Opini Kamsul Hasan *
semarak.co– Masih terkait FGD Kehumasan dan Media di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), dengan moderator Azhmy F Mahyddin, Humas harus mampu melakukan identifikasi media untuk dijadikan alat bukti.
Pertama, seperti sering saya ungkap soal status hukum media. Alat bukti itu dikatakan produk jurnalistik apabila disiarkan perusahaan pers Indonesia, sesuai UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Belakangan ini ada anomali, media berbadan hukum perusahaan pers namun membuat disclaimer. Artinya kanal pada media itu tidak diakui sebagai produk jurnalistik, tetapi dinyatakan sebagai media sosial.
Hal ini menyebabkan sengketa konten pemberitaan tidak diselesaikan dengan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, karena penanggung jawab tidak mau bertanggung jawab atas opini itu.
Akibatnya sengketa pemberitaan itu diselesaikan dengan KUHP kemudian diperberat dengan UU Informasi Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Penerapan UU ITE yang ancamannya rata-rata di atas 4 (empat) tahun penjara menyebabkan daluarsa tuntutan pidananya menjadi 12 (dua belas) tahun.
Merujuk pada Pasal 78 ayat (1) ke tiga, tindak pidana yang ancamannya di atas 3 (tiga) tahun, daluarsa setelah 12 tahun atau tindak pidana pada tahun 2020 masih bisa dituntut sampai tahun 2032.
Pers Perhatikan Ini
Berdasarkan hal tersebut perusahaan pers yang memiliki akun resmi pada media sosial harus memperhatikan hal ini ;
1. Konten / pemberitaan harus terlebih dahulu tayang pada portal beritanya, tidak boleh tayang pada media sosial dulu dengan alasan apapun.
2. Konten / pemberitaan yang dibagikan pada media sosial harus sama persis dengan isi pada portal beritanya. Tidak boleh ditambahkan pengantar untuk click bait, karena pengantar bukan produk jurnalistik, tetapi bagian dari media sosial.
Bagaimana dengan penyiaran streaming yang kini marak dan menggunakan media sosial seperti YouTube, IG dll.
1. Sepanjang dikelola perusahaan berbadan hukum pers Indonesia dan tayang pertama pada portal beritanya serta mematuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) diselesaikan dengan UU Pers
2. Bila tidak berbadan hukum pers Indonesia, apalagi langgar hak anak sebagaimana diatur Pasal 19 Jo. Pasal 97 UU SPPA diproses dengan pidana di luar UU Pers.
*) Penulis: Wartawan Senior, Dosen, Ketua Kompetensi PWI Pusat
sumber: facebook@kamsulhasan