitizer, farmasi, dan pornhub.
Rezim jatuh di Kosovo. Tanda-tanda kudeta menguat di Brazil. Social-unrest merebak di Itali dan Spanyol. Orang lapar. Supermarket dijarah.
Italia sebulan total lockdown. Lima belas ribu orang mati. Ekonomi ambruk. Cash kering. Akademisi kuatir; organize crime yaitu mafia enters the scheme.
Mafia punya uang. Gerakannya lebih cepat dari pemerintah. Riba dan rekrutment paling mudah dilakukan di tengah situasi krisis.
Tidak ada mafia di Indonesia. Adanya terroris sleeper cells dan setan-setan politik. Mereka menari-nari di atas Badai Covid-19.
Orang miskin, the angry mobs dan mereka yang lapar siap dikorban. Dijadikan pion, tumbal dan anak tangga kekuasaan.
Swedia satu-satunya negara Eropa yang tidak percaya lockdown. School, cafe, pabrik dan office buka seperti biasa. Enam ribu pasien, 400 orang tewas.
Medical society, NGO dan oposisi mencaci-maki. Pemerintah dan masyarakat tidak peduli. Mereka hanya menerapkan protocol minimal; Physical distancing, masker, sanitizer dan multivitamin.
THE END