Oleh Salamuddin Daeng *
semarak.co-Presiden Joko Widodo berupaya keras untuk melaksanakan agenda perubahan iklim. Ini adalah amanat dunia kepada Jokowi sebagai presiden G20. Amanat utamanya melakukan transisi energi dengan mengurangi konsumsi minyak bumi dan penggunaan bahan bakar fosil lain.
Selain itu, sebagai pimpinan COP 26, Perjanjian Perubahan iklim Glasgow Scotlandia, Jokowi juga mendapatkan mandat utama untuk mengurangi emisi karbon melalui penghentian pengundulan hutan atau deforestasi. Sayang, para pembantu Jokowi di kabinet kebingungan menerjemahkan tugas ini.
Inggris, jauh-jauh hari, memberikan julukan kepada Indonesia sebagai climate change super power. Itu artinya, Indonesia menjadi kunci agenda besar ini. Bukan Amerika Serikat, bukan Republik Rakyat Cina. Jokowi mengatur pembagian uang senilai Rp1.500 triliun untuk seluruh negara selatan, Indonesia Afrika dan Amerika Latin.
Amanah di pundak Jokowi sangatlah besar. Oleh karenanya anak buah Jokowi harus mengerti apa yang seharusnya dilakukan untuk mendukung agenda bos mereka. Tapi hingga saat ini, mereka kebingungan. Padahal mereka cukup berpegang pada janji Presiden Indonesia di forum G20 dan di Pertemuan Glasgow tersebut.
Contoh kebingungan tersebut adalah saat Jokowi memerintahkan penghentian ekspor batubara. Anak buah Jokowi malah bertindak sebaliknya dan mencari-cari alasan untuk mempertahankan ekspor dengan argumentasi yang tak benar. Di tengah kebingungan itu, muncul isu PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) kekurangan pasokan batu bara.
Erick Tohir, Menteri BUMN malah mengacak-acak PLN dengan memberhentikan salah satu direktur perusahaan pemegang monopoli kelistrikan tersebut. Koleganya, Menteri ESDM, mengeluarkan alasan larangan ekspor batubara untuk menutupi kebutuhan batu bara di dalam negeri.
Langkah Jokowi tepat dengan mencabut izin ribuan tambang batu bara di Indonesia. Ini sesuai agenda pengurangan emisi dan transisi energi. Seharusnya hal ini segera diterjemahkan dengan program yang sejalan di tingkat menteri-menteri.
Mereka seharusnya membuat program-program yang mendukung langkah Jokowi, baik di forum internasional, terutama di dalam negeri. Pembantu presiden jangan menjerumuskan bos mereka dengan sejuta alasan untuk mempertahankan perdagangan batu bara. Perintah Jokowi jangan dianggap angin lalu.
Atau memang para menteri dan pembantu Jokowi sudah kecanduan uang batuhara. Konsistensi presiden sebagai G20 presidency dan sebagai pimpinan COP 26 bisa membuat banyak pebisnis listrik dan batubara dan para pejabat ESDM dan BUMN kehilangan sumber pemasukan.
Bahkan disinyalir pencabutan izin usaha pertambangan hanya menyentuh pemain kecil sementara para raksasa dibiarkan melanggeng karena memberikan setoran besar. Yang paling ditakuti internasional adalah uang panas batubara bisa membandari kebijakan apa saja. Kalau sakedar di tabung di Singapura, sih, tidak masalah.
Jadi kalau para pengusaha batubara menyatakan perang kepada COP26 dan G20, bisa-bisa berabe. Karena itu internasional terus memantau Indonesia agar rencana pemulihan iklim tidak ambyar. Saat ini, China sebagai pasar terbesar batubara, menutup impor dari Australia. Perusahaan besar Indonesia yang menguasai tambang di Australia ketiban sial. Dan hampir sebagian besar lahan batubara di Australia dikuasai pengusaha Indonesia.
*) penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
sumber: rmolaceh.id/Sabtu, 8 Januari 2022 | 23:22 di WAGroup PAMEKASAN GERBANG SALAM (postRabu19/1/2022/wahyumuhammadramadhan)