Akhyar Belum Menang, Bobby Sudah Kalah

Pengundian nomor urut Pilkada Medan dalam tangkapan layar internet. foto: detik.com di internet

Oleh Itsvan Dachryanovsky *

semarak.co-Dua pekan lagi kita akan memilih Walikota Medan, salah satu pertunjukan pilkada di Indonesia yang sangat menarik. Meskipun levelnya tingkat kotamadya tapi suasananya berasa nasional, karena adanya menantu Presiden RI yang ikut bertarung di perhelatan itu.

Bacaan Lainnya

Pilkada rasa pilpres, begitu pengamat menyebutnya. Keikutsertaan menantu ini menyebabkan mertua turun tangan. Bukan sekedar memotivasi tetapi malah ikut terjun dalam operasionalnya.

Termasuk campur tangan ketika memaksakan sang menantu Bobby Nasution yang bukan kader PDIP menjadi calon Walikota Medan dengan menggeser petahana Akhyar Nasution yang justru kader karatan PDIP!

Tak pelak, kebijakan ini memantik keributan di tubuh partai berlambang banteng gemuk itu. Terjadi perlawanan kader yang merasa dizolimi. Perlawanan ditunjukkan dengan tetap mendukung Akhyar Nasution walau tak lagi memakai sampan PDIP. Adanya perlawanan ini berakibat PDIP kurang percaya diri dalam bertempur. Mereka deg-degan.

Dalam situasi normal saja, calon kepala daerah usungan PDIP khususnya Walikota Medan atau Gubernur Sumut selalu kalah, apalagi jika ada gejolak internal. Sofyan Tan, Tri Tamtomo dan yang terakhir Djarot Saiful Hidayat adalah nama-nama yang tercatat pernah tumbang di pentas pilkada walaupun saat itu PDIP adalah pemenang pemilu legislatif.

Petinggi partai sadar jika tak mampu meredam hal ini akan menjadi batu sandungan kemenangan Bobby di pilkada Medan. Bukan pekerjaan mudah, beredar info perlawanan keras ditunjukkan oleh ketua-ketua kecamatan pendukung Akhyar yang jumlahnya hampir separuh dari seluruh kecamatan.

Sekedar meminta pengembalian stempel partai kecamatan yang membelot saja, DPD PDIP Medan tak berani. Jadi tak ada harapan lagi memohon kader tersebut untuk mendukung Bobby cukuplah dengan hanya mempertahankan kader loyal. Sehingga secara kasat mata PDIP sebagai pendukung paslon 02 tampak tidak solid.

PDIP semakin terpuruk dengan kualitas Bobby yang tidak mentereng. Bobby adalah pemula yang dipaksakan dalam bidang perpolitikan. Ia tak punya pengalaman dalam mengelola administrasi dan kepemimpinan sebuah kota.

Predikat “anak kebon” dimana semua fasilitas sudah tersedia membuat secara psikologis tak punya semangat juang. Bahkan nyalon menjadi Walikota Medan pun bukan berjuang dari bawah tapi karena kebetulan jadi menantu presiden. Parahnya lagi ia tak paham kota Medan karena tak pernah tinggal di kota Medan. Sulit menjual produk seperti ini.

Situasi yang kurang menguntungkan itu membuat elite partai berpikir keras bagaimana caranya mendongkrak elektabilitas Bobby. Mereka berusaha mendatangkan tokoh dari pusat. Lagi-lagi kegamangan terjadi. Siapa yang harus turun gunung? Jika Megawati atau Puan Maharani jelas kurang menguntungkan.

Kebencian suku Minang kepada Puan yang menghina masyarakat Sumatera Barat masih terasa. Kedatangan mereka berdua pasti akan memunculkan kembali sentimen warga Minang yang berdomisili di Medan. Pilihan lain adalah Djarot Saiful Hidayat, Wakil Ketua Umum DPP PDIP yang juga merangkap Pejabat Ketua Umum PDIP Sumut.

Akan tetapi kekalahan beliau dalam pilgubsu terakhir pasti menjadi catatan serius. Apalagi beliau bukan orang Medan yang sekali pun belum pernah mencatat sejarah di kota ini. Status sebagai anggota DPR daerah pemilihan (dapil) Sumut 3 di mana kota Medan bukan termasuk konstituennya pasti menjadi pertimbangan untuk tidak menugaskan Djarot.

Bagaimana dengan Yasona Laoly dan Sofyan Tan? Mereka adalah anggota DPR dapil Sumut 1 di mana kota Medan termasuk di dalamnya. Sepertinya inilah tokoh yang cocok untuk diturunkan.

Akan tetapi dugaan orang keliru, PDIP justru menugaskan Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah yang kurang dikenal warga Medan. Mungkin di Jawa beliau cukup dikenal tapi tidak di Medan.

Sehingga pemberitaaan kiprah beliau di Medan kurang menggebrak bahkan kalah dibanding kedatangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) Ketua Umum DPP Partai Demokrat yang secara bersamaan juga kampanye di Medan untuk Akhyar Nasution.

Kegamangan sehingga membuat keputusan blunder yang dilakukan oleh PDIP tidak mampu menggelorakan masyarakat untuk meraih keberkahan bersama Bobby.

Keadaan ini diperparah dengan tidak bergeraknya partai pendukung lainnya. Partai Gerindra misalnya, sebagian besar kadernya menginginkan Ihwan Ritonga menjadi calon Walikota Medan. Beliau sudah dua kali duduk sebagai anggota DPRD Medan. Wakil Ketua DPRD Medan itu mendapat dukungan penuh dari Raden Syafii (Romo) Wakil Ketua Umum DPP Gerindra yang juga anggota DPR dapil Sumut 1.

Akan tetapi Prabowo memutuskan lain. Gerindra mendukung Bobby. Hal ini menjatuhkan mental kader. Mereka mulai menyangsikan i’tikad sang Big Bos Ksatria Berkuda yang terkenal dengan ucapannya “Timbul Tenggelam Bersama Rakyat”. Pemberian jabatan sebagai Ketua DPD Gerindra Medan tidak mengurangi kekecewaan Ihwan Ritonga.

Tak ada upaya Gerindra untuk habis-habisan memenangkan Bobby. Terbukti gerakan yang dilakukan hanya sekedar menempel spanduk. Bagaimana dengan Romo? Ustadz yang sangat anti Jokowi ini secara diam-diam menggerakkan jamaah pengajiannya untuk memilih kosong satu.

Beliau siap menerima resiko. Lebih baik begitu pikirnya, ketimbang kehilangan suara konstituennya yang lebih condong ke Akhyar. Lalu di mana Gus Irawan Pasaribu – Ketua Gerindra Sumut dan anggota DPR dapil 2 ini? Lagi-lagi karena alasan Medan bukan dapilnya maka ia pun cuek aja.

Gus menyadari jika ia bergerak cukup aktif, hal itu justru menguntungkan Romo – yang sejak lama merupakan seterunya. Maka tak perlu total bermain dalam pilkada Medan. Yang penting dukungan administrasi sudah diselesaikan secara adat. Begitulah.

Partai yang lain? Partai Amanat National (PAN)? Sama saja! Mereka hanya mengikuti perintah pusat. Akan tetapi berjuang untuk Bobby? Ups … tunggu dulu! Lihat saja yang dilakukan Mulfachri Harahap. Sebagai anggota DPR dapil 1 seharusnya beliau sangat berkepentingan di pilkada ini.

Setidaknya untuk pileg 2024 nanti. Kenyataannya? Beliau anteng-anteng saja. Spanduk dukungan bergambar dirinya pun tak terlihat. Banyak yang menduga ini adalah bias dari kekalahannya berebut Ketua Umum PAN dengan Zulkifli Hasan. Apalagi menyikapi pemerintahan Jokowi sikap mereka berdua berseberangan.

Zulkifli Hasan yang sangat pro Jokowi membuat Mulfachri yang cukup dekat dengan Amien Rais tak merasa perlu mendukung kebijakan sang Ketua Umum. Hal ini membuat kader di Medan terbelah.

Masih terbayang dukungan PAN dalam Pillres 2019 yang lalu. Banyak kader yang tetap anti Jokowi. Mereka ingin mengobati luka dalam pilpres kemarin dengan cara tidak memilih menantu.

Golkar bagaimana? Keterpilihan Wakil Gubernur Sumut – Musa Rajekshah (Ijeck) – sebagai Ketua Umum Golkar Sumut yang baru memberi angin segar bagi Bobby. Ia berjanji mendukung total. Bahkan sengaja mengambil cuti demi kampanye untuk Bobby.

Akan tetapi sudah menjadi rahasia umum perseturuan di Golkar masih berlangsung. Masih ada kelompok dan perkubuan di partai Beringin itu. Yang mencolok adalah kubu Syamsul Arifin – mantan Ketua Umum Golkar dan mantan Gubsu.

Peseteruan beliau dengan keluarga Ijeck (keluarga Shah) cukup panjang. Sehingga patut diduga kelompok Syamsul Arifin yang bergelar Datuk Lelawangsa ini pasti dukungannya berbeda. Maka Bobby tak bisa sepenuhnya berharap seratus persen kepada Ijeck.

Kecil sudah harapan kepada tiga partai di atas. Apalagi berharap kepada pendukung yang lain seperti PPP, Nasdem, Hanura dan PSI yang pengaruhnya kecil. Mereka layaknya pemandu sorak saja.

Selain massa yang tidak signifikan, sepertinya mereka juga disepelekan oleh PDIP. Akibatnya banyak juga kader dari partai-partai kecil diatas mendukung Akhyar. Bahkan beberapa petingginya tercatat di struktur Tim Pemenangan paslon 01. Herannya tak ada pemecatan. Bisa disimpulkan, partai-partai ini tak serius mendukung kosong dua.

Tampilan Bobby yang kurang ciamik dimanfaatkan dengan baik oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat – dua partai pendukung Akhyar. Perhatikan kecerdasan yang dilakukan Mardani Ali Sera dari PKS yang mengumandangkan tagline “Menantu Jokowi Bisa Dikalahkan”.

Kalimat sakti tersebut mampu membangkitkan semangat warga Medan pasca kekalahan di pilpres 2019. Seperti diketahui walaupun Jokowi menang secara nasional tetapi di Medan beliau kalah. Sehingga momentum ini menjadi alasan mereka ingin melihat terjungkalnya Jokowi sekali lagi dengan cara mengalahkan menantunya di pilkada Medan.

Demokrat tak kalah cantik dalam bermanuver. Masyarakat di kampung-kampung diingatkan kembali dengan jasa-jasa mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terutama program yang langsung dirasakan manfaatnya seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Dari paparan diatas terlihat jelas, seluruh pintu kemenangan Bobby sudah terkunci. Tak kan lagi ada suara tambahan. Sudah mentok! Pertanyaannya, apakah Akhyar pasti menang? Memang belum tentu. Tapi peluang untuk menambah dukungan jelas ada. Kepiawaian PKS dan Partai Demokrat akan sangat menentukan dalam kontestasi ini.

Sekali lagi Akhyar memang belum menang, tetapi Bobby sudah pasti kalah!

Medan – 25 Nopember 2020

*) Penulis adalah analis kede miso

 

sumber: WAGroup P.A Al-Wasliyah P.Brayan (post Kamis 26/11/2020)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *